Light and Shadow

Light and Shadow

Ernanda Simamora

0

Senyum secerah matahari itu harus redup kala dia menginjakkan kaki di dapur. Tujuannya adalah menemukan kedua orang tua yang sama sekali tidak menyambut kepulangannya. Hal yang tidak biasa terjadi.

“Ale pulang,” gumamnya.

Tubuhnya membeku, spontan tangannya menutup mulut, menatap tubuh kedua orang tuanya yang sudah tidak berdaya, terkapar di lantai.

“Ma, Pa,” lirihnya.

Pikiran gadis itu mulai kacau. Dia melangkah mendekati tubuh orang tuanya yang sudah mulai dingin. Gadis itu berusaha mengucek matanya, berharap akan segera bangun dari mimpi buruknya.

“Tadi pagi semua masih baik-baik saja, apa yang terjadi Ma, Pa?” lirihnya mulai terisak.

Ale menutup mulutnya saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Dia mengangkat wajahnya, dan menemukan wajah dingin yang menatapnya tajam. Pria itu melangkah mendekat, menatap Ale dan kedua orang yang tergeletak di lantai secara bergantian.

“Kamu pelakunya!” teriak Ale tanpa sadar sudah membangkitkan kemarahan sosok mengerikan di depannya.

Ale mundur kala sosok itu berjongkok di hadapannya, tersenyum miring pada Ale yang gemetar ketakutan. Napas Ale memburu, saat tangan yang terasa dingin itu menyentuh wajahnya.

“Kamu terlalu cantik untuk menerima akibat dari perbuatan kedua orang tuamu,” ungkap pria itu. Ale mengerutkan keningnya. Perbuatan apa yang membuat pria di hadapannya begitu membenci keluarganya?

“Bagaimana dengan sedikit tanda pengenal?” tanyanya.

Brush.

Sedetik kemudian Ale menjerit kala benda tajam yang entah sejak kapan ada di tangan monster itu, menyentuh pipinya. Cairan kental yang menetes di lantai, memperjelas bahwa luka yang Ale terima tidak kecil.

Ale menangis, membuat luka di pipinya semakin terasa pedih.

“Manis sekali,” gumam monster itu lagi. Ah, Ale yang menganggapnya demikian. Mana ada manusia yang begitu tega menyakiti sesamanya, kecuali sudah tidak memiliki kewarasan sih.

Monster itu berdiri, seolah memberi ruang untuk Ale menjauhinya. Saat itu juga, Ale sigap mengambil langkah untuk mencari pertolongan. Namun, dia lupa bahwa ada tangga yang harus dia lalui sebelum keluar dari dapur. Alhasil, kaki gadis itu tersandung, membuatnya terjatuh dan meringis.

Dia bisa mendengar dengan jelas langkah kaki yang mulai mendekat. Ale berusaha untuk bangkit, meski tertatih, dia memaksa kakinya untuk berlari.

“Jadi kamu ingin bermain denganku, gadis manis,” ucap pria itu menyeringai, terdengar mengerikan di telinga Ale.

“Aku mohon, biarkan aku hidup,” Ale menyatukan tangannya, meminta pengampunan.

“Coba lihat lukanya,” pinta pria itu menangkup pipi Ale, tersenyum miring melihat hasil karyanya di pipi mulus gadis incarannya.

“Seandainya kamu tidak nakal, pasti tidak perlu ada tanda pengenal di wajah indahmu. Bagaimana dengan pertemuan kembali?” tanya pria itu lagi mengelus pipi Ale yang semakin tidak terkendali.

Apakah hidupnya harus berakhir saat itu juga?

“Aku berjanji akan melupakan kejadian malam ini. Aku janji tidak akan memberitahu siapa pun tentang semua yang aku lihat, tetapi aku mohon, biarkan aku tetap hidup,” pinta Ale menyatukan tangannya, berharap monster itu akan membebaskannya.

“Kamu tidak akan mengenaliku kalau begitu. Sayang sekali, padahal aku ingin terus singgah di dalam memorimu,” lontar pria itu tertawa puas. Wajah gadis di hadapannya semakin pucat, membuatnya merasa menang.

“Manis sekali,” gumamnya.

“Aku mohon. Aku masih ingin hidup. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menyembuhkan orang lain. Aku..aku akan menebus kesalahan orang tuaku, meski aku tidak mengetahui apa kesalahan mereka,” tutur gadis itu terbata-bata, napasnya memburu bersama dengan jantungnya yang berpacu hebat.

“Sayangnya kamu sudah membangunkan hasratku lebih dulu,” lontar pria itu, membuat Ale kehilangan harapan.

Dia menyerah, menutup matanya kuat kala melihat benda tajam yang diacungkan oleh si monster ke hadapannya. Dia bersiap menerima rasa sakit atau bahkan menjadi hari terakhir dia bisa merasakan sakit.

