love

love

gio_milahy

0

“Kamu kapan mau nikah Eva?” tanya Papa kepadaku dengan tatapan lurus dan tegasnya. “Kakak kamu udah punya anak dua, bahkan adik kamu udah hamil dua bulan. Masa kamu sendiri yang belum menikah sih?”

“Umur kamu udah tiga satu, Eva,” tambah Mama. “Kalau kamu fokus sama pekerjaan kamu teru. Kedepannya kamu nggak bisa berkeluarga lho. Kamu mau tua sendiri? Berkeluarga, punya anak, terus tua bersama. Itu esensi dari manusia.”

“Aku merasa kalau ini bukan waktu yang tepat,” belaku. “Kalau aku menikah, kehidupan aku nggak sebebas sekarang.”

“Kamu mau sampai kapan mau main-main? Keluar malem nggak kekontrol?”

“Aku di Jakarta bukan buat main-main.” Aku menatap Mama dengan tegas. “Aku ke Jakarta buat kerja. Dan saat ini aku sedang menanjak karirnya. Aku nggak mau karir aku terhambat karena kebebasan aku terkurung gara-gara ngurusin anak orang.”

“Karir itu nggak bakalan dibawa sampai mati.”

“Ya sama juga dengan pernikahan. Kalau aku berkeluarga emang anak, suami, rumah, tabungan, dan cicilan bakalan dibawa sampai mati? Nggak kan, orang aja bisa nikah lagi kalau pasangannya meninggal.”

“Tuhan itu menganjurkan manusia untuk menikah dan berkeluarga.”

“Paulus aja nggak menikah tapi dia bisa jadi seorang Santo. Apa kehidupannya dan pengabdiannya kepada Tuhan sia-sia karena dia tidak menikah? Nggak kan? Di gereja dijelaskan banget.”

Kedua orangtuaku terus mendorongku supaya menikah. Tetapi aku tetap berpegang teguh dengan kemauanku untuk terus berfokus ke kehidupan karirku. Karena, saat ini aku tinggal sedikit lagi bisa mencapai karir yang aku idam-idamkan. Bisa menjadi seorang bos untuk sebuah divisi pemasaran perusahaanku.

Beratahun-tahun aku bekerja dari pagi sampai malam sampai pernah tidak melihat mentari di apartemenku di Jakarta sana. Semuanya aku lalui karena aku paham apa yang diperlukan untuk mendapatkan posisi yang aku incar semenjak pertama kali bekerja di perusahaanku sembilan tahun yang lalu.

“Aku belum mau nikah,” ucapku dengan tegas. “Udah gitu aja.”

“Hah...,” Papa berdiri. “Yasudah, nggak apa-apa. Mungkin cuma ego Papa aja buat pengen ketiga putri Papa berkeluarga. Dan bisa Natalan bareng sekeluarga besar di sini.”

“Ya.”

Aku terdiam sejenak kemudian bangun dan berjalan keluar dari ruang pertemuan. Di hadapanku aku berhadapan dengan sebuah rumah yang sangat besar. Teriakan anak kecil terdengar menggema dari lantai satu.

Dari balkon aku melihat kebawah. Keponakanku bernama Peter yang sudah berusia lima tahun sedang bermain bersama dengan adiknya yang masih berusia satu setengah tahun. Mereka berdua bermain saling lempat bola dan dipenuhi oleh tawa.

Peter melompat-lompat saat adiknnya, Moses berhasil menangkap bola. Sementara itu Moses tertawa lepas sampai suaranya melengking. Suara itu terdengar jelas, tetapi tidak sama sekali menggangguku. Karena bagaimanapun juga, aku senang mendengar kedua keponakanku menikmati harinya.

Mereka berdua adalah anak dari kakak perempuanku, Michele. Dia dan suaminya, Joshua sudah menikah semenjak tujuh tahun yang lalu. Mereka berdua masih terlihat rukun dan saling mencintai. Hal itu terlihat jelas dari posisi duduk mereka yang saling bersandar.

“Jangan pacaran di depan anak-anak,” candaku.
Joshua tertawa kemudian menatapku. “Bagaimana rapatnya dengan Ayah dan Ibu?”
“Berjalan seperti biasa. Negosiasi mereka gagal karena aku memang tidak ingin buat memenuhi permintaan mereka.”
“Sama sekali nggak terbujuk?” tanya Kak Michele. “Ini udah yang ketiga kalinya tahun ini. Mereka bahkan sempet bilang mau jodohin kamu ke agen perjodohan.”
“Hah?!” aku terkejut sampai membuat Peter dan Moses menoleh. “Kakak serius?”

Kak Michele tertawa lalu memegang tangan kananku. “Yang dibilangin Papa waktu itu cuma bercanda doang. Dia lagi cerita sama kamu ke suaminya si Mary, Nova. Dia ngomonng sambil tertawa gitu kok. Tenang aja, mereka nggak akan sampe ngejodohin kamu.”

