Bersama Langit, Jingga temukan kebebasan. Ia temukan apa itu mimpi dan cara mewujudkan nya.
Bersama Bintang, Jingga temukan kedamaian. Ia temukan apa itu ikhlas dan cara bangkit dari keterpurukan.
Tapi pada siapa sebenarnya hati Jingga berlabuh?
Langit yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Langit yang mengajaknya berkelana, berpetualang dan bahkan bermimpi menaklukkan dunia.
Atau pada Bintang yang selalu membuatnya tenang dan nyaman dikala kegelisahan menyelimuti. Di kala sakit, Bintang kan selalu ada, dengan satu kata semangat darinya, bisa membuat Jingga bangkit dari keterpurukan.
Baik Langit maupun Bintang, hakikatnya mereka diciptakan untuk saling mendampingi. Langit menaungi bintang, lalu langit dan bintang menunggu sampai jingga merekah. Walaupun bintang masih redup, ia akan tetap bersinar dan takkan pernah berpaling dari jingga. Hingga tiba saat jingga pergi, langit menggelap, memberikan kesempatan untuk bintang merekah, menunjukkan sinar terangnya, sebuah keajaiban dan harapan untuk orang-orang terkasih.
***
Jingga masih berumur 16 tahun saat ia tahu bahwa dirinya menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir. Membuat Jingga begitu rapuh dan hanya bisa menghabiskan waktunya di rumah dan rumah sakit di sisa umurnya.
Bahkan sekarang Jingga harus melanjutkan sekolah nya di rumah. Kedua orang tuanya rela mengeluarkan uang lebih untuk mendatangkan guru terbaik untuk mengajar hingga ia bisa mendapat pelajaran seperti anak sebayanya. Bosan, tentu saja. Jingga yang tadinya belajar bersama banyak teman, kini hanya seorang diri.
Tapi apa boleh buat, ini semua demi kebaikan Jingga agar ia tidak terlalu lelah menjalani aktivitas nya.
Hingga sehari sebelum ulangtahun nya yang ke 17, Jingga kabur lewat jendela kamarnya. Ia sudah tidak tahan lagi! Dengan perbekalan lengkap ia kabur menuju tempat yang selalu ia impikan sejak kecil. Taman bermain, 100 meter dari SMA Merdeka, mantan sekolahnya.
Seperti burung yang lepas dari sangkarnya, Jingga menghirup udara banyak-banyak dan antusias mencoba semua permainan yang ada di taman bermain itu.
Hingga pada permainan jungkat jungkit, Jingga menyadari ia seorang diri. Sebebas apapun seekor burung, akan sangat membosankan jika terbang dan hidup seorang diri.
Ia lalu membuka secarik kertas berisikan laporan kesehatannya, dalam waktu 4 bulan ia harus segera melakukan transplantasi jantung, dan menemukan donor yang tepat. Jika tidak, hidupnya hanya akan bertahan kurang dari satu tahun.
"Eittsss!" Jingga terkejut ketika jungkat jungkit yang ditunggangi nya mulai terangkat.
"Jingga Azalea Putri, kan?"
"Iya! Lo siapa?"
"Gue Hanan Bintang Saputra Wijaya, dari kelas 12 IPA 1 SMA Merdeka!"
"Teman sekelas gue? Kok gue-" Jingga menjeda kalimatnya, mengingat lelaki yang kini tengah bermain jungkat jungkit dengannya. "Oh! Gue ingat! Lo yang sering bolos pelajaran itu ya, yang tiap hari dihukum lari keliling lapangan karna telat masuk kelas! Iya gue ingat sekarang, kita sekelas!"
"Kita sekelas sebelum Lo akhirnya pingsan waktu pelajaran olahraga, dan akhirnya homeschooling" Bintang beranjak, lalu diikuti Jingga dibelakang nya.
"Lo ngapain tengah malam di taman bermain? Rawan tahu!" Bintang mengajaknya ke minimarket di seberang jalan.
"Kopi mau?" Tawar Bintang.
Jingga hanya menggeleng.
Sementara Bintang membeli kopi, Jingga diluar menatap takjub pada langit malam yang begitu cerah, begitu banyak bintang dan bulan berbentuk sabit. Dingin nya malam tidak membuatnya sakit, sesak napas atau bahkan pingsan. Justru itu membuat jiwa nya waras dan berharap bisa sebebas ini di sisa hidupnya.
"Nih buat Lo!"
"Es krim? Tapi gue-"
"Udah makan aja, gue tahu Lo pengen makan itu dari lama"
Jingga dengan jiwa seperti anak kecil segera membuka bungkus es krim tersebut lalu melahapnya perlahan. Perasaan gembira bercampur coklat vanilla yang meleleh dalam mulut membuat ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Oh, jadi kayak gini rasanya es krim, batin nya.
"Gue tahu Lo sakit dan hidup Lo juga gak bebas. Tapi sekali seumur hidup Lo harus ngerasain hidup yang sebenarnya!"
Jingga terdiam. Benar apa yang dikatakan Bintang. Selama ini ia hidup, tapi tidak memiliki kehidupan.
Dari masa taman kanak-kanak hingga sekarang, tidak pernah sekalipun ia memiliki kegiatan di luar rumah. Hidupnya hanya untuk belajar di sekolah, pulang beristirahat, lalu ke rumah sakit untuk berobat. Bahkan ruang gerak Jingga semakin dibatasi, di tahun terakhir sekolahnya, ia justru harus homeschooling.
"Gue baru sadar kalau gue punya penyakit jantung diumur 16 tahun, orang tua gue sengaja sembunyiin fakta biar gue gak kepikiran dan drop! Mereka berusaha jaga gue biar tetap hidup sampai sekarang!"
"Gue tahu! Dan tadi, maaf bukan maksud nguping, tapi dalam waktu 4 bulan kalo elo belum nemuin donor, hidup Lo gak akan lama lagi! Jadi saran gue Lo harus nentuin tujuan hidup Lo mulai dari sekarang sebelum Lo mati"
"Lo nyumpahin gue biar cepet mati ya?"
"Enggak! Gue justru lagi semangatin elo! Biar punya greget dan hidup Lo gak monoton"
Jingga menghela napas, "gue pengen hidup normal kayak yang lainnya, tapi gue juga gak bisa nyalahin takdir!"
"Takdir itu harus di lawan Jingga, walaupun Lo sakit tapi Lo gak boleh nyerah!"
Bentar-bentar, ini yang sakit Jingga tapi kenapa Bintang yang menggebu-gebu?
"Nanti bakalan gue coba! Buat nentuin tujuan hidup gue sebelum gue wafat!" Jingga membuang bungkus es krim nya yang telah habis.
"Udah malam gue antar pulang ya!"
"Ngomong-ngomong, kita cuma teman, sebatas kenal dan gak dekat, tapi kenapa Lo coba hibur gue? Kasih gue semangat? Aneh tahu karna selama ini gaada yang perhatian selain orang tua gue!" Jingga tertawa kecil, menertawakan hidup nya yang begitu mengenaskan.
"Gue pernah di posisi kayak elo! Udah kayak zombie gue, hidup tapi tidak memiliki kehidupan, dan gue gak mau elo kayak gitu Jingga. Gue pengen elo bahagia dan Lo berhak untuk itu!"
Seketika tangis Jingga pecah, ia berhambur memeluk lelaki di hadapannya itu.
"Kapanpun elo butuh, gue akan selalu ada Jingga, dan gue bahkan rela menyerahkan hidup gue buat elo! 4 bulan lagi, Lo harus bisa bertahan selama itu!"
To be continue...