Jika puluhan atau bahkan jutaan orang di dunia ini memilih gunung sebagai tempat favorit, maka berbeda hal dengan seorang Mahameru Putra Angkasa. Terlepas dari namanya yang diambil lantaran nama gunung tertinggi di Pulau Jawa, Eru, begitu ia biasa dipanggil, malah membenci gunung. Baginya tidak ada sesuatu yang paling pas untuk menggambarkan sifat sombong dan angkuh lebih baik daripada gunung.
Menurutnya lagi, gunung yang semula dingin itu kalau sudah marah akan menjadi sangat panas dan bisa menghancurkan apa saja.
Alasan Eru tidak suka gunung bukan cuma itu. Buat pemuda yang tahun ini baru akan memasuki bangku perkuliahan, gunung itu sangat cocok untuk menggambarkan sosok Pak Angkasa, sang ayah yang beberapa bulan lalu baru saja meninggal dunia. Ayahnya adalah seorang pecinta gunung. Bahkan ia menamai kedua anaknya dengan nama tempat yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya itu.
Pak Angkasa merupakan seorang pensiunan TNI yang selalu mendidik Eru dengan keras. Cara yang Eru tidak suka. Menurut pria muda yang menyukai minuman boba itu, ayahnya akan senang kalau melihatnya tersiksa. Berkali-kali Eru masuk rumah sakit karena kelelahan setelah diajak ayahnya berlari keliling komplek. Lain waktu Pak Angkasa menyuruh push-up karena ia terkena hukuman di sekolah. Eru sudah bilang kalau dia enggak sanggup, tapi ayahnya tidak mau dengar. Dia mau semua anaknya punya fisik sekuat dirinya. Eru selalu merasa kalau dirinya yang cenderung lemah, tidak diharapkan kehadirannya oleh Pak Angkasa.
Eru bukannya tidak menyadari kekurangannya, bahkan ia sudah berusaha untuk menjadi lebih kuat, tapi menurut Pak Angkasa itu masih belum cukup. Hampir setiap hari ayahnya terus saja berteriak.
“Eru, jadi laki-laki itu harus kuat, gak boleh lemah!”
“Eru, laki-laki itu diciptakan untuk bisa melindungi wanita, bukan sebaliknya!” ucapnya lagi pada suatu ketika ia melihat Eru diantar Hesti, teman mainnya, karena menangis setelah terjatuh dari sepeda. Hesti pulalah yang membantu membawakan sepeda Eru yang bagian stang-nya, sudah hancur ke rumah.
“Eru, nama kamu itu Mahameru, puncak tertingginya Semeru, tunjukkan kalau kamu pantas menyandang nama itu!”
“Padahal siapa juga yang ingin dinamai dengan nama gunung,” keluh Eru suatu ketika.
Ayahnya baru akan berhenti bersikap keras jika Eru sudah masuk rumah sakit. Saat itu ia malah menghilang dan menyerahkan urusannya pada sang ibu. Sudah menjadi penyebab ia masuk rumah sakit, bukannya jagain, malah main pergi begitu saja.
Ada lagi yang menjadi alasan Eru tidak suka pada sikap ayahnya. Pak Angkasa selalu saja membandingkannya dengan sang kakak, Mandala. Mandala ini sikapnya sebelas dua belas sama Pak Angkasa. Dia yang usianya empat tahun di atas Eru, mempunyai fisik yang lebih macho, atletis dan sangat mirip dengan sang ayah. Penampilannya pun cowok banget. Kulit gelap dan rambut gondrong dengan cambang tipis yang dibiarkannya tumbuh di kedua pipi. Mandala juga suka gunung seperti ayahnya. Saat akhir pekan, mereka kerap kali pergi mendaki gunung berdua saja. Pernah suatu ketika, Pak Angkasa mengajak Eru.
“Nggak usah, Pak, nanti kalau di tengah jalan dia nangis minta pulang, kita yang repot.”
“Nggak usah, Pak, nanti kalau dia pingsan, gimana?”
“Nggak usah, Pak, bikin ribet aja!”
Serta puluhan kata pematah semangat lainnya yang keluar dari mulut Mandala. Itulah awal mulanya ia membenci gunung.
Gunung pulalah yang ia anggap telah membuat ayahnya kehilangan nyawa. Tak lama setelah pulang dari mendaki salah satu gunung di Jawa Tengah, ayahnya masuk rumah sakit dan setelah itu pergi untuk selamanya. Walaupun tidak menyukai cara Pak Angkasa dalam mendidiknya, tapi kepergian ayahnya untuk selamanya takdipungkiri telah menorehkan rasa kehilangan yang cukup dalam di hati Eru.
