Dongeng ini telah dituturkan selama ratusan tahun. Dari mulut si Mbah, ke telinga cucu-cucunya. Mereka akan berkata, “Jangan berenang di Sungai Brantas, karena di sana ada istananya buaya putih. Nanti kamu dijadikan budak sama Ratu Buaya Putih.”
Cerita itu memang benar. Jauh di kedalaman sana, dibalik sihir dan ajian mantra-mantra, berdiri istana yang megah. Namun, para Mbah yang mendongeng kepada cucu-cucunya, tidak mengetahui sebuah kebenaran dari dongeng itu: bahwa buaya putih hidup abadi dan bisa memiliki keturunan.
Dan salah satu keturunan mereka, sedang berdiri diam di jembatan Sungai Bratas. Keturunan itu, berambut sehitam jelaga. Dia menjelma manusia rupawan dengan kulit putih mulus. Mata pria itu memejam, seolah-olah merasakan belaian angin sore yang memabukan.
“Mas, benarkah itu kamu?” tanya wanita paruh baya yang berjalan tergopoh-gopoh.
Tidak ada jawaban. Pria berbulu mata lentik itu, tidak menjawab. Dia sedang asyik menikmati pias cahaya senja di wajahnya.
“Mas Birendra,” teriak si wanita paruh baya. “Mas Birendra! Mas!”
“Berisik!” Pria itu menoleh ke samping kiri. Dia berteriak, “Suga! Namaku Suga! Tidak yang lainnya.”
“Ya ampun, baik, baik, Suga. Mas Suga. Benarkah itu kamu?”
Suga berkacak pinggang. “Memangnya siapa lagi?!”
“Apa kamu tidak merindukan adikmu ini, Mas?!”
Seulas seringai terukir di bibir tipis Suga. “Orang yang mendengar pertanyaanmu, akan menganggapmu gila, Malini.”
Wanita bernama Malini itu telah sampai di hadapan Suga. Tanpa meminta izin, dia memeluknya. Untuk beberapa menit yang lama, tidak ada percakapan di antara mereka. Semuanya begitu sunyi. Bahkan air yang beriak di bawah sana pun, tidak bergejolak. Begitu tenang.
“Jadi, kenapa kamu pulang ke sini? Katanya akan di sana sampai usia tiga puluh tahun menurut perhitungan mereka? Lalu apa ini? Sudah bosan menjadi idol?”
“Satu-satu.” Suga melepaskan pelukan adiknya. “Tanya satu-satu.”
Malini tersenyum. “Jadi, apa Mas sudah bosan menjadi idol dan memutuskan kembali? Ingin tinggal di sini atau di bawah sana.” Malini menunjuk ke Sungai Berantas.
“Aku malas masuk air.”
“Hahahaha,” tawa Malini, “mana ada buaya malas masuk air? Semua akan kembali ke tempat asalnya.”
“Ada satu buaya yang malas masuk air. Aku.” Suga menunjuk dirinya sendiri.
“Baiklah, baiklah, apa Rena (Sansekerta: Ibu) tahu Mas datang ke sini?”
Suga menggeleng. “Hanya kamu. Aku tidak mengabari Rena.”
“Rena pasti merindukanmu.”
“Lebih baik tidak bertemu Rena. Aku ke sini karena ingin menjadi manusia. Sepertimu.”
“Hah?”
“Aku ingin melepaskan umur yang berjalan lama ini dan berumur pendek, seperti manusia.”
“Kenapa? Kenapa kamu ingin menjadi manusia?”
***
Suga dan Malini sudah berada di ujung jembatan. Mereka menemukan jalan landai. Suga memberikan tangan untuknya. Malini tersenyum menyambut uluran tangan itu. Dengan perlahan, keduanya menuruni jalan landai. Debu-debu terangkat di bawah kaki mereka.
“Aku tidak menyangka adikku sudah setua ini,” canda Suga.
“Itu karena sekarang aku sepenuhnya manusia. Menjadi makhluk fana.”
“Baiklah, jangan cemberut begitu. Ngomong-ngomong, lepaskan tanganmu.”
“Emoh…” Malini semakin erat menggampit lengan Suga. “Aku rindu kamu. Biarkan seperti ini. Kita sudah lama tidak bertemu. Kamu sibuk konser.”
Suga tersenyum. “Baiklah, baiklah, adikku yang telah menjadi nenek. Tapi, yang mana rumahmu?”
