Cahaya Ayu mengerjapkan matanya berkali-kali karena suara bising yang terdengar sampai ke kamarnya. Cirebon sangat terik dan panas menyengat di siang hari. Berbeda dengan udara dingin sebelum subuh yang sekarang menusuk tulangnya. Dia menarik selimutnya perlahan. Terdengar suara tawa Bi Munah yang sedang asik mengobrol dengan Bi Ming dan beberapa bibi lainnya. Sesekali terdengar suara Mang Darmo menimpali obrolan mereka. Tanpa disadari Ayu tersenyum. Dia menyingkap selimutnya kemudian bangkit dan menggamit gelasnya di nakas. Langkahnya terhenti saat melihat jam dinding antik yang katanya usianya sudah hampir tiga abad. Rangkanya terbuat dari kayu dengan ukiran yang unik. Bukan hanya itu, seluruh struktur bangunan rumahnya yang didominasi kayu, juga orang-orang di dalamnya, semuanya antik. Saat berada di rumah, Ayu merasa waktunya berhenti. Tak bergerak.
“Nok Ayu, pun tangi (Nok Ayu, sudah bangun)?” Bi Ming melewatinya sambil membawa mangkuk ukuran besar berisi sayur cabai yang masih mengepulkan asap.
“Sampun (Sudah), Bi,” keluarganya terbiasa berbicara menggunakan bahasa halus Cirebon atau biasa disebut bebasan.
“Bibi ribut nggih dados tangi kileme (Bibi berisik ya jadi kebangun tidurnya)?” Bi Ming kembali melewatinya. Perempuan paruh baya itu mengenakan pakaian sehari-harinya. Kebaya berwarna kuning pudar dan kain batik dengan rambut digulung rapi. Ayu menghela napas.
"Mboten (Nggak kok). Mau ambil minum, Bi.”
“Mriki Bibi mawon sing mendet aken minume (Sini biar Bibi saja yang ambilkan minumnya). Nok duduk saja.”
Bi Ming meraih gelas di tangannya. Ayu menyeret langkahnya ke ruang makan dan duduk menunggu Bi Ming.
“Nok Ayu, PUN TANGI?” Suara Bi Munah terdengar sedikit berteriak. Ayu tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum.
Rumahnya sangat luas. Terdapat tiga bangunan terpisah terdiri dari bangunan utama yang merupakan tempat tinggalnya bersama bapak, ibu dan juga keluarga kedua kakaknya yang sudah menikah. Bangunan kedua adalah bangunan tempat keluarga yang melayani keluarga Ayu secara turun temurun tinggal. Bi Ming dan Bi Munah menjadi dua keluarga tertua karena sudah melayani keluarganya sejak Bapak masih muda. Ada juga satu bangunan serba guna yang menempel dengan bangunan kedua. Biasa digunakan untuk menyimpan hasil panen atau dijadikan gudang penyimpanan. Bangunan ketiga adalah paviliun tempat acara adat atau acara keluarga digelar. Banyak juga barang-barang antik milik bapak yang sudah diwariskan sejak berabad-abad lalu. Ketiga bangunan terpisah itu dihubungkan dengan jalanan kecil dipenuhi kerikil putih dan taman yang memiliki halaman lumayan luas di bagian tengahnya. Sering digunakan anak-anak bermain bola atau untuk menjemur padi saat sedang musim panen. Tak jarang juga dipakai keluarga Bi Ming atau Bi Munah bercengkrama saat sore menjelang magrib.
“Baru jam tiga pagi, Nok.” Bi Ming menyodorkan segelas air hangat.
“Kesuhun, Bi. (Terimakasih, Bi).”
“Tidur lagi saja, nanti Bibi bangunkan.”
Kamar Ayu memang terletak di ujung dan dekat dengan dapur.
“Nggih, Bi. (Iya, Bi).”
Gadis itu kembali ke kamar. Udaranya semakin menggigit. Dia meminum segelas air hangat kemudian kembali merebahkan tubuhnya dan menarik selimut.
***
Bi Ming dan beberapa bibi lain terlihat sibuk menyiapkan makanan di meja. Sudah ada bapak yang sibuk dengan koran pagi dan segelas kopinya. Ibu dengan sigap ikut mengatur tata letak makanan. Mas Agung, kakak pertamanya dan Mas Bira, kakak keduanya, terlihat sangat rapi dengan setelan kemeja. Ayu membawa tali rambut mendekati Bi Munah.
“Bi, tolong kepangkan rambut Ayu yang dari atas itu, Bi.”
“Nggih, Nok Ayu.”
Tangan Bi Munah bergerak dengan terampil mengepangkan rambut panjang hitam legam Ayu. Hari ini Ayu mengenakan atasan semi brukat berwarna salem dan rok plisket putih. Kulitnya yang berwarna hangat sangat cocok dengan padanan warna yang lembut.
“Sampun, Nok.”
“Terima kasih, Bi.”
