
Cinta. Kata ini sebenarnya cukup mengganggu Alfika belakangan ini karena kedua sahabatnya selalu membicarakan hal itu ketika jam istirahat. Sebenarnya apa yang menarik dari cinta? Kenapa teman-teman di kelasnya selalu berlomba-lomba mengejar cinta? Apakah cinta sepenting itu, hingga bisa membuat seorang gadis menangis tersedu-sedu karena kehilangan cintanya?
Alfika tidak begitu mengerti soal cinta. Masalahnya, belum genap sebulan ia menjalin hubungan dengan seorang pria, hubungannya selalu putus di tengah jalan, dan semua itu selalu berakhir dengan alasan yang sama, 'kamu ternyata tidak seperti yang kubayangkan.'
Memang apa sih yang dibayangkan cowok-cowok itu sebelum mengutarakan perasaannya pada Alfika? Apa karena ia populer di sekolah? Atau karena ia menjabat sebagai ketua tim basket putri? Atau karena sikap cueknya yang sering memberi kesan cool bagi orang yang melihatnya? Haruskah orang-orang melihat penampilan luarnya dulu sebelum mengutarakan perasaannya? Bukankah lebih baik mereka saling mengenal terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk berpacaran dengannya atau tidak?
Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Alfika merasa mengantuk. Dengan malas diluruskan tangannya ke depan dan diletakkannya kepalanya di atas meja.
Plak! Baru saja Alfika memejamkan matanya, seseorang membangunkannya dengan cara paling tidak sopan sedunia.
"Kau gila ya, Bani!? Buku Kimia kan tebel," omel Alfika sambil melotot ke arah pria yang berdecak pinggang di samping mejanya.
Bukannya minta maaf atau merasa menyesal, Bani malah memutar kedua bola matanya sambil berucap, "Al, kamu itu perempuan. Masa tidur kayak mayat terlantar begitu sih? Yang manis dikit dong," omelnya. "Pantas saja pacar-pacarmu dulu tidak ada yang betah," cibir Bani.
Mendengar ucapan Bani barusan, Alfika hanya bisa mendengus kesal. "Berisik." Dibuangnya pandangan matanya ke arah jendela. Di sana tampak lapangan olahraga yang sedang ramai dengan siswa SMA Harmoni yang sedang terburu-buru memasuki kelas. Jelas saja, sebentar lagi jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Yah... dia ngambek." Bani pun mencolek dagu Alfika untuk menggoda gadis itu, tapi sepertinya Alfika sedang tidak minat untuk bercanda.
"Yah, Gina. Alfika ngambek nih, gimana dong?" Diliriknya gadis yang baru menaruh tas di kursi depan Alfika.
Sementara Gina yang dimintai saran hanya bisa mengedikkan bahunya karena sikap ajaib dua sahabatnya itu yang selalu bertengkar tiap hari, seperti tikus dan kucing. "Itu sih salahmu sendiri."
"Ah, ucapanmu tidak membantu sama sekali."
Bel tanda jam pelajaran pertama pun berbunyi, semua siswa sudah harus memasuki kelasnya masing-masing untuk memulai pelajaran.
***
Setelah menempuh jam pelajaran pertama yang seakan berabad-abad lamanya, akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Kelas Alfika yang tadinya sunyi seperti kuburan, akhirnya kembali seperti pasar setelah bu Iis—guru Kimia mereka keluar dari kelas.
"Akhirnya... rasanya nyawaku sudah separuh terbang gara-gara ditanyai 5 nomor terakhir," keluh Alfika.
"Ya, untungnya kita sudah pernah mengerjakan soal-soal itu," sahut Gina yang langsung menghampiri Alfika.
"Ya udahlah, lagipula kan tadi gak sampai kena hukuman," ucap Bani dengan santainya. "Daripada memusingkan hal yang telah lalu, lebih baik kita ke kantin untuk mengisi tenaga. Perutku sudah mulai konser nih," canda Bani yang sukses membuat Alfika dan Gina tertawa.