Malini menunjuk rumah berlantai dua. Rumah itu berwarna oranye, seperti warna senja, mengingatkan Suga kepada seseorang yang pernah dia kenal, seseorang yang sangat mencintai senja. Keduanya pun menyeberangi jalan raya. Sore itu, tidak banyak kendaraan lewat. Hanya satu atau dua orang pejalan kaki, yang menyapa ramah Malini.
“Aku tidak tahu kamu ternyata terkenal di sini.” Suga mendorong gerbang dengan tangan kiri.
“Itu karena Mas jarang mengunjungiku, makanya tidak tahu. Aku tidak kalah populernya dengan Mas.”
“Jangan bandingkan aku dengan dirimu. Aku tingkat dunia. Kamu tingkat kampung.”
“Yah!” Malini mencubit lengan Suga. Keduanya tertawa lepas.
“O, itukah cucu teman Mbah Yanti?”
Yanti merupakan nama Malini setelah menjadi manusia. Suga menoleh ke sumber suara yang menyapa adiknya. Dia menemukan seorang gadis berlesung pipi, mengembangkan senyum untuknya.
Gadis itu, senyum itu, rambut yang menjuntai di dekat telinganya, mengingatkan Suga kepada kisah masa lalu.
Dahulu sekali, sebelum Jawa menjadi seperti sekarang, Suga pernah mencintai seorang gadis priayi. Wajah gadis tersebut sama persis dengan gadis di hadapannya kini.
Suga menoleh kepada Malini. Tatapan matanya menyiratkan sejuta pertanyaan yang ingin diledakan saat itu juga.
Malini berbisik di dekat telinga Suga. “Reikarnasi. Masa lalu hanya untuk dikenang. Kamu mungkin masih mengingatnya, tapi dia tidak mengingatmu.”
Suga hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Benar. Apa yang dikatakan Malini memang benar. Namun, tetap saja, jantungnya berdegup kencang. Cinta adalah dongeng yang tidak mudah dilupakan ataupun dilepaskan.
“Kemarilah, Dewi!”
Dahulu, Suga pernah memberi nama wanita itu Sandhya. Sekarang, namanya telah berubah menjadi Dewi. Nama yang bagus, persis menggambarkan paras ayunya. Di mata Suga, Dewi adalah kenangan yang tak terlupakan dan kini hadir kembali ke hidupnya.
“Perkenalkan, ini cucu temanku. Namanya Su…”
“Birendra,” potong Suga. Untuk kali ini, dia ingin dikenal nama aslinya, bukan nama dirinya setelah menjadi idol.
“Halo, namaku Dewi. Sepertinya kita seumuran.” Dewi mengulurkan tangan.
Suga tak lantas menyambut tangan itu. Dia memandangnya. Dia melihatnya. Dia teringat masa lalu lagi. Dulu sekali, Suga tidak berani menampakan wujud aslinya di hadapan Dewi. Dulu sekali, Suga hanya akan memandang Dewi diam-diam dari balik pohon randu. Dulu sekali… tiba-tiba luka itu menelesap jauh lebih cepat dari rasa rindu. Luka yang membuatnya membenci Dewi. Bila cintanya tidak sama kuatnya, dulu dia pasti yang akan membunuh Dewi.
Jabatan tangan itu tidak dibalas Suga. Rahang Suga mengeras.
Tanpa mengerti apa yang salah dari dirinya, Dewi tersenyum. “Ah,” katanya, “tanganku kotor, ya? Seharusnya aku bersihkan dulu. Tadi aku merawat tana….”
Tanpa menunggu Dewi melanjutkan perkataannya, Suga lekas pergi. Dia masuk ke rumah.
***
Malam ini segelap hati Suga. Dia tidak pernah mengira akan bertemu dengan cinta pertamanya. Mata Suga terpejam.
Di sini, di balkon kamarnya, Suga mengingat kembali alasannya ingin menjadi manusia. Teriakan para penggemar. Sorakan kebahagiaan dari kursi penonton. Suga ingin memiliki mereka sampai akhir hidupnya. Dia tidak ingin membuat dirinya seakan-akan meninggal di usia tiga puluh, tapi dia ingin menua dan mati bersama orang-orang yang mencintainya.
Embusan napas Suga terdengar berat. Dia menoleh saat ada tangan menyentuh pundaknya.
“Apa yang sedang Mas pikirkan?” Malini berdiri di dekatnya.