Ayu berjalan lambat menuju meja makan. Sarapan dimulai jam tujuh pagi dan tidak boleh ada yang telat datang ke meja makan. Biasanya bapak sudah duduk di meja makan dari jam setengah enam hanya untuk meluangkan waktu membaca koran dan meminum kopi favoritnya. Sedangkan para bibi sudah sibuk di dapur sejak jam tiga pagi.
“Ibu dengar kamu bangun jam tiga pagi tadi?” Bi Ming pasti cerita kepada ibu. Ayu mengangguk tanpa bersuara.
“Kenapa? Bibi terlalu berisik?” tanya bapak.
“Boten (Tidak),” jawab Ayu pelan.
“Kamu pindah ke kamar depan yang kosong aja, Yu,” ucap Mas Agung yang terlihat sedang fokus dengan ponselnya. Ayu diam saja. Dia berharap segera jam tujuh karena lebih baik sarapan dalam diam daripada harus basa-basi mengobrol seperti ini.
Bapak melarang keras anak-anaknya berbicara saat makan. Bahkan Kamandaka yang masih berusia lima tahun sudah memahami aturan kakeknya. Dia akan berubah menjadi balita termanis yang ada saat jam dinding besar di ruang tengah itu menunjukkan jam tujuh pagi.
***
Mas Bira yang bekerja sebagai dosen sejarah di kampus tempat Ayu kuliah, selalu mengantarkan adiknya terlebih dahulu sebelum menuju gedung tempatnya mengajar. Dia menurunkan Ayu di depan gedung Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi.
“Mas langsung ya?”
Ayu mengangguk dan berjalan perlahan melewati koridor kampus.
“Ayu!!!” panggil seseorang. Ayu menengok ke belakang dan senyumnya mengembang. Diah, teman sekelasnya.
“Dianter sama Mas Bira lagi?” tanya Diah.
“Iya nih.”
“Gimana liburan semesternya? Jalan-jalan ke mana aja? Susah banget ditelepon sama dichat nggak pernah bales.” Ayu tertawa mendengar pertanyaan Diah yang berturut-turut.
“Malah ketawa. Sok sibuk banget putri sultan kita satu ini.”
“Kamu bilang aku putri sultan di depan Bapak, bisa dikurung di kamar tiga hari tiga malem.”
“Hah? Apaan sih takut banget, Yu.”
“Keluarga sultan sakral banget buat Bapakku,” ucap Ayu.
“Terus kalau keceplosan bilang Rayyanza anak sultan gitu nggak boleh?”
“Nggak!”
“Ih apaan sih Ayu nakutin banget.”
Ayu makin terbahak melihat ekspresi Diah.
“Pantesan Mas Bira jadi dosen paling nakutin ya buat anak sejarah,” gumam Diah.
“Nggak seberapa. Kamu harus ketemu Mas Agung.”
“Nggak mau. Skip! Sumpah ya jangan ajak aku lagi kerjain tugas di rumah kamu. Mau mati rasanya saking sesak napasnya,” keluh Diah.
Akhir semester tiga kemarin, Ayu memang sempat mengajak Diah ke rumahnya untuk mengerjakan tugas. Dia tidak menyangka kalau hal itu ternyata menjadi trauma bagi temannya.
BRAK!
Tubuh Ayu jatuh terpelanting ditabrak seseorang. Diah yang kaget langsung berteriak dan memaki orang yang menabrak Ayu.
“MAS YANG BENER AJA DONG! TEMEN SAYA SAMPE KESAKITAN GINI.”
Ayu meringis dan merasakan sedikit nyeri di tangannya.
“Kamu nggak apa-apa?” Diah mencoba membantu Ayu berdiri.
“Maaf, saya nggak lihat karena buru-buru,” ucap laki-laki yang masih kesulitan mengatur napasnya sendiri karena berlari sangat kencang dan menabrak Ayu.
“NGGAK mungkin kalau nggak keliatan! Dari jarak 100 meter aja pasti keliatan ada manusia jalan di koridor. Apaan sih emang lagi syuting film atau lari-larian di padang rumput gitu?”
Ayu memegang tangan Diah yang sedang emosi.
“Udah, nggak apa-apa,” ucap Ayu pelan.
Laki-laki itu menyerahkan tas dan buku milik Ayu kepada Diah dan langsung berlari lagi. Ayu melihat gurat kekhawatiran di wajah laki-laki itu sama seperti sedang bercermin. Dia pun memiliki gurat itu di wajahnya.
“Kamu beneran nggak apa-apa?” Diah mengusap tangan Ayu. Gadis itu mengangguk mengiyakan agar Diah tak terlalu khawatir.
“Anak jurusan apa itu biar aku tandain. Awas aja kalau ketemu lagi.”
Sisa perkataan Diah sudah tidak terdengar lagi oleh Ayu. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri dan rasa ngilu di tangannya. Ah! Sepertinya terkilir.
***