Aku sama sekali tidak merasa lega. “Begitu ya. Yaudah, kita hari ini bakalan masak-masak bareng kan? Aku mau belanja dulu kalau begitu.”
“Mau dianterin nggak?”
Sebuah senyuman sombong kukeluarkan. “Tenang aja, Kak. Aku bukan lagi anak kecil yang nangis sewaktu kepisah dari keluarga di supermarket. Aku bisa belanja sendiri.”
“Waktu itu rame ya, orang pas mau lebaran.”
Setelah tertawa aku berjalan menuju pintu keluar. Setelah keluar, aku mengeluarkan kunci mobil Xpanderku dan membawanya ke supermarket yang ada di pusat kota Bandung.
Seperti yang kukatakan kepada Kak Mary tadi. Aku ini bukanlah anak kecil yang mudah menangis dan tidak bisa melakukan apapun. Aku adalah seorang wanita mandiri yang bisa mengurus semuanya. Mulai dari berbelanja, sampai ke masalah keuangan. Aku tidak memerlukan laki-laki untuk melakukan semuanya.
Hanya saja...
Hanya saja saat ini aku merasa dorongan dari Papa dan Mama semakin terasa intensi. Tadi saja aku hampir merasa akan meledak. Rasanya aku ingin marah kepada mereka berdua. Meneriaki mereka untuk tidak mengatur-ngatur hidupku.
Namun, aku tahu kalau aku marah, yang ada aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Aku akan menyakiti mereka tanpa memberikan penjelasan kepada mereka. Karena sejujurnya aku tidak pernah bisa memahami emosi yang aku alami.
Di waktu yang bersamaan aku merasakan marah karena di desak, merasa sedih karena mengecewakan mereka, dan merasa kecewa karena mereka menuntutku. Dan bila aku meledak, hal itu tidak akan memperbaiki apa yang kurasakan. Malahan, mungkin aku akan merasa bersalah. Mungkin karena itulah aku selalu memendam apa yang aku rasakan.
Di supermarket aku melihat banyak buah-buahan. Aku tahu buah apel dan anggur akan menjadi makanan cemilan keluarga di waktu malam nanti. Karena itulah aku membeli banyak sekali buah-buahan ini. Kemudian membeli makanan seperti ikan, daging ayam, sayur mayur. Semuanya untuk merayakan kehamilan adik kecilku, Mary.
Sepulang dari berbelanja di parkiran aku melihat sebuah mobil kecil yang aku tahu adalah milik suami dari Mary, Nova. Mobil kecil keluaran eropa yang terkesan eksentrik lengkap dengan warna kuning yang menyala seperti krayon.
Sebuah tawa kecil tidak bisa aku sembunyikan setelah melihat mobil itu. “VW kodong itu sama sekali nggak berubah. Aku rasa memang cocok dengan Mary.”
Dengan sekuat tenaga aku membawa bahan-bahan makanan dari belakang mobil ke dalam rumah. Peter dan Nova langsung bergerak untuk membantuku.
Sambil bercanda aku berkomentar, “all of you were late. Nova, tolong ambil daging ayam di bagasi belakang. Hati-hati, soalnya kayaknya darahnya kecium.”
“Oke, Kak,” angguk Nova segera berjalan.
Di sofa ada seorang wanita pendek yang sedang duduk dan mengobrol dengan Kak Michele. Wanita itu jelas-jelas Mary. Karena postur tubuh mereka yang mirip. Mereka sama-sama berpostur pendek dengan leher jenjang dan wajah yang lonjong. Dan kalau bukan karena alis tebal Michele, mungkin mereka akan disangka sebagai kembar.
“Ibu-ibu,” kataku sambil lewat. “Kenapa nggak bantuin?”
Dengan jahil, lengkap dengan suara cemprengnya Mary menjawab, “kalau urusan angkat mengangkat barang kita serahkan aja ke laki-laki.”
“Dih sialan lo.”
Canda dan tawa ini adalah hal yang aku sukai. Memang aku sangat menyukai pekerjaanku. Tetapi momen bersama keluarga ini adalah momen yang sangat aku hargai. Momen makan sore bersama dengan mereka. Momen melihat anak kecil yang sedang tertawa itu membuatku sangat senang.
Hanya saja, tidak ada kebahagiaan yang aku rasakan ini membuatku ingin berkeluarga. Tidak sama sekali.
***
Malam harinya meskipun adalah malam minggu aku mendapatkan pekerjaan yang harus kuselesaikan. Memang tidak ideal mengingat saat ini kakak dan adikku sedang keluar dari rumah untuk menikmati pemandangan kota Bandung. Sehingga, yang ada adalah diriku yang sedang diam menatap layar laptop di ruang tamu rumah kedua orangtuaku ini.
