“Kutukan! Ini pasti kutukan!”
Tante Bianca terus saja menceracau via ponsel. Aku tidak paham apa yang dia maksud dengan kutukan ini. Opaku terkena kutukan karena berumur panjang? Yang benar saja.
“Maksud, Tante?”
Terdengar dengus dari seberang sambungan. Aku sudah bisa membayangkan wajah galak Tante Bianca yang sangat keras kepala itu. Dia pasti akan mengoceh panjang kali lebar kali tinggi pangkat tiga. Coba, bayangkan saja akan sepanjang apa jadinya.
“Opa itu punya janji ke Mamanya Steve untuk pulang ke Kampung Bori. Sayangnya, nggak pernah ditepati sampai detik ini. Makanya, keluarga besar kita dikutuk dengan kematian anak-anak Opa.” Kudengar Tante Bianca menghela napas. Cukup panjang juga napasnya sampai-sampai baru mencari oksigen setelah celetukan panjang penuh dengan nada sinis itu.
Belum sempat aku menyela agar pepesan kosong ini segera berakhir, Tante Bianca sudah kembali mencerocos. “Dari sepuluh orang, kini hanya tersisa tiga. Tahun lalu Christina yang diambil, sekarang Iliana. Besok atau lusa bisa-bisa Rendy, Ribka, atau Maria yang mati. Opa itu harus didoakan supaya kutukannya hilang. Jangan main-main sama janji. Di Kampung Bori, kutuk itu masih bekerja dan tidak terpatahkan!”
Aku baru tahu kalau profesi Tante Bianca ini selain sebagai mantan pegawai swasta di Jakarta yang sekarang menjadi ibu rumah tangga biasa, ternyata merangkap ahli spiritual juga. Buktinya, dia bisa memberikan penjelasan terperinci terkait halusinasinya. Ya, kusebut halusinasi saja karena mustahil kalau harus dianggap sebagai kenyataan.
Sungguh, aku tidak terima kalau opa yang sudah kuanggap papa sendiri disebut-sebut sebagai penyebab dari meninggalnya mama, tante, dan om-ku. Apa katanya? Mamanya Om Steve yang mengutuk opa dan kutuk itu tak terpatahkan? Pemikiran jahat dari iblis mana lagi itu?
“Pokoknya, Bel,” Ah, dia mulai lagi. Sampai kapan telingaku harus mendengar omong kosong ini? “Kalau nggak ingin semua orang mati dan menyisakan opa sendiri, kita harus cari nomor Steve. Opa harus minta maaf sama dia karena udah nelantarin bertahun-tahun lamanya. Tante juga curiga kalau opa itu masih punya ‘pegangan’ jadi belum mati aja sampai sekarang. Harus didoain itu setiap malam. Supaya kutuk hilang, mantra lenyap, dan pegangannya lepas. Panggil Pendeta yang bisa doain opa!”
Cukup. Ini sudah keterlaluan. “Jadi, maksud Tante, opa itu harus cepat mati? Atau opa jadi penyebab semua kematian di rumah ini? Maaf ya, Tante Bianca. Opa masih hidup sampai sekarang karena masih ada peran yang belum selesai di dunia, karena Tuhan memang belum manggil opa. Tante tahu sendiri kalau semua kebutuhan di rumah ini bisa tercukupi karena ada pensiun opa. Apa opa harus secara spesifik didoakan supaya mati saja? Begitu maksud Tante?”
Quinza yang sedari tadi hanya mendengarkan, mendadak menyentuh pundakku. Aku menghentikan semua luapan emosi itu dan menoleh ke arahnya. Dia menggelengkan kepala sebagai kode bahwa aku harus tetap tenang.
“Kok kamu malah marah sama Tante, Bel? Tante itu khawatir sama keluarga kalian. Memang kedudukan Tante di keluarga kalian hanya sebagai menantu, tetapi bukan berarti benci sama opa dan mengharapkan opa mati. Maksud Tante ....” Inkonsistensi yang kentara terdengar dari suaranya. Antara enggan disalahkan dan ingin pendapatnya diterima bercampur menjadi satu. “Ah, pokoknya kalian yang di Bandung harus doakan opa setiap malam. Jangan main-main sama kutukan!”
Panggilan diakhiri oleh Tante Bianca. Aku mengembuskan napas penuh kelegaan. Belum pernah seumur hidupku berdebat begitu sengit dengan orang yang lebih tua dariku. Aku menghormati semua tante dan om-ku. Karena merekalah aku bisa tumbuh dewasa meski ditelantarkan oleh papa dan ditinggal untuk selamanya, oleh mama semenjak wujudku masih bayi merah yang bisanya hanya menangis dan meminta susu.
“Jadi? Tante Bianca masih ributin soal kutukan itu?” To the point sekali pertanyaan Quinza. Kulirik wajahnya. Pantas saja bertanya langsung ke inti, seluruh urat di mukanya memberikan sinyal keingintahuan yang tinggi.