Layar langit baru terang sedikit, masih tersisa kesan misterius sang malam yang baru saja pamit sekitar lima jam yang lalu. Namun, Melati, wanita usia empat puluhan tahun, sudah duduk di belakang kemudi, sibuk memanaskan kendaraan yang akan digunakan untuk mengantar sang putra kesayangan, hingga asap putihnya ikut bergabung bersama jutaan partikel udara pagi yang baru mulai berproduksi. Suara derunya yang halus menandakan kalau mobil keluaran awal tahun 2010 itu memang selalu mendapatkan perawatan dengan baik.
Setelah memastikan kalau Yaris kuningnya sudah cukup hangat, ia memutar kunci ke arah kiri.
“Bu, Manda berangkat.”
“Kok, pagi bener, Bang?”
“Manda, kan, panitia, Bu. Jam enam harus udah di kampus,” ucapnya sambil meraih tangan sang ibu. Manda lalu memeluk erat seraya mencium kedua pipi wanita yang telah melahirkannya itu.
“Hati-hati, ya, Bang. Nggak usah ngebut.”
Manda mengangguk cepat setelah menjauh dari Melati. Dengan helm di kepala dan balutan jaket almamater berwarna biru, ia memutar tuas Rx-King dan melarikannya melintasi jalanan Kota Semarang yang masih terbilang sepi.
“Adek, cepetan, sudah siap belum!” seru Melati sambil melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah berada di tengah-tengah angka enam dan tujuh itu.
“Iya, Bu, bentar! Sepatu bertalinya belom ketemu!”
“Pakai sepatu yang biasa aja!”
“Gak boleh, Bu. Harus yang bertali!”
“Ya udah, cepet, nanti telat, lho. Kalau nggak ada, pinjem punya abang dulu.”
Sudah sekitar lima belas menit Melati mundar-mandir di dekat tangga, menunggu sang putra bungsu turun dari kamarnya. Kepalanya pun berkali-kali melongok ke atas.
“Udah gak ada yang ketinggalan?” tanya Melati setibanya Eru di anak tangga paling bawah.
Eru menggeleng.
“Yuk, Bu, berangkat!”
Yaris kuning Melati melaju cepat meninggalkan kediaman keluarga Angkasa yang terletak di komplek Permai Jalan Setiabudi, Banyumanik. Kawasan yang memang banyak dimanfaatkan oleh para purnawirawan TNI sebagai tempat tinggal.
Sebenarnya jarak rumah dengan kampus tempat Eru kuliah itu tidak jauh, hanya sekitar sembilan belas kilo. Ditambah lagi lokasinya sangat mudah dijangkau. Melati yang tidak tega kalau membiarkan putra bungsunya itu harus turun naik kendaraan umum. Apalagi jika sampai terkena udara panas dan menghirup asap kendaraan bermotor. Beberapa bagian di kulit Eru akan langsung memerah membentuk bulatan sebesar koin seratus rupiah. Berbeda dengan si sulung Mandala yang memang sudah terbiasa dengan semua itu.
Selama perjalanan, Eru terdiam sambil terus melihat catatan mengenai benda apa saja yang harus ia bawa di hari pertama masa perkenalan kampus mahasiswa baru. Garis tipis di dahinya muncul sesekali.
"Kenapa? Ada yang lupa?"
"Udah semua, sih, cuma ...."
"Cuma apa?"
"Ada satu benda yang adek nggak tau itu apa. Ya, jadinya nggak dibawa. Minuman dugem. Apaan coba? Ibu juga nggak tau, kan?"
Melati menggeleng. "Gak mungkin alkohol, kan? Itu pasti dilarang dibawa ke kampus."
"Nah, iya, Bu. Masa anak baru disuruh bawa alkohol. Parah ni panitianya," keluh Eru yang memang sejak awal tidak menyukai apa yang menjadi titah ibunya nan sengaja meminta Eru untuk berkuliah di tempat yang sama dengan sang kakak.
"Ya, pasti bukan. Cuma apa, ya?"
"Eh, Bu, Bu, adek turun di sini aja!"
seru Eru saat mobil Melati melaju terus hingga ke depan gedung Fakultas Ekonomi.
"Kenapa? Kan, masih di depan."
"Peraturan, Bu. Kita harus jalan kaki minimal lima puluh meter dari lapangan."
Bersambung.