Dulu aku pasti nggak akan menyangka kalau mengikuti self improvement ala - ala orang mau sukses bakal se-naik turun ini. Apalagi setelah bertahun-tahun rasanya kayak naik kapal yang nggak pernah berhenti berlayar. Awalnya excited lama - lama mabuk laut.
Tapi, nggak lama juga bakal ngerasa terbiasa. Ada momen-momen aku merasa berhasil mengalahkan rasa malas, produktif 100%, bahkan kebiasaan yang sulit malah jadi kegiatan 'istirahatku'.
Kupikir-pikir aku dulu itu aneh. Tapi ternyata lebih aneh lagi yang ini. Punya rasa ambis yang tinggi tapi nggak melakukan banyak aksi. Akhirnya mau kembali ke dirinya yang dulu tapi tak mampu.
Selalu bertanya-tanyalah aku "Gimana ya dulu? Kok bisa aku kayak gitu?"
Sampai ke kesimpulan aneh kayak:
Apakah aku harus patah hati dulu?
Untungnya, opsi itu nggak beneran kulakukan.
Aku tetap bertanya-tanya, tapi sambil berjalan. Meski jalannya kayak nggak punya arah tapi aku percaya kalau usaha apapun itu pasti akan mengarahkankku ke tempat baru. Jadi, setidaknya aku nggak diam di tempat.
Dan, di sinilah aku sekarang, mencoba hal random lainnya dalam hidup, menulis. Kalau kalian baca sampai sini, mungkin kalian juga pernah melakukan hal random karena sudah nggak tahu lagi apa yang harus dilakukan?
Ini bukan satu-satunya hal random yang kulakukan. Aku juga baru saja memulai channel YouTube dan mencoba peruntungan di sosial media. Rasanya kayak melempar jala ke laut merah. Ya, aku belum dapet apa-apa.
Katanya, hidup harus punya tujuan. Aku sendiri untuk saat ini menjalani hidup dengan tujuan kecil saja setiap harinya. Tujuan besarku biarlah jadi angan yang nggak perlu kuragukan atau kupertanyakan. Cukup ada di dalam hati dan biarkan langkahku berjalan.
-
Menulis monolog kayak gini ternyata nggak gampang. Buat menuhin 500 kata aku ngos-ngosan. Meski nyatanya menulis itu cuma duduk doang, tapi menurut Haruki Murakami menulis itu berarti kita mengerahkan seluruh kekuatan kita dari kepala sampai kaki.
Nggak heran, kalau penulis itu orang-orang dengan pekerjaan yang berat. Mereka selalu digampangkan. Kadang bukunya dibajak, kadang karyanya yang kena komentar kurang enak, kadang juga hidupnya yang dihantui revisian.
Menurutku, orang-orang yang terlatih jurnaling karena mengikuti self improvement things, masih belum cukup untuk dikatakan sebagai seorang penulis. Mengutarakan isi kepala, isi hati, berbeda dengan menatanya menjadi bait-bait paragraf yang enak dibaca.
Huft. Apalagi tulisanku ini, masih sangat banyak kurangnya.
Tapi, kalau kita kembali ke pengembangan diri, tidakkah setiap keterampilan membutuhkan latihan? Jadi, aku bisa saja menyebut tulisanku di sini sebagai latihan.
Semoga saja dengan menganggap ini latihan, tidak membuat orang-orang melakukan cut off karena karyaku buruk semua untuk saat ini.
-
Ngomong-ngomong cut off, pernahkah kalian juga memutus hubungan dengan seseorang demi kehidupan pribadi kalian lebih baik?
Ini juga termasuk salah satu saran orang-orang di media sosial yang ingin kamu fokus ke self-growth mu sendiri. Tapi aku sendiri tidak pernah melakukannya secara sengaja. Rasanya, semuau orang pasti akan menjauh kalau tidak cocok dengan kita. Seakan-akan ada filter kasat mata yang bikin pergaulanku itu-itu saja.
Tapi ini bikin sedih juga sih. Bagaimana aku yang seorang anak kabupaten bisa menambah relasi kalau sulit buat menjalin koneksi dengan orang-orang baru?
Dulu ini jadi rasa insecure-ku. Tapi ada suatu momen yang membuatku sudah berdamai dengan domisili sebagai anak kabupaten. Kalian akan lebih tahu lagi di bab-bab selanjutnya.
Kira-kira begitu yang akan kubahas di sini, semua tentang naik turunnya pengembangan diri. Apakah kita pada akhirnya akan menemukan kepuasan terhadap diri?
Temukan langsung jawabannya di bab terakhir nanti.