Dalam keadaan setengah sadar, Meisie mengerjapkan matanya beberapa kali. Menelisik sekitar. Wah, kenapa kamarnya yang super berantakan itu berubah jadi rapi dan serba abu-abu seperti ini? Wangi pula. Apakah ia sudah mendekorasi ulang kamarnya kemarin? Ia bertanya-tanya dalam hati. Meisie cukup yakin ia berada di kamarnya, tapi mengapa rasanya sangat asing?
Saat hendak bergeser, Meisie merasakan sebuah tangan memeluk tubuhnya dari belakang. Alarm di tubuhnya seketika menyala. Kesadaran nya perlahan memulih. Lagi, ia melihat ke sekitar nya. Kemudian ia menyadari satu hal. Tempat ini terasa asing bukan karena ia telah mendekorasi ulang, tapi karena memang ini bukan kamarnya!
Lalu siapa yang meringkus tubuhnya dari belakang? Rais kah? Meisie harap begitu. Meskipun kemungkinan nya kecil sebab mereka berdua sedang bertengkar. Semalam ia mabuk berat, dan entah bagaimana ia sampai ke tempat ini dan berakhir dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya.
Dirasakannya tubuh di belakang nya bergerak. Deru nafasnya terasa di punggung telanjang Meisie. Panik. Ia ingin tahu dan memastikan siapa pria ini?
“Hmm. Kamu udah bangun?” sebuah suara sengau khas bangun tidur terdengar di telinganya. Meisie tambah panik.
Kemudian tubuhnya dibalikkan oleh si pemilik tangan yang meringkusnya. Ia memejamkan mata, tak berani melihat siapa orang ini.
“Kok merem? Sini liat aku.” pinta si pemilik suara. Perlahan Meisie membuka matanya demi melihat pria asing ini.
Bukan main. Meisie harus dikejutkan dengan fakta bahwa pria ini bukan orang asing. Melainkan.. ya ampun. Meisie sangat mengenalnya! Ia langsung bangun dengan tergesa, menarik selimut hingga sebatas dada nya. Menggeser tubuh nya, menjauh dari pria itu.
Melihat tingkah Meisie yang begitu aneh, si pria ikut bangun meski matanya masih menyipit. Ia mengusap-usap wajahnya dengan tangan. Berusaha menghilangkan kantuk.
“Gimana.. kenapa..” Meisie kehilangan kata-kata. Berusaha meningat apa yang terjadi tadi malam. “Kenapa aku ada disini?” gumamnya.
Tangan pria itu hendak menarik tubuh Meisie namun ia buru-buru menghindari nya. Ia menepis tangan itu.
“Tolong keluar dulu dari sini.” pintanya. Ia enggan bertukar pandang dengan pria di sebelahnya.
Terdengan suara kekehan geli. “Ngapain malu, sih? Semalem aku udah liat setiap inci tubuh kamu.” godanya masih dengan kekehan.
Meisie menutup telinganya. Ia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Kenapa ia bisa berakhir dengannya? Kenapa harus dia? Bukankah akan lebih mudah jika dengan orang asing? Ia tak perlu lagi bertemu dan urusan selesai. Anggap saja kecelakaan.
“Tolong keluar,” pintanya lagi. Ia sangat tidak tahan dengan keadaan ini.
Kali ini perkataannya diindahkan. Permintaan nya dikabulkan. Setelah ia benar-benar sendiri di ruangan tersebut, Meisie menangis sejadi-jadinya.
Seharusnya ia menolak saat seseorang menawarinya pulang. Ia ingat ada yang membawanya dari bar. Tapi ia tak tahu jika orang itu adalah Arghani.
Muridnya yang baru saja lulus beberapa bulan lalu di sekolah tempat ia mengajar.
Lalu sekarang, ia harus terjebak dengan fakta bahwa semalam mereka memadu kasih bersama di bawah selimut yang sama. Berbagi kecup dan peluk.
Gila! Gila!
Kenapa harus Arghani, sih?
*****
Ponsel Meisie terus berdering. Bukan, bukan Rais yang menghubungi nya segencar itu. Melainkan Ghani. Bocah tengil yang selalu menggodanya saat ia masih menjadi murid di sekolah ini. Dulu mereka sering bercanda, akrab seperti adik-kakak. Bahkan saat hari kelulusan, Meisie memberikan hadiah sepatu untuk Ghani.
Tapi Meisie rasa ia takkan bisa berlaku demikian lagi dengan Ghani. Keadaan berubah total. Jungkir balik. Baik Meisie maupun Ghani, mereka takkan bisa membalikkan keadaan seperti semula.