Aku mengangguk lemah. Selelah itu aku menanggapi semua perkataan Tante Bianca. “Kenapa, sih susah banget kasih tau Tante Bianca soal hidup atau mati itu di tangan Tuhan, bukannya di tangan Mamanya Om Steve. Memang apa hubungannya Kampung Bori dengan kutukan tak terpatahkan sampai harus dispesialkan seperti itu? Bukannya aku mengecilkan orang-orang dari kampung halaman Opa, tetapi Tante Bianca membuat mereka seakan-akan lebih berkuasa dari Tuhan sampai bisa mengendalikan hidup dan mati.”
Quinza tersenyum miring. Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang berjamur. Timbul titik-titik hitam di beberapa lokasi. Jelas sekali atap itu telah berjuang sekuat tenaga untuk melindungiku dari hujan. Sama seperti opa melindungi kami semua dari kesulitan hidup selama bertahun-tahun, meski sekarang beliau sudah tidak berdaya dihajar oleh usia senja.
“Menurut aku sih yang dikuasai oleh kekuatan si jahat bukan opa, ya. Justru Tante Bianca dan semua yang percaya kalau kematian itu diatur oleh Mamanya Om Steve.” Ah, akhirnya. Dari seluruh anggota keluarga, ada juga satu yang sependapat denganku. Ingin rasanya kupeluk erat-erat adik sepupuku ini dan kuciumi wajahnya sampai ia menjerit-jerit seperti biasanya.
Perempuan tomboy itu paling tidak suka kalau kuperlakukan demikian. Padahal, saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak, Quinza selalu memegangi tanganku setiap kali kujemput dari sekolah. Seakan tidak ingin melepaskannya selamanya. Setelah beranjak remaja, ia malah alergi dengan sentuhan keluarga yang berlebihan. Apa lagi sekarang setelah usianya menginjak 25 tahun.
Jujur, aku merindukan masa-masa di mana rumah ini masih ramai. Masa aku masih memakai pakaian putih biru dan Quinza dengan pakaian TK-nya yang menggemaskan. Dulu, tidak ada yang menganggap opa sebagai manusia terkutuk. Semua hidup bersama di satu rumah dan saling berbagi kehangatan layaknya keluarga normal. Kecuali Quinza. Dia, Tante Maria, dan Om Rizal memang tinggal terpisah dengan kami meski tidak terlalu jauh
Mungkin, hal itu pula yang membuat Quinza dan keluarganya tampak sangat berbeda dan tidak pernah memicu pertengkaran di tengah keluarga besar. Berbeda sekali dengan kondisi di rumah ini, terutama setelah semuanya dewasa. Setiap ego berbentrokkan tanpa ada yang mau mengalah. Kendati demikian, kami tetap saling menyayangi.
“Ah, Quinza. Kamu mau tukar tempat sama aku, nggak? Kamu tinggal di sini, aku di rumah kamu.” Aku tidak serius dengan perkataanku. Ini hanyalah luapan rasa sesak karena himpitan dari berbagai arah, terutama dari Tante Bianca.
“Idih, Ogah!” serunya sambil tertawa. “Aku sih mendingan nulis novel, ya. Ini cerita soal Tante Bianca yang bahas kutukan melulu kayaknya cocok dijadiin novel. Bisa bestseller kayaknya.”
Aku terpingkal mendengar ocehannya. Quinza dan kecintaannya akan dunia tulis-menulis itu sebenarnya membuatku terpana. Dia berani mengambil langkah yang menggiringnya pada kebahagiaan. Berani menjadi dirinya sendiri tanpa banyak drama. Hidupnya seperti burung dara yang terbang bebas ke sana kemari. Kali ini aku serius, bolehkah aku bertukar tempat dengannya, Tuhan? Aku ingin bahagia.
Wah, Tuhan menjawab doaku secara langsung. Jawabannya adalah tidak, sebab ponselku kembali berdering dengan nama Tante Bianca tercetak lebar-lebar di layar. Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri. Entah apa lagi yang akan diocehkan oleh Tante Bianca ini.
Quinza menyenggol lenganku dengan sikunya. ”Tuh, angkat dulu. Mau kasih mantra penghapus kutukan, kayaknya.” Ia mengulum senyum, tampak sedang menahan tawa.
“Diem, Quin. Jangan ngajak ketawa.” Aku menegurnya. Quinza membuat gestur seakan sedang menutup ritsleting di bibir. Aku tidak menanggapinya lagi dan segera mengangkat panggilan suara itu. “Ya, Tan?”
“Tan? Setan maksudnya, Bel?” Bisik Quinza yang kujawab dengan pukulan ke lengannya. Aku bisa terpingkal kalau dia meneruskan ocehan bak stand up comedian itu.
“Tante lupa tadi mau nanyain sesuatu. Sertifikat rumah di mana? Foto dan kirimkan ke Tante sekarang juga.” Tanpa menunggu dijawab, Tante Bianca mengakhiri panggilan.
Aku terbengong menatap layar. Kegilaan apa lagi ini?