LOVE, SEX, HATE

LOVE, SEX, HATE

David Cahyo

0

Kalian pernah mencintai seseorang?

Jika pernah ... well, baguslah. Karena gue nggak pernah. Gue pernah sih naksir seseorang, tapi cinta yang bener-bener cinta, gue belum pernah merasakannya.

Cowok yang paling dekat sama gue adalah Adit. How good looking he is, dia tetaplah kakak gue. Usia kami hanya terpaut setahun. Dia terlalu overprotektif, well, itulah masalahnya. Yep, gue sengaja menggunakan kata “terlalu” walaupun udah kata “over” untuk menggambarkan betapa paranoidnya dia. Dia nggak pernah membiarkan ada cowok deket ama gue. Siapapun!

Lalu ada Alghiffari atau “Fari”, sahabat gue semenjak TK. Yup, it’s been that long. Bahkan kakak gue sudah terbiasa dengannya. Baginya, Fari sudah jadi anak tengah; adiknya dan kakak gue. Kita bisa dibilang, well, sahabat sepermainan, whatever that means. Namun nanti kalian akan lihat sendiri, hubungan kami lebih complicated dari sekedar sahabat.

Gue adalah gadis biasa (baca: sangat normal) yang kerap diabaikan banyak orang. Bahkan jika bukan karena kakak gue dan sahabat gue, Fari, yang bisa dibilang cowok-cowok paling populer di sekolah kami, bisa jadi gue nggak akan punya temen yang mau deketin gue. Berkat mereka berdua-lah circle pertemanan gue jadi selebar ini (bahkan lebaran daripada ukuran pinggul gue sehabis makan).

Ada sahabat gue, Shalsa, yang jelas naksir berat ama kakak gue. Satu-satunya persamaan kami adalah kami sama-sama cerewet. Selain itu, kami kerjaannya berantem setiap hari. Lalu ada pula Bagus, sahabat kakak gue yang introvert dan pendiam, tapi cerdasnya bukan main. Ada pula Luke dan Chris, rekan tim basket Fari yang sama-sama tukang troublemaker, just like him.

Ada Lyla yang gue kenal gara-gara dia pacaran ama Bagus, cewek dengan aura misterius dan juga cantiknya minta ampun. Ada juga Dara dari tim cheerleader dan juga sahabatnya, Aulia, yang gue sendiri nggak begitu kenal sih, tapi selalu saja berpapasan ama gue gara-gara mereka selalu aktif di klub basket kakak gue.

See, that’s a lot. Oh ya, tambah lagi, ratu sekolah gue, yakni Kak Naura, yang juga jadi kekasih kakak gue.

Gue jelas bukan gadis populer semacam Kak Naura, sang “Homecoming Queen” seandainya sekolah kami punya prom night ala-ala Barat. Ataupun seaktif Shalsa yang menjadi editor majalah sekolah sehingga kenal dan dikenali semua anak dari kelas X sampai XII. Ataupun super pintar dan berbakat seperti Lyla. Ataupun cheerleader gemulai yang bikin cowok klepek-klepek semacam Dara. Apalagi kalem dan anggun seperti Aulia. 

Mungkin karena ke-biasa-biasa-an gue, sampai sekarang hidup gue datar-datar aja. Gue pengen ngerasain romantisnya jadi putri. Gue pengen jadi “Girl On Fire” kayak Katniss atau cewek gloomy yang direbutin werewolf vs vampir kayak Bella. Namun nyatanya, kisah gue nggak semulus (atau malah seribut) tokoh-tokoh di novel teen-lit fantasy atau dystopian post-apocalyptic yang gue baca.

Untuk ukuran anak IPS II di SMA Bhayangkara 1, gue tetaplah anak biasa. Gue bahkan nggak punya identitas. Paling nggak penggemar Jejepangan bisa menyebut diri mereka otaku atau penggemar Hallyu bisa menggelari diri mereka K-Poppers. Bahkan, fans Harry Potter bisa melabeli diri mereka Potterhead. But I’ve got nothing.

Jadi, ketika ada bintang yang jatuh malam itu, bintang yang amat bersinar terang, bintang paling terang yang pernah gue lihat, gue hanya berharap satu hal.

Agar gue bisa jatuh cinta.

Tapi gue harus memperingatkan kalian, be careful with what you wish for.

‘Cause sometimes, it will come true in a way you never imagined before.

Balik lagi ke gue. Sampai detik ini kalian mungkin bertanya, siapa gue?

Well, panggil saja gue Lola.