LELAKI PEMBAWA KEBERUNTUNGAN

LELAKI PEMBAWA KEBERUNTUNGAN

Ronierays

0

“Kasih tau aku lah Ti, triknya. Gimana caranya biar channelku bisa punya banyak penonton.”

Laila mencoba merayu Siti, temannya yang sekarang sudah terkenal seantero kampung sebagai seorang konten kreator.

“Pertama nih ya, konten kita beda. Kamu mau bikin komten masak. Trus, emang kamu mau ngikutin gayaku di konten video kamu?”

Laila nyengir. Siti adalah konten creator yang tidak jelas videonya. Kadang dia hanya membuat video kipas-kipas dan bicara hal-hal tidak penting tentang kehidupannya yang sama sekali tidak menarik.

Alasan yang membuat videonya banyak ditonton adalah karena dia selalu berpakaian ketat dan menyembulkan aset kewanitaannya yang berharga. Videonya yang paling viral dan membuatnya tembus monetize adalah ketika dia menggunakan kutang dan duduk di kamar mandi dengan kipas angin menyala, sambil mencuci celana dalam.

“Ayahku ngelarang aku pakai pakaian kayak kamu. Punya aja enggak.”

“Kamu kan udah umur dua enam, masa masih gak boleh aja sih?”

“Beneran.” Laila meyakinkan.

“Waktu kamu jadi babu di Arab? Apa iya gak punya baju-baju bagus?”

“Bukan di Arab Ti, TKW di Malaysia, itu juga ilegal. Malah di deportasi. Semua yang aku punya dirampas. Aku pulang cuma bawa baju di badan waktu itu.”

Siti menggeleng-geleng mengasihani Laila. Bagi Laila, itu adalah kejadian terburuk dalam hidupnya. Padahal dulu demi bisa berangkat bekerja di Malaysia, orang tuanya mengeluarkan semua tabungan yang mereka punya untuk membayar agen pengiriman pembantu ke Malaysia. Semuanya demi bisa mendapatkan uang banyak secara cepat, tapi dia malah tertipu.

Selama di Malaysia, dia malah dipekerjakan sebagai tukang masak di kebun sawit milik pengusaha besar di sana. Laila sudah pasrah, karena memasak juga memang kemampuannya. Naas bagi Laila, dia sempat diperkosa beramai-ramai oleh sesama pekerja di kebun. Majikannya tidak mau ada masalah. Dia pindahkan ke kebun lain, sampai dia ditangkap oleh kelompok relawan disana yang selalu memburu pekerja ilegal untuk dipulangkan.

“Tapi gak cuma soal pakaian aja sih La, kita tetap harus punya pegangan.”

“Pegangan? Apa itu?”

Siti tertawa terbahak-bahak. “Apa kamu pikir semua konten kreator itu polos-polos aja?”

Laila mendengarkan.

“Yang lebih berani buka-bukaan dari aku banyak, tapi gak semuanya bisa monet.”

“Mungkin karena mereka masih gak konsisten.” Laila mencoba menyebutkan alasan.

“Mereka semua itu pasti punya pegangan. Minimal mantera-mantera apalah biar aksinya di kamera bisa disukai banyak orang.”

“Jadi?”

“Kamu harus ketemu orang pinter.”

“Orang pinter?”

“Dukun. Duh, Laila, masa kamu gitu aja gak paham sih? Kamu tuh dua tahun lebih tua dari aku, jangan terlalu polos gitu dong…?”

“Maaf. Makanya kamu ajarin aku ya Ti….” Laila memang masih polos.

Sebuah ketukan di pintu membuat Siti langsung melompat berlari membuka pintu. Dia tersenyum sumringah melihat Hardi sudah berdiri di depan pintu. Dia membawa tas pinggang hitam yang sudah pasti isinya adalah botol minyak urut dan beberapa alat dari besi dan kayu sederhana untuk alat pemijatan.

“Silahkan masuk Mas Hardi.” Siti menyambut dengan gayanya yang centil. Diam-diam Siti menyukai Hardi.