Sepanjang perjalanan menuju kantin, Alfika merasa ada yang aneh dengan gadis-gadis di sekolahnya. Apa yang mereka lakukan sih? batinnya saat melihat sekumpulan gadis yang sedang berbisik-bisik dengan hebohnya.
"Al, mau makan apa?" tanya Bani setelah mereka sampai di kantin.
"Hm?" Alfika nampaknya baru sadar dari lamunannya, terlihat dari ekspresinya yang sedikit linglung.
"Kamu tuh ya, kebiasaan. Masa jalan sambil melamun?" omel Gina. "Bani tuh tadi nanya, kamu mau makan apa?"
"Ada acara apa nih, Bani mau nraktir kita?" ucap Alfika dengan asal yang langsung disambut jitakan manis dari Bani.
"Gundulmu! Aku cuma mau berbaik hati memesankan makanan kalian, tapi kalian bayar sendiri-sendiri makanannya."
"Yah... gak seru ah." Begitu melihat meja kosong, Alfika langsung mengambil tempat itu untuk teman-temannya. "Aku kira kamu mau traktir, Ban."
Bani yang sekarang sudah duduk di hadapan Alfika hanya bisa mendengus. "Maaf ya, ulang tahunku tuh masih lama, dan lagipula aku tidak punya perayaan khusus untuk mentraktir kalian."
"Sudah, cukup," Gina berusaha menengahi adu mulut tak penting kedua sahabatnya itu. "Bani, lebih baik kamu langsung pesan makanan. Apa sajalah, terserah kamu. Minumnya es teh manis sama..."
"Jeruk hangat!" potong Alfika dengan cepat.
Karena perdebatan mereka telah selesai, akhirnya Bani mulai beranjak dari duduknya untuk memesan makanan.
Selama menunggu Bani, Alfika mulai mengambil ponselnya untuk mengecek notifikasi apa saja yang sudah masuk ke ponselnya. Sejak tadi ia merasa ponselnya tidak bisa diam di dalam tasnya.
"Hm... apa ini?" Alfika mengerutkan keningnya ketika melihat percakapan grup LINE tim basketnya yang sedikit aneh. "Mereka kenapa sih?" gerutu Alfika sambil mengetik sesuatu untuk menghentikan percakapan bodoh ini.
Kalian sedang apa sih? Daripada membahas hal bodoh seperti itu, lebih baik kalian belajar atau lari keliling lapangan sebanyak 100x. Itu lebih bermanfaat.
Melihat temannya menggerutu pada ponselnya sendiri, Gina jadi sedikit penasaran. "Kau kenapa?"
Dengan kesal Alfika menggeser ponselnya ke Gina. "Coba lihat. Gak penting banget mereka bahas hal seperti itu di grup chat tim basket putri."
Setelah membaca beberapa deret pembicaraan di sana, Gina malah tertawa. "Astaga... kupikir kenapa." Dikembalikannya ponsel Alfika pada pemiliknya. "Wajar saja mereka membicarakan Ardian. Si bronis itu punya sejuta pesona yang bisa membuat gadis-gadis menjerit kegirangan waktu ada di dekatnya."
Alfika mengangkat sebelah alisnya. Ia pikir ucapan Gina barusan sedikit berlebihan di telinganya. "Memangnya, ada apa sih dengan si Ardian itu?" Alfika sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan saat merasa penasaran dengan sesuatu.
Gina mengatupkan kedua tangannya di bawah dagunya. Senyumnya mulai merekah secara perlahan. "Begini ya, Alfika... aduh, sepertinya kamu sedikit ketinggalan berita." Gina tertawa kecil, membuat rasa penasaran Alfika semakin memuncak. Sial, dia benci dibuat penasaran seperti ini.
"Mana kutahu. Aku kan tidak suka bergosip." Alfika mengedikkan bahunya cuek.
"Begini ya Alfiku sayang..." Gina pun mencubit kedua pipi Alfika. "Ardian itu punya kebiasaan yang menarik." Setelah Gina merasa puas, dilepasnya cubitan itu. "Dia selalu berpacaran dengan seorang gadis di hari Kamis, tapi setiap hari Rabu, ia selalu memutuskan kekasihnya, dan hari Kamisnya lagi, ia akan berpacaran lagi dengan gadis lainnya."