“Emm…”
“Mengingat masa lalu?”
Suga menautkan kedua telapak tangan di atas balkon. Andai saja bulan sempurna di langit dapat mengabulkan permintaannya, dia ingin tidak dipertemukan Dewi. Namun, siapa yang bisa memilih takdir?
“Kenapa kamu membiarkannya di sini? Tidak mengingat kematian Badung Seketi?”
Kala Badung Seketi masih hidup, Suga sangat dekat dengannya. Bagi Suga, Badung Seketi bukan sekadar kakak tertua, melainkan juga Ayah. Suga menganggap Badung Seketi sebagai Ayahnya karena dia sangat perhatian kepada Suga.
Namun, kejadian tragis itu datang tanpa bisa diundang. Suga mendongak, memandang kegelapan malam yang tidak berbintang. Dia menggeleng, mencoba menyingkirkan ingatan Badung Seketi dijerat tali.
“Kita bunuh buaya ini.”
Sebuah suara serak mulai terdengar di pikiran Suga. Tanpa bisa ditahan, air matanya menguap bagaikan bah. Tangisan Suga tak terbendung. Dia datang ketika Badung Seketi telah tiada. Badan Badung Seketi telah terpotong-potong. Kepala, tangan, kaki, bahkan ekor, sudah tidak bersama tubuhnya lagi. Darah segar nan anyir memuncrat di mana-mana.
Amarah pun memenuhi seluruh dada Suga. Dia berteriak keras. Nyaring sekali sampai membuat burung-burung ketakutan dan terbang menjauh. Suga memutuskan untuk berubah menjadi bentuk sejatinya, yakni Buaya Putih.
Dengan kedua tangan dan kaki, Suga berlari ke arah mereka. Sudah dia putuskan, tidak akan membiarkan siapa pun dari mereka hidup. Dia akan membunuh mereka, istri mereka, bahkan anak-anak mereka. Suga menerkam seperti setan hilang kendali. Mengoyak dari satu kaki ke kaki lainnya.
“Tali, tali, jerat tali. Cepat berikan lagi.”
Naas, serangan mendadak itu, telah mengendurkan barisan manusia. Lima orang telah mati di mulut Suga. Tercabik-cabik, seperti Badung Seketi.
Sekarang tinggal dua orang lagi. Keduanya tidak berdaya. Kaki mereka mulai bergetar dan mereka merangkak, menuju akar yang menjembul di tanah.
“Ampuni kami.”
“Hamba punya anak kecil. Hamba hanya disuruh. Tolong, jangan sakiti hamba.”
Keduanya duduk bersimpuh. Memohon dengan nada melas yang untuk sejenak meluluhkan hati Suga.
Siapa yang menyuruh kalian?
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Buaya di hadapannya tidak bicara. Lalu, apa yang barusan terjadi?
Aku yang bicara di pikiran kalian. Jawab aku, siapa yang menyuruh kalian.
“P-p-prabu Dandhang Gendis.”
Nama itu. Prabu Dandhang Gendis. Itu adalah nama Ayahanda Sandhya. Kenapa mereka membunuh Badung Seketi? Padahal hubungan keduanya selama ini baik-baik saja. Badung Seketi bahkan sering membantu Prabu Dandhang Gendis. Apa ini pengkhianatan?
“Jantung buaya putih. Prabu Dandhang Gendis butuh jantung buaya putih untuk membuat tubuhnya kebal.”
Bila saja sekarang Suga menjelma manusia, tangannya pasti bergetar. Syukurlah, dia telah berubah menjadi bentuk aslinya, sehingga kelemahan itu tidak terlihat. Suga kembali dipenuhi amarah. Dia pun membunuh dua prajurit. Lalu dengan air mata bercucuran, dia berubah menjadi manusia. Dengan perlahan, dikumpulkannya tubuh Badung Seketi dan membawanya pulang ke Istana Buaya Putih.
“Tentu saja aku ingat,” kata Malini, membuyarkan lamunan Suga, “Mas Badung Seketi sudah aku anggap seperti kakak. Maka dari itu, aku menyiksa Dewi di sini.”
Suga menoleh ke adik tirinya itu. “Menyiksa?”
“Aku seorang Mbah. Nenek-nenek. Aku membuatnya menderita dengan perlakukanku. Cerewet. Rewel. Suka membentak. Dan hal lainnya. Kalau sebelum meninggal suamiku tidak berpesan untuk tidak membunuhnya, aku pasti sudah membunuhnya.”
