Kamila kembali tersentak saat kepalanya menunduk hingga hampir terhuyung. Matanya terjaga sempurna, menatap seorang laki-laki yang terbujur lemah di bed rumah sakit dengan alat bantu menempel di tubuhnya. Kepala laki-laki itu terlilit perban, di sekitar wajahnya juga terdapat memar yang telah dibersihkan, dan salah satu tangannya diberi penyangga. Sekitar dua belas jam yang lalu, laki-laki bernama Hasan ini mengalami kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu juga, Kamila menunggu suaminya siuman tanpa istirahat. Kamila ingin dirinya menjadi orang yang pertama kali ditemui Hasan.
Padahal sebelum tragedi kecelakaan itu terjadi, Kamila dan suaminya bertengkar di telepon. Masalahnya sepele, Hasan tidak terima Kamila lebih mementingkan pekerjaan alih-alih ikut datang ke acara pertunangan mantan pacar pria itu. Memang sudah lama Hasan meminta Kamila berhenti dari pekerjaannya sebagai model. Namun, Kamila jelas menolak permintaan itu. Bagaimana bisa Hasan menyuruhnya berhenti di saat kariernya sedang naik? Bertahun-tahun Kamila berusaha membangun namanya, lalu ketika berada di atas, Hasan dengan mudahnya mengatakan harus berhenti. Tidak mungkin!
Hasan merupakan seorang pengusaha furniture. Soal harta memang sudah tidak diragukan lagi. Kamila tidak perlu khawatir hidupnya susah, bahkan tidak perlu susah payah bekerja. Namun, bukan uang yang Kamila cari. Sejak remaja, ia bermimpi dirinya berjalan di atas runway hingga fotonya tersebar di mana-mana. Kamila sampai tidak kuliah demi mewujudkan impian itu.
Semuanya berawal dari kedatangan Kamila sebagai brand ambasador kosmetik milik Arumi, yang tidak lain adalah ibunya Hasan. Nama Kamila mulai dikenal berkat membintangi iklan kosmetik tersebut. Tawaran demi tawaran mulai mengalir deras. Kamila menghadiri show dari berbagai brand. Sampai akhirnya, tawaran menikah dengan Hasan datang.
Entah kenapa delapan tahun silam Kamila menerima perjodohan ini, padahal selama menjadi brand ambassador, dia jarang berinteraksi dengan Hasan. Ia dan Hasan bagai langit dan bumi, bagaimana bisa akan bersatu? Bagaimana pernikahan ini akan berjalan mulus jika dua orang di dalamnya tidak saling mencintai? Kenyataannya, mereka hidup seperti pasangan suami istri pada umumnya. Kamila menjalani perannya sebagai istri di sela-sela kesibukan. Hasan pun memperlakukannya dengan baik. Makin sempurna lagi keluarga kecil itu ketika dianugerahi anak perempuan pada tahun kedua.
Sampailah di tahun kedelapan. Kamila yang selalu sibuk menguji kesabaran Hasan. Kamila kerap pergi ke luar kota, melupakan perannya sebagai istri dan ibu di rumah. Zira, anak mereka selalu bersama susternya. Hasan yang ingin Kamila di rumah selalu menyuruh istrinya berhenti bekerja saja, tetapi karena Kamila selalu menolak, terjadilah pertengkaran. Puncaknya, dua belas jam yang lalu, Kamila lagi-lagi marah lantaran Hasan kembali mengungkit keinginan itu.
"Gara-gara aku nggak ikut datang ke acara tunangan mantan kamu itu, kamu jadi semarah ini sama aku?"
"Ini bukan masalah Anjani, tapi kita! Kamu yang bilang bakal datang setengah jam sebelum acara, tapi kenyataannya? Kamu masih sibuk sama acara show itu sampai sekarang!"
"Kamu ngerti, dong, Mas, dari bulan lalu aku pengin datang ke acara ini. Emangnya kenapa, sih, kamu datang sendirian? Takut kalah saing sama mantan?"
"Kamila!"
"Aku tetep nggak mau pulang. Datang aja sendiri!"
Tiga puluh menit setelah telepon ditutup, Kamila justru mendapatkan kabar yang menggemparkan. Hasan mengalami kecelakaan hingga mobilnya ringsek. Kamila rela meninggalkan acara itu demi bisa melihat suaminya dan sekarang menunggu siuman.
Kamila melebarkan mata saat jemari Hasan bergerak. Ketika mata Hasan terbuka sempurna, Kamila menekan bel di samping ranjang.
"Akhirnya, kamu siuman juga, Mas!" seru Kamila dan hendak meraih telapak tangan Hasan, tetapi anehnya, Hasan menolak disentuh.
"Kamu ngapain di sini?" Suara berat laki-laki itu terdengar.