Seperti semua sudah terlanjur terjadi.
Sial! Kenapa harus seceroboh ini, sih?
“Bu Meisie, hp nya dari tadi bunyi terus. Kok ngga diangkat? Mas Rais, ya? Lagi marahan, ya?” tanya Bu Fitri sok tahu. Meisie hanya tersenyum sebagai jawaban. Membiarkan Bu Fitri berpikir sesukanya.
Lagi, ponselnya kembali berdering. Masih dengan manusia yang sama. Tanpa sadar, Meisie menghelas nafas kesal.
“Diangkat aja dulu, Bu. Kasian Mas Rais udah berusaha keras, tuh,” ujar Bu Fitri lagi. Dan Meisie hanya tersenyum kaku. Ia mengambil ponsel nya, keluar dari ruangan guru.
“Dih, baru nyaut. Sibuk amat, ya?” tanpa basa-basi, Ghani bertanya saat telepon nya diterima.
“Ada apa?” tanya Meisie dingin.
“Mau aku jemput ke sekolah nanti sore? Aku free lho hari ini.” tawar Ghani.
Meisie terbelalak. “Kamu gila!” desisnya tertahan. Khawatir akan ada yang mendengar. “Oke, kita ketemu. Tapi ngga usah ke sekolah. Aku kirim alamat nya aja.” putusnya.
“Berangkat bareng aja. Kan lebih enak. Hemat waktu juga. Lagian aku jemput kamu pake mobil, kok. Ngga pake motor ninja-ku. Kamu ngga akan kepanasan atau kehujanan.” pria itu masih berusaha menawarkan.
Meisie mendengus pelan. “Tolong bersikap sopan.” katanya kesal.
Ghani tertawa di seberang. “Kamu lupa ya, semalem kamu sendiri yang minta aku buat ngga bersikap sopan lagi. Kenapa sekarang tiba-tiba berubah pikiran?” tanyanya menggoda. “Bu Meisie jangan galak-galak dong, Bu.”
Sungguh, Meisie kesal karena Ghani terus membahas kejadian semalam. Padahal ia ingin lupa. Kenapa anak ini malah membicarakan hal itu terus, sih?
Meisie masih mendengar dengan jelas bocah itu masih berbicara saat ia menutup telepon nya. Masa bodoh! Lalu ia mematikan ponselnya. Agar bocah menyebalkan itu tak mengganggunya lagi.
******
Jika boleh meminta, Meisie ingin berubah jadi debu dan menghilang saat ini juga. Oh ayolah! Dia itu murid kamu, anak ingusan yang baru lulus kemarin. Kenapa kamu harus malu saat berhadapan dengannya sekarang? Teriak Meisie dalam hati. Oke, mungkin memang ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi bahkan. Tapi apa mau dikata? Semua sudah terlanjur dan.. ya sudah. Terima saja.
“Sebaiknya kita ngga usah ketemu lagi dan lupain kejadian malam itu.” Meisie membuka suara.
Di depan nya, Ghani mengernyitkan dahi. “Kenapa kamu minta sesuatu yang ngga mungkin aku kabulkan?” tanya Ghani. “Aku ngga bisa lupain begitu aja. Permainan kamu.. ah aku ngga bisa lupain.”
Meisie mendengus. “Bisa ngga kalo kita ngga usah bahas-bahas hal itu lagi?” Meisie dongkol.
“Tentu saja ngga bisa,” jawab Ghani tengil. “Lagian kenapa sih? Kamu juga menikmati permainan kita malam itu. Kenapa harus ribut masalah ini coba.”
“Malam itu aku lagi mabuk dan ngga inget apapun. Oke lah terserah kamu mau lupain kejadian itu atau ngga. Tapi pastikan kamu tutup mulut dan ngga boleh ada yang tahu hal itu selain kita berdua.”
Ghani memajukan tubuhnya ke depan. “Kamu ngga berpikir ini awal buat kita? Maksud aku.. ya kita udah terlanjur. Kenapa kita ngga mencoba buat memulai aja?” ia membuat penawaran. “Dan sorry, you lost your virginity because of me.”
Oh Dewa Neptunus Yang Mulia! Aku ingin melenyapkan manusia menyebalkan ini sekarang juga.
“Terimakasih atas tawaran nya. Tapi aku nggak mau ketemu kamu lagi mulai detik ini.”
Meisie beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Ghani yang masih terpaku di tempatnya.
*****