Suga menghela napas panjang. Dia mendongak lagi. Tidak ada bintang di malam itu. Hanya ada rembulan bundar berwarna keperakan.
“Pakailah Dewi. Manfaatkan dia untuk tujuanmu.”
“Dia pasti tidak mau. Kalau aku bilang padanya untuk meminum darahku dan akibatnya, dia pasti tidak mau.”
Untuk sepenuhnya menjadi manusia, darah buaya harus diminum seorang manusia. Apabila darah itu telah diminum, separuh umur kehidupan manusia itu akan hilang. Siapa yang rela memberikan separuh umur kehidupan untuk seekor buaya? Tidak ada, kecuali orang yang benar-benar mencintainya.
“Jangan bilang. Cukup campurkan darahmu ke minumannya. Beres.”
Suga mengerutkan kening mendengar usul itu. “Gila,” katanya.
“Hanya itu caranya. Kemarilah, ikuti aku!”
Malini mengajak Suga untuk masuk kamar. Di sana, di tengah kamar yang terdapat tempat duduk, sudah ada jarum suntik dan segelas jus tomat di atas meja.
“Kemarikan tanganmu! Tunggu sebentar, Mas, sudah yakin? Kalau Rena mengetahui hal ini. Dia bisa mengamuk.”
“Jangan diberi tahu,” kata Suga, “aku yang akan menanggung segala resiko.”
Malini memasukan jarum suntik ke lengan Suga. Darah mulai memenuhi tabung suntik. Kemudian Malini mencampurkan darah itu ke jus tomat dan mengaduknya.
“Akan aku berikan jus ini kepadanya. Mana gelang buayamu?”
Dengan ragu, Suga merogoh saku. Gelang buaya itu sudah ada sejak seekor buaya menetas. Fungsinya mirip seperti ari-ari pada manusia. Warna gelang itu putih. Apabila Suga berubah menjadi manusia, warnanya akan berubah merah. Malini menarik gelang Suga.
“Tunggulah, lusa gelang ini akan berwarna merah,” ucap Malini seraya membuka pintu kamar.
Butuh waktu satu hari supaya kejaiban bercampur dengan kenyataan. Dan ketika saat itu tiba, Suga tidak tahu harus berbuat apa.
***
Sudah tiga hari lamanya Suga berada di rumah Malini. Hari ini dia akan pergi. Kembali bersama boyband dan bermusik.
Sebelum pergi, Suga memandang gelang di tangan Dewi. Gelang putih itu telah berubah merah.
Dewi yang tidak tahu apa yang sedang terjadi, bertanya riang, “Gelang ini tiba-tiba saja berubah merah. Apakah ini gelang istimewa?”
“Pergi sana! Menyapulah!”
“Baiklah.” Dewi ingin memeluk Malini, tapi ditepis. “Uh, Mbah, tidak asyik sekali. Mas Birendra, semoga selamat di perjalanan. Katanya mau ke Korea, ya? Wah, aku ingin sekali saja ke sana sebelum mati. Aku ingin melihat salju.”
Tanpa dikomando, Suga tersenyum mendengar nada manis Dewi.
“Pergilah! Jangan ganggu Birendra!”
“Baiklah, baiklah, baiklah.”
Untuk terakhir kalinya, Suga pamit kepada Malini. Dia memeluknya dan berkata, “Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik.”
“Mas juga, karena sekarang Mas tidak abadi. Jangan khawatir, aku yang akan membalaskan dendam kepada anak itu. Aku akan menyiksanya sampai aku mati.”
Suga tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Sekali lagi dia mengucapkan selamat tinggal. Kemudian dengan berjalan kaki, Suga mulai keluar halaman, menjauhi rumah.
Cinta, ibaratnya sebuah dongeng yang tidak diharapkan. Sekalipun berusaha untuk tidak memedulikan, tapi cinta itu tetaplah ada. Tetap bersemayang di hati orang-orang yang mempercayainya, seperti hati kecil Suga yang berulang-ulang berkata, “Dewi tidak salah apa-apa. Kenapa kamu tega merampok separuh umur kehidupannya?”
Dan Suga pun, bergelut dengan hati kecilnya. Dia berjalan. Terus berjalan mendekati senja atau mungkin jalan raya yang akan membuatnya kembali kepada para penggemarnya.
***