Beberapa waktu berlalu, tidak ada rasa sakit seperti yang dia pikir akan dia rasakan. Hanya suaara kaki yang semakin menjah, terdengar semakin samar di telinganya. Gadis itu membuka mata, dan menemukan kekosongan di hadapannya.

“Dia membiarkan aku hidup,” lirihnya dengan air mata yang lolos begitu saja.

Dadanya terasa sesak, membuatnya terbatuk bahkan sampai rasanya ingin mati saja.

“Sakit,” ringisnya memukuli dadanya, berharap bisa mengurangi rasa sakit.

Dia memang dibiarkan hidup, tetapi dia tidak benar-benar hidup. Dia sudah kehilangan dunianya sejak hari itu. Kehidupan menjadi tidak berarti untuknya. Malam menjadi terasa mencekam dan menakutkan.

Bertahun-tahun berlalu, dan memori akan malam mengerikan itu masih tersimpan rapi di dalam pikirannya.

“Dokter baik-baik saja?” tanya seseorang menarik wanita itu kembali dari alam bawah sadarnya.

Dia sudah berusaha, tetapi tidak sedikit pun bisa mengingat wajah si monster yang sudah menghancurkan hidupnya.

Alesya menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sendiri.

“Ada pasien yang ingin bertemu dokter,” ucap Aquila memberitahu.

“Tidak sekarang, La. Saya tidak bisa menemui pasien dalam keadaan seperti ini. Beri saya waktu untuk istirahat sejenak,” pinta Alesya beruusaha tetap tenang, meski napasnya masih belum beraturan.

Bagaimana dia bisa menenangkan pasien saat dia sendiri belum tenang. Bagaimana dia bisa menyembuhkan orang dan meyakinkan mereka, saat dia sendiri masih berada di bawah pengaruh trauma masa lalunya?

Alesya berjalan keluar dari ruangan pribadinya. Akan lebih baik jika dia menenangkan diri di tempat yang lebih sepi.

Pilihannya jatuh pada rooftop, tempat paling menenangkan untuknya. Rooftop itu juga jadi saksi perjuangannya untuk tetap hidup meski rasanya dia begitu ingin mati.

“Aku menyesal pernah memohon untuk tetap hidup pada seorang monster,” gumam Alesya menatap langit yang begitu cerah, tidak ada awan yang menutupinya.

“Ma, Pa, Ale masih hidup,” lirih wanita itu lagi.

Tangannya bergerak mengeluarkan cermin dan kapas pembersih wajah. Kini, dia bisa melihat dengan jelas bekas luka memanjang di pipinya. Luka yang menjadi saksi juga awal dari penderitaannya selama ini.

“Karya monster itu bahkan terus mengikutiku ke mana pun aku pergi,” Alesya kembali bermonolog, memperhatikan luka memanjang yang biasa dia tutupi dengan make up. Sudah bertahun-tahun dan luka itu masih membekas, sama seperti kenangan yang masih menghantuinya.

Saat bayangan itu kembali, Alesya akan merasa sesak dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia mulai naik ke atas pembatas rooftop. Dia bahkan sama sekali tidak takut, melihat ke bawah.

“Seharusnya tidak ada lagi yang jadi korban,” lirih Alesya menyadari betapa tindakannya itu salah.

Dia selalu meyakinkan pasiennya agar tetap hidup. Satu hari menjadi berarti bagi mereka yang sudah tidak memiliki harapan untuk hidup. Rasanya melewati satu hari itu sangat sulit. Itu yang sedang Alesya alami.

“Ehem,” dehem seseorang, namun dihiraukan oleh Alesya.

“Katanya psikolog tapi kok berniat melompat?” pancing suara itu lagi.

“Menjauhlah, ini bukan urusan kamu,” cetus Alesya dingin. Benar-benar berbeda dari wanita ramah yang selalu mendapat pujian, karena kemampuannya menyembuhkan orang-orang, menyelamatkan hidup mereka.

“Memang harusnya bukan urusan aku sih, tapi aku berniat menghabiskan hari ini di rooftop, tetapi kamu malah mengganggu,” lontar orang itu lagi, Alesya menoleh, menatap tajam pria yang dengan santai malah duduk di kursi kebesarannya.

“Apa kata orang kalau seorang psikolog yang biasa menyembuhkan, malah kehilangan harapan dan mengakhiri hidupnya sendiri?” cibir pria itu lagi. Alesya berdecak, benar-benar pengganggu.

“Siapa juga yang mau mengakhiri hidup? Aku biasa menghabiskan waktu di sini,” lontar Alesya malah duduk di tepi rooftop.

Pria tadi terkekeh, merasa geli dengan tingkah wanita yang baru dia temui tersebut.