"A-aku? Ya, nungguin kamu, Mas."
"Untuk apa? Harusnya Anjani yang ada di sini."
Kamila memicing. Tunggu. Kenapa Anjani? Kenapa harus Anjani yang ada di sini?
"Mas, aku Kamila." Tenggorokan Kamila tercekat saat menyebut namanya sendiri. Kepalanya mulai membayangkan sesuatu yang bukan-bukan.
"Iya, aku tahu. Kamu itu brand ambassador mama, kan?"
"Itu dulu, Mas. Sekarang kita suami istri. Kita menikah delapan tahun yang lalu, Mas."
Kamila mendengar Hasan tertawa meskipun lirih. Satu reaksi yang menurut Kamila tidak wajar. Apa Hasan menganggap perkataannya barusan sebuah lelucon?
"Kamu kalau bercanda, yang lucu dikit, dong! Gimana bisa kita ini suami istri, aku itu pacarnya Anjani. Kamu masa lupa."
Jantung Kamila serasa runtuh. Sekujur tubuhnya sampai dingin akibat hantaman itu. Tidak. Hasan pasti sedang terpengaruh obat atau karena baru saja bangun dari pingsan, makanya dia tidak ingat dengan statusnya sekarang. Kamila mulai mengatur napas. Ya, dia harus yakin kalau Hasan hanya sedang linglung.
Sampai dokter datang dan memeriksa Hasan, Kamila masih memegang harapan itu. Ia yakin dokter memberi kabar yang baik.
"Tolong jawab pertanyaan saya, ya," kata dokter pada Hasan. "Nama lengkap?"
"Hasan Rafan Arsalan."
"Tanggal lahir?"
"Tujuh Juni 1989."
"Usia?"
"Dua puluh tiga, Dok."
Kamila kembali menggigil. Napasnya memburu. Kenapa Hasan menyebut usianya sepuluh tahun yang lalu?
"Sekarang tahun berapa?"
"2012."
Lagi dan lagi, Kamila seperti dihantam badai bertubi-tubi. Kakinya yang lemas perlahan mundur hingga menekan sudut nakas. Tubuhnya tertancap di sana. Tahun itu, memang benar Kamila masih menjadi ambasador Arumi. Di tahun itu juga, Hasan masih menjalin hubungan dengan Anjani.
Ini apa maksudnya?
"Menurut Anda, kenapa Anda bisa ada di sini?" Dokter kembali bertanya. Kamila pikir, pertanyaan itu sudah cukup menggores hatinya, tetapi jawaban dari Hasan justru menghancurkannya sekali lagi.
"Saya tidak ingat. Saya malah bingung kenapa kepala saya diperban, tangan saya begini, saya tidur di sini."
Kamila mengusap badannya sendiri. Mungkin jika keadaannya normal, Kamila bersyukur Hasan tidak ingat dengan tragedi ini. Namun, kenapa bayarannya Hasan harus lupa dengan statusnya?
"Anda tidak ingat dengan perempuan ini?" Akhirnya dokter menunjuk Kamila. Hasan hanya menatap istrinya sekilas.
"Dia Kamila, brand ambassador kosmetik mama saya."
Sekarang, panas di dadanya menjalar sampai mata hingga berkabut. Ini sudah cukup. Kamila tidak mau mendengar apa pun. Sayang sekali, Kamila sendiri di sini. Mertua serta kakak iparnya menunggu kabar di rumah.
Di ruangan dokter, Kamila seperti sedang menghadapi sidang. Berkali-kali ia meremas tangan. Tubuhnya dingin dan itu bukan karena AC, melainkan gugup yang menyerang sejak Hasan membuka mata, apalagi saat Dokter menampilkan hasil CT Scan kepala Hasan.
"Berdasarkan tanya jawab tadi dan hasil CT Scan, saya menyimpulkan suami Ibu mengalami amnesia anterograde. Amnesia anterograde adalah hilangnya memori atau informasi yang dipelajari dari masa kini. Suami Ibu kehilangan ingatannya setelah tahun 2012."
Kamila memejamkan mata hingga terasa hangat yang mengalir dari sudutnya. Jemarinya menyeka pipi yang basah, kemudian menarik napas. "Apa ada cara supaya suami saya bisa sembuh, Dok?"
"Tentu saja. Suami Ibu harus menjalani terapi, minum obat-obatan, dan menggunakan alat bantu seperti album foto serta cerita-cerita dari orang terdekat."
Oke. Kamila sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dia akan mengusahakannya, bahkan sampai ujung dunia. Namun, Kamila tahu ini memakan waktu yang panjang. "Suami saya ... bisa sembuh, kan, Dok?"
"Kita lihat perkembangannya nanti, ya, Bu. Biasanya amnesia bersifat sementara atau permanen."
***