Light of The Devil

Light of The Devil

Eenroos

4.8

Seorang lelaki mengangkat sabuk kulit di tangannya tinggi-tinggi, kemudian melecutkannya ke tubuh wanita yang tersungkur di hadapannya.


"Sudah berapa kali kubilang? Jangan ikut campur urusanku! Tugasmu hanyalah melayaniku di rumah!"


Jerit kesakitan wanita tersebut terdengar berulang kali, mengoyak kesunyian malam di rumah besar itu. Tanpa ampun, Kim Hyun Jae, si lelaki paruh baya yang bertubuh tambun, mendaratkan ikat pinggangnya ke tubuh si wanita.


"Dasar jalang! Wanita sialan! Rasakan ini!"


Tidak ada yang menyadari, bahwa selain tatap mata para pelayan yang hanya bisa menyaksikan tindakan tuan mereka tanpa daya, ada sosok lain yang ikut mengawasi kejadian tersebut dari lantai atas. Ia adalah Han Ji Seok. Dengan pakaian serba hitamnya, lelaki itu berdiri diam di puncak tangga bagai malaikat kegelapan. Mata kelamnya menyorot dingin pada adegan yang terjadi di lantai bawah.


"Jangan berani-berani mengaturku lagi!"


Satu sabetan terakhir mendarat pada tubuh si wanita. Saat Hyun Jae menjatuhkan sabuknya ke lantai, Ji Seok mulai bergerak tanpa suara meninggalkan posisinya.


"Obati dia dan kurung dia di kamarnya sendiri!" perintah Hyun Jae pada para pelayan. Ia kemudian melangkah menaiki tangga dengan napas tak beraturan.


Pikiran Hyun Jae hanya terfokus pada kekacauan yang ditimbulkan sang istri malam ini. Ia bahkan merasa belum cukup menghukum wanita itu. Mulutnya memuntahkan berbagai umpatan seiring langkahnya yang tertuju ke kamar.


Kalau Hyun Jae awas sedikit saja, ia pasti bisa merasakan kehadiran orang lain di dalam kamarnya. Sayangnya, lelaki itu masih dibutakan oleh emosi. Hyun Jae melepas kemejanya yang basah oleh keringat tanpa rasa curiga sedikit pun. Ketika hendak berjalan ke kamar mandi, barulah ia menyadari bahwa ia tidak sendiri.


"Si-siapa kau?" desis Hyun Jae kaget pada sosok lelaki yang berdiri menyandarkan punggung di dinding, tidak jauh dari pintu kamar mandi.


Ji Seok memainkan sebilah rapier di tangannya. Kepalanya tertunduk. Tidak ada yang tahu seperti apa ekspresi lelaki itu karena leher sampai hidungnya tertutup masker hitam.


Melihat pedang sepanjang dua puluh inci di tangan si penyusup membuat Hyun Jae tersadar. Satu nama langsung terlintas di benaknya.


"K-kau … si 'Serigala' yang diceritakan orang-orang itu?" Suara Hyun Jae nyaris tak terdengar. Satu keyakinan mendadak tertanam kuat dalam pikirannya. Keyakinan bahwa ia akan mati malam ini.


Sejak beberapa waktu lalu, ada berita soal pembunuh berbahaya yang ramai dibicarakan warga. Orang-orang menyebutnya "Serigala" karena mereka yakin pembunuh tersebut merupakan anggota organisasi gelap The Black Wolf. Seorang saksi hidup mengatakan bahwa si Serigala beraksi menggunakan sebilah pedang pendek dan tipis yang akan menembus jantung korbannya dalam hitungan detik.


'Aku akan mati malam ini! Aku akan celaka! Aku tidak akan baik-baik saja!'


Seruan-seruan itu menggema di kepala Hyun Jae berkali-kali. Entah siapa yang mengutus si Serigala datang kemari, yang jelas, Hyun Jae merasa maut telah berdiri menunggunya di depan pintu.


Hyun Jae membalikkan badan, mencoba mengambil pistol yang tersimpan di dalam lemari. Hanya itu satu-satunya pertahanan diri yang ia punya. Namun, belum sempat tangannya mencapai pintu lemari, ia merasakan satu tusukan tajam merobek kulit punggungnya.


"Akkhh!" Lelaki itu memekik kesakitan. Tubuhnya ambruk ke lantai. Satu pisau kecil menancap di bahu belakangnya. Darah segar mengalir keluar membasahi punggungnya yang telanjang. Susah payah, ia mencoba mengangkat badan. "To-tolong …." ucapnya gemetaran.


Hyun Jae tahu ia harus berteriak kencang agar para pelayan atau pengawalnya bisa mendengar. Namun, tenggorokannya tercekat. Rasa sakit, panik, dan takut mencegah suaranya keluar. Terlebih saat si Serigala berjalan mendekat.


"A-ampuni aku … aku akan memberimu uang, berapa pun yang kau mau. Tolong, lepaskan aku," pintanya sambil bersujud di lantai.


Ji Seok mencabut pisau di punggung Hyun Jae dalam satu gerakan cepat. Darah terciprat ke mana-mana, diiringi dengan teriakan pilu dari si korban. Ji Seok tidak khawatir akan kehadiran seseorang. Ia sudah mengunci pintu kamar ini. Kalaupun ada pengawal yang akan datang dan mendobrak masuk, ia masih punya cukup waktu untuk menyelesaikan tugasnya.


"Direktur Kim Hyun Jae," panggil Ji Seok dingin. "Kau tahu siapa orang yang paling kubenci di dunia ini?"