"Hah?" Alfika sedikit terkejut ketika mendengar apa yang baru diucapkan sahabatnya tersebut.
"Sudah menjadi hal lumrah saat melihat Ardian berjalan dengan gadis yang berbeda setiap minggunya."
"Dan mereka dengan bodohnya masih mau jadi kekasihnya bocah sialan itu?" ceplos Alfika yang langsung dibalas dengan cubitan gemas dari Gina di pinggangnya.
"Aw!" jerit Alfika ketika ia merasakan nyeri yang luar biasa di pinggangnya. "Sakit Gin, ya ampun. Kira-kira dong kalau nyubit."
"Habisnya kamu mengatakan hal yang menyebalkan sih...," kata Gina. "Dengar ya, selama Ardian menjalin hubungan dengan seorang gadis, dia tidak pernah berselingkuh, bahkan ia selalu memberikan perhatian khusus pada gadis yang dipacarinya. Pokoknya kamu akan merasa seperti menjalin hubungan dengan pangeran berkuda putih. Astaga... dia manis sekali." Gina tersenyum lebar sambil membekap kedua pipinya.
"Ada apa ini? Kelihatannya obrolan kalian seru sekali." Bani tiba-tiba datang membawa nampan berisikan makanan dan minuman.
"Ah, tidak. Bukan apa-apa," ucapan Alfika barusan mengakhiri pembicaraannya dengan Gina. Namun dalam hati sebenarnya Alfika merasa penasaran dengan Ardian, juniornya di tim basket itu sepertinya jarang menampakkan batang hidungnya saat latihan.
Setelah menghabiskan semua makanan dan minuman yang dipesan tadi, Alfika dan teman-temannya memutuskan untuk langsung kembali ke kelas, karena waktu istirahat mereka tersisa 5 menit lagi, dan pelajaran mereka setelah istirahat adalah Matematika peminatan—yang mewajibkan siswanya tidak boleh telat masuk kelas.
Saat hampir tiba di dalam kelas, Alfika menyadari sesuatu.
"Shit! HP-ku ketinggalan," maki Alfika yang baru menyadari bahwa ponselnya tak ada di saku baju pramukanya.
"Sana cepat ambil, sebentar lagi Pak Bambang masuk, loh," Bani kembali mengingatkan betapa menyeramkannya hukuman yang diberikan Pak Bambang bila ketahuan telat masuk kelas.
Tanpa banyak bicara lagi, Alfika langsung berlari ke kantin. Sepanjang perjalanan Alfika terus memaki mengenai sekolahnya yang luas ini. "Kenapa juga aku memilih sekolah ini kalau tahu luasnya gak ketulungan."
Sesampainya di tempat ia makan tadi, ia tidak menemukan ponsel yang seharusnya berada di atas mejanya. "Mampus, ilang." Alfika langsung menunduk untuk memastikan apa ponselnya jatuh atau tidak.
"Mencari ini?"
Alfika terkejut mendengar suara itu, bahkan saking terkejutnya, kepalanya tak sengaja membentur meja. Ia hanya bisa mendesis kesakitan.
"E-eh, kakak tidak apa?"
Saat melihat sosok pemilik suara tersebut, Alfika semakin terkejut dibuatnya. Ia membicarakan pria ini beberapa menit yang lalu. "Ah, gak apa," jawab Alfika sambil tersenyum.
"Ah, iya. Kakak cari ini?" Ardian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Ponselku. Makasih ya," Alfika tersenyum, lalu pada detik berikutnya ia dengan cepatnya mengambil ponselnya, lalu berlari meninggalkan Ardian seorang diri di kantin. Ia tidak peduli apa yang Ardian pikirkan tentangnya. Yang terpenting ia harus segera kembali ke kelas sebelum Pak Bambang.
Tapi... cinta tujuh hari seindah kisah cinta di negeri dongeng. Apa itu benar-benar ada?
***