Hardi adalah gambaran lelaki berwajah manis yang bekerja sebagai tukang pijat tradisional. Usianya dua puluh delapan tahun. Kedua orang tuanya dan dua adik perempuannya punya pekerjaan yang sama. Sepertinya mereka sekeluarga memang memantapkan diri bekerja sebagai tukang pijat tradisional. Keluarga mereka cukup berada, walau tidak pernah mematok harga untuk orang yang datang menjadi pasien pijat. Tangan-tangan ajaib mereka sudah banyak menyembuhkan orang, dan bagi yang punya banyak uang pasti akan dengan suka rela membayar lebih ketika mereka puas.

Ada rumor yang mengatakan bahwa siapa saja yang disentuh oleh tangan-tangan mereka, akan mendatangkan keberuntungan.

Laila kebingungan, dia senang melihat Hardi, tapi pijat adalah hal privasi. “Aku pulang ya Ti.”

Siti menahannya. “Jangan. Kamu disini aja, temani aku ngobrol. Soalnya aku sering ketiduran kalau lagi dipijat.”

“Oh, Oke.”

“Atau kamu mau dipijat juga?” Siti menawarkan sambil mulai membuka pakaiannya tanpa canggung. “Tapi bayar sendiri.”

“Ah, aku temani kamu saja disini.”

“Oke, kita sambil lanjut ngobrol. Kamu gak usah khawatir sama Mas Hardi ya La. Dia ini pro, bukan tukang pijat plus-plus. Aman lah kita.”

Laila melihat Siti dengan heran karena dia tak merasa canggung sama sekali pada Hardi. Dia berjalan kesana kemari hanya dengan kutang dan celana dalam boxer yang memperlihatkan semua lekuk tubuhnya yang cukup keren. Siti menggelar karpet di lantai dan selimut sebagai alas, lalu dengan cepat mengambil posisi tengkurap.

“Waktu kecil, kamu kan sering main bareng sama Mas Hardi. Malah dulu sama-sama gak pake baju ya kan Laila?”

“Kok, kamu tahu?” Laila tersipu-sipu malu.

“Mas Hardi yang cerita.” Siti tertawa terkekeh. “Kamu takut dimarahin orang tua kamu kan kalo pulang pake baju basah gara-gara main ujan-ujanan. Jadi kamu malah buka semua dan dititip di rumah Mas Hardi.”

Laila dan Hardi tertawa bersamaan. Keduanya saling pandang dan saling tersenyum.

“Tapi tetap saja ketahuan, dan aku digebukin.”

Suasana mulai lebih tenang sejak jari-jari besar Hardi mulai beraksi mengoles minyak zaitun ke betis Siti. Sesekali Siti meringis menahan sakit, dan meminta Hardi untuk sedikit lebih pelan.

“Mas, Mas bisa bantu si Laila gak?”

“Bantu apa?”

“Anterin si Laila ke tempat yang dulu itu lho. Dulu kan Mas Hardi yang anterin saya ke sana itu?” Kata Siti dengan kepala dipendam dalam ke bantal karena menahan rasa sakit.

“Kesana?” Hardi kurang yakin.

“Iya, ke tempat dukun itu lho Mas.”

Hardi tersenyum. Dia ingat tempat itu.

“Kalo aku kan dulu takut datang kesana sendiri, jadi aku minta tolong sama Mas Hardi, La.”

“Mau ngapain kamu ke dukun La?” Tanya Hardi.

Laila malu dan bingung mau mengatakan apa, tapi sudah terlanjur. Siti sudah mengatakannya dan walaupun malu dia tetap harus bicara.

“Anu Mas, saya mau minta jimat.” Laila sangat malu mengatakannya.

“Jimat untuk apa?”

Siti menyambar cepat, “Biar konten dia laku Mas. Namanya juga usaha. Kerja keras jalan, kerja halus juga jalan.”

“Kamu waktu kesana kan juga gak dikasih jimat.” Kata Hardi mengingatkan.

“Tapi ada lah bacaan-bacaan yang aku dapat dari Mbak Kumala.”

“Nama dukunnya Mbak dukun?” Laila heran.

“Iya Laila, jangan coba-coba kamu sebut dia mbah dukun. Udah lumayan tua sih, tapi masih cantik banget, malah kayak artis siapa itu ya, yang cantik tapi ada kumisnya itu?”