Ji Seok berlutut dengan satu kaki. Ia dekatkan bibirnya ke samping telinga Hyun Jae saat lelaki itu terus merintih. "Aku paling benci pada lelaki yang menyiksa keluarganya sendiri," bisik Ji Seok, menjawab pertanyaannya tadi.


Hyun Jae mendongak. Di sela pandangannya yang kabur, ia melihat kedua mata sang Serigala menyorot sedingin es. Sekujur tubuh Hyun Jae menggigil tak terkendali.


"Kau adalah manusia paling menjijikkan. Melihatmu menyiksa istrimu sendiri membuatku ingin muntah." Ji Seok mengusap rapier di tangannya dengan jemari yang tertutup sarung tangan. "Aku bahkan tidak ingin senjataku yang berharga menyentuh makhluk menjijikkan sepertimu."


Ji Seok menggenggam rapier-nya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya merogoh belakang celana. Sebuah revolver muncul dari sana. "Kau tadi ingin mengambil ini, kan?"


Hyun Jae membelalak. Ia mengenali revolver miliknya, yang sekarang telah berada di tangan si Serigala. Tubuhnya makin bergetar hebat.


"Kau memberiku senjata lain yang bisa kugunakan untuk menghabisimu. Terima kasih." Ji Seok bangkit berdiri. Ia mengokang revolver di tangannya, kemudian mengarahkan ujungnya ke kepala Hyun Jae.


"Tuan S-serigala, ampuni aku!" ratap Hyun Jae putus asa. Ia memeluk satu kaki Ji Seok walaupun seluruh tubuhnya terasa sakit oleh luka dari pisau tadi. Berhadapan langsung dengan malaikat kematian membuat Hyun Jae secara naluriah menanggalkan sifat arogannya. Lelaki itu tanpa malu meratap dan menangis kencang.


Ji Seok menendang tubuh Hyun Jae hingga lelaki itu terkapar di lantai. Ia tidak berniat menunjukkan rasa belas kasih sedikit pun. "Merataplah di neraka," desisnya.


Suara ledakan membelah atmosfer kamar saat Ji Seok menarik pelatuk revolver. Peluru mendarat tepat di kepala lelaki yang baru saja memohon ampun padanya.


Tubuh itu terkulai. Suaranya hilang bersamaan dengan satu-satunya nyawa yang melayang. Darah mengucur dari lubang di kepala, mengalir dan menggenang di lantai marmer yang dingin. Misi dari sang atasan untuk Ji Seok selesai sampai di sana.


Akan tetapi, Ji Seok merasa belum cukup. Siksaan Hyun Jae pada sang istri memicu suatu emosi yang membuat Ji Seok ingin mencabik-cabik lelaki itu. Ia kembali menarik pelatuk revolver. Kali ini, sasarannya adalah jantung si korban, yang sudah tidak berdetak.


Masih ada tiga peluru. Ji Seok menghabiskannya satu per satu, tidak peduli pada gedoran dan teriakan yang mulai terdengar di balik pintu.


"Direktur! Direktur Kim!"


"Buka pintunya!"


"Sudah, kita dobrak saja!"


Ji Seok membuang revolver yang telah kosong di tangannya. Setelah memberi satu tatapan dingin pada mayat bersimbah darah di hadapannya, ia pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali.


***


Di waktu yang bersamaan, di sebuah rooftop gedung apartemen, seorang perempuan melangkah mendekati lelaki yang tengah berdiri di tepi atap. Dengan santai, ia bertanya, "Kau serius ingin meloncat dari sana?"


Si lelaki tersentak dan menoleh. "Siapa kau?"


Perempuan tadi melipat tangan di dada. "Aku? Bukan siapa-siapa." Senyum misterius bermain di bibirnya yang merah merona.


"Kalau begitu, pergilah! Jangan ganggu aku!" usir si lelaki marah.


"Aku tidak berniat mengganggu. Aku justru ingin memberi penawaran untukmu."


"Aku tidak tertarik."


Perempuan tadi mengangkat kedua alis. "Kau yakin? Kau tidak akan tertarik meski aku menawarkan untuk menyelamatkan bisnismu yang nyaris bangkrut itu?"


Umpannya termakan dengan baik. Si lelaki langsung membelalak. "K-kau … bisa melakukannya?"


"Hanya dengan jentikan jari seperti ini–" Perempuan tadi mengacungkan tangan kanannya dan menjentikkan jari-jarinya yang lentik, "–semua yang kau harapkan akan terwujud. Bagaimana?"


Si lelaki terpaku di tempat. Niatnya untuk mengakhiri hidup seketika terlupakan.


"Aku tahu kau tertarik. Turunlah dari sana. Aku tidak bisa membuat kesepakatan dengan mayat, kau tahu?" Perempuan itu kembali melipat kedua tangannya.


Si lelaki buru-buru menjauhkan diri dari tepi atap. Ia melangkah mendekati perempuan misterius itu dengan tatapan penuh harap. Mungkin, ini adalah jawaban atas doa-doanya yang nyaris mustahil sejak beberapa bulan terakhir. "Kau sungguh bisa membantuku?" tanyanya antusias.


"Tentu." Perempuan itu tersenyum mendapati nafsu duniawi yang begitu menggebu dari lelaki di depannya. "Aku bisa memberimu segalanya. Kekayaan, kekuasaan, kesuksesan … hanya dengan satu syarat."


"Apa syaratnya?"


"Kau harus menyerahkan jiwamu padaku."


Tidak butuh waktu lama, perempuan itu berhasil menggenggam satu kontrak yang telah ditandatangani. Ia tertawa puas. Ini adalah kontrak kedua yang didapatnya hari ini. Manusia memang mudah sekali termakan godaan iblis.


-bersambung-