Beruntung aku tahu kalau bulan ini adalah bulan yang sibuk karena awal dari periode bisnis baru. Jadinya aku membawa laptop yang biasanya aku tinggalkan di apartemenku di Jakarta sana.
Data demi data kusortir agar nantinya aku bisa memberikan analisis mengenai strategi pemasaran yang harus kusiapkan. Semuanya kukerjakan ditemani oleh sebuah kopi agar emosiku tidak menguasaiku dan malah membuatku merasa frustasi.
Aku tahu kalau aku frustasi aku tidak akan mengerjakan pekerjaanku. Jadinya, aku terus menahan diri, berusaha menjernihkan pemikiran sampai akhirnya dua jam kemudian selesai.
Sehabis mematikan komputer aku menatap jam. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Namun dua pasangan itu sama sekali belum kembali. Sesuatu yang aku rasa aneh karena jam tidur Moses sudah tiba.
“Hah,” hela nafasku kelelahan.
“Masih kerja?” tanya Mama tiba-tiba turun dari tangga. “Ini udah malem lho.”
“Baru selesai.”
“Begitu ya. Kamu mau kopi?”
Aku melihat gelas kopiku yang sudah kosong. “Ya, ya boleh.”
“Oke. Tunggu sebentar.”
Mama dahulu adalah seorang barista terkenal. Aku sering mendengar kisah romantis dimana Papa selalu menjadi langganan Mama karena dia jatuh cinta. Pembicaraan mereka tidak pernah serius, sampai akhirnya dari pembicaraan mereka yang receh itu terbangun hubungan yang serius.
Dan mereka sudah empat puluh tahun bersama. Papa jelas masih mencintai Mama, terlihat jelas dari pandangannya. Meskipun Mama sudah penuh dengan kerutan, dan rambut hitam indahnya sudah memutih, dia tetap mencintai Mama apa adanya.
Perasaan itu tidak aku pahami. Mungkin karena aku belum pernah mengalami perasaan cinta yang sedemikian dalam.
Aku bukanlah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tentu aku tahu rasanya cinta. Kehidupanku jauh dari kata polos, dan akupun jauh dari kata polos tidak ternoda. Namun, belum pernah aku merasakan cinta murni seperti yang Papa dan Mama tunjukan.
“Mungkin rasa cinta itu sudah menghilang karena perubahan zaman.”
“Ini dia,” senyum Mama. “Kerjaan apa yang bikin kamu sampai harus membuka laptop di malam minggu ini?”
“Cuma... seperti biasa,” senyumku. “Pekerjaan sebagai wakil kepala divisi pemasaran. Makin tinggi jabatan, makin tinggi kerjaannya.”
“Uangnya makin tinggi gak?”
“Aku gak mungkin mau naik jabatan kalau uangnya sama aja,” candaku. “Yah... lumayan lah. Aku nggak perlu khawatis sama kondisi finansial aku sekarang.”
“Itu kabar bagus. Tapi apa pacar kamu mau kamu kerja mulu?”
“Pacar?” aku kebingungan. “Kapan aku bilang aku punya pacar?”
“Dulu kamu pernah bilang kalau kamu punya pacar bukan?”
Aku mengingat-ingat kemudian tertawa. “Itu udah hampir dua tahun yang lalu, Ma. Sekarnag udah nggak ada hubungan lagi. Saat ini aku bener-bener jomblo, mungkin kalau ada pacar... ya laptop ini.”
Mama tersenyum ke arahku. “Eva... Mama mau minta maaf soal tadi sore. Udah ngedesak kamu. Cuma... keinginan Mama buat lihat ketiga anak Mama punya anak. Sedih tahu ngelihat kamu sendirian bekerja begitu. Soalnya dulu waktu Mama berhenti kerja, Mama ngebayangin kalau punya anak, Mama mau keluarga besar kumpul bareng.”
Dengan hati-hati aku menjawab, “mungkin belum ketemu sama orang yang tepat aja kali, Ma. Nanti mungkin kalau aku udah naik jabatan.”
“Begitu ya.”
Mama berjalan naik tangga setelah menepuk bahuku dua kali. Aku kemudian melihat wanita itu. Wanita yang sudah renta itu melangkah dengan perlahan. Padahal, aku ingat dahulu Mama bisa melangkah dengan cepat ke lantai dua saat Mary menangis.
“Ma,” panggilku. “Mama pengen aku menikah?”
“Ya,” jawab Mama mengentikan langkahnya di tengah tangga.
“Papa gimana? Dia pengen banget aku menikah?”
“Ya.”
“Begitu ya,” anggukku.
“Ada apa?” tanya Mama penasaran.
Sambil menyembunyikan emosiku aku menjawab, “nggak ada apa-apa kok, Ma. Selamat malam, Ma.”
“Selamat malam.”