Dunia mungkin memang diciptakan terkadang untuk jadi tak bersahabat. Dengan setiap lubang dan kerikil tajam yang selalu siap mematahkan setiap langkah yang terlampau mantap. Semua hal tentu saja bermula dari sebab hingga kemudian memunculkan akibat. Ringan atau berat setiap akibat, semua tergantung dari mulanya.
Ada yang datang tentu saja akan pergi, ada saat bibir menyunggingkan senyum semanis madu namun ada kalanya mata tak mau kalah lantas menitikkan setiap tetes penuh kepedihan. Andai saja pertemuan itu tak terjadi tentu saja tak akan ada hari ini.
“Bu, Mas Bara ngambil pensil Dara lagi!”, teriakan melengking seorang gadis kecil yang setiap pagi selalu menjadi awal keributan dibawah atap ini.
“Mas cuma pinjem sebentar Dek, nih Mas balikin.”, lelaki kecil itu segera menyusul gadisnya keluar kamar sembari menyodorkan pensil berwarna pink itu.
“Pensil Mas Bara nggak ada ya, kok ngambil punya Adek?”, tanya wanita yang masih bercelemek itu sabar.
“Tadi Bara cuma mau ngerautin pensil Adek Bu, sekalian sama pensil Bara.”, senyum sekali lagi tercipta diwajah ayu Lara melihat anak lelakinya yang begitu menyayangi si gadis.
“Lain kali Adek kalau lihat Mas Bara ambil barang-barang Adek, jangan langsung teriak-teriak ya Nak, Adek harus tanya dulu baik-baik ke Mas Bara, Ok honey?”
“Iya Bu, Adek minta maaf, maafin Adek ya Mas.”, dipeluknya kakak lelaki yang hanya berbeda usia lima menit itu.
“Nah sekarang siap-siap sarapan ya, Adek tolong panggil Daddy ya, Mas Bara tolongin Ibu bawa piring ya Nak!”
“Siap Bu!”, mereka menjawab bersamaan dan bergegas menjalankan tugas yang sudah dibagi tadi.
Langkah kaki riang si gadis kecil menuju kamar utama di apartemen mewah itu. Diketuknya pintu sebelum perlahan membuka dan masuk ke kamar lelaki dewasa yang dipanggilnya Daddy itu.
“Daddy udah selesai belum? Ibu bilang kita sarapan sekarang.”
Bara juga Dara meski terhitung masih sangat belia benar-benar mengerti tentang sopan santun karena Lara selalu mengajarkan mereka untuk selalu bersikap sopan terutama dengan yang lebih tua.
“Daddy udah selesai sayang, ayo kita sarapan!”, diangkatnya tubuh mungil yang kini telah berusia hampir lima tahun itu dan membawanya keluar menuju meja makan.
Airlangga melepaskan gadis kecilnya diatas kursi di meja makan dan meraih kursinya sendiri kemudian duduk dengan gembira.
“Nasi goreng, I like it!”, serunya riang seperti anak-anak.
Larasati dengan sigap menyendok nasi goreng untuk masing-masing anggota sarapan pagi ini. Nasi goreng kesukaan si Tuan rumah dengan telur mata sapi kesukaan gadis kecilnya, tak ketinggalan sosis goreng favorit jagoannya.
Mereka mulai makan setelah berdoa sejenak. Tak ada percakapan selama makan karena Lara memang tak suka berbicara saat makan sehingga anak-anaknya pun mengikuti kebiasaan itu.
Setelah selesai sarapan Lara memberekan meja dan memcuci piring kotor sebentar sebelum kembali menyiapkan anak-anaknya ke sekolah.
“Dara bekalnya nanti dihabiskan ya Nak, jangan sampai nggak makan, Mas Bara nanti ingetin Adek ya Mas!”, Lara mengingatkan.
“Iya Bu, nanti kalau Dara nggak habis Bara bantuin ngabisin deh hehe…”, cengiran cowok kecil itu begitu manis.
“Ok udah ready semua kan? Ayo kita berangkat sebelum macet!”
Sekolah mereka memang cukup jauh dari apartemen, lebih tepatnya Lara dan Angga memang sengaja mencari sekolah yang lebih dekat dengan kantor sehingga memudahkan untuk mengantar jemput anak-anak itu.
“Ayo berangkat!”
Pagi itu tentu saja seperti pagi-pagi sebelumnya, penuh tawa dan kebahagiaan. Keluarga utuh yang selalu dirindukan Airlangga meski belum benar-benar jadi miliknya, setidaknya dia diijinkan untuk ikut menikmati semua kebahagiaan ini.
Berada di atap yang sama dengan perempuan mengagumkan yang telah lama menjadi penghuni di hatinya. Dan kehadiran dua malaikat kecil lima tahun lalu yang menyempurnakan hidup Angga.
Bara juga Dara mungkin akan terus mengingatkan luka hati Lara, namun Angga yakin kasih sayang Lara pada kedua anaknya melebihi rasa sakit apapun di dunia ini.
Angga memasuki area parkir sekolah elit itu. Meski masih di jenjang pra sekolah Angga memang memaksa Lara untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah itu, sedangkan awalnya Lara hanya akan menyekolahkan di kembar di sekolah biasa agar dapat bergaul dengan orang-orang biasa juga, namun Angga tak mau dibantah.
Menurut Angga sekolah adalah sesuatu yang penting dan selagi bisa dan mampu memberi tempat belajar yang terbaik untuk anak-anak kenapa tidak?
Dengan penghasilan Lara saat ini, dia tak mempermasalahkan mengenai biaya sekolah si kembar yang fantastis, hanya saja yang sempat jadi pertimbangannya adalah pergaulan anak-anaknya di tengah anak-anak jetset lain.
Lara tak ingin anak-anaknya terlena dengan kemudahan yang mereka miliki sekarang, dia ingin anak-anaknya tumbuh dengan sederhana dan bergaul dengan orang-orang dari banyak lingkungan, namun disisi lain Lara juga tak bisa menampik bahwa sekolah yang mahal tentu saja menawarkan fasilitas dan sumber daya pendidik yang lebih baik, jadilah dia menurut dengan kemauan Angga.
to be continued.......