Kutemukan Hilal di Langit Syiria

Kutemukan Hilal di Langit Syiria

Araucariaaa

4.5

[1] Pupus

            Aku menghempaskan tubuhku di sofa kantor. Pulang dari meliput konflik yang ada di Papua membuat badanku remuk redam. Aku melepaskan sepatuku dan menentengnya masuk ke dalam kamar yang memang disediakan oleh perusahaan karena perusahaan media tempatku bekerja bisa dibilang perusahaan yang tidak pernah tidur. Seakan-akan semua berita yang ada harus diliput dua puluh empat jam penuh.

            Kuambil pakaian gantiku dan cepat-cepat mengisi daya ponsel yang sejak kemarin mati kehabisan baterai. Tiga hari tanpa sinyal di pedalaman membuat aku kurang update berita apa saja yang terjadi belakangan. Tidak, sebenarnya ada alasan lain aku tergesa-gesa mengisi daya ponselku. Aku ingin segera bertanya apakah Ardi sudah sampai di Indonesia. Ya, Ardi kekasih sepuluh tahunku.

            Selepas mandi, handuk masih terpasang di atas kepalaku. Aku menuju pantry untuk membuat cokelat panas agar aku bisa segera tidur. Di koridor aku berpapasan dengan beberapa staf kantor yang hari ini nampak aneh. Mereka semua memandangku heran. Senyum mereka pun tidak seperti biasanya. Aku hanya mengedikkan bahu sambil mengambil handuk yang masih melilit rambutku. Mungkin saja mereka aneh melihat handuk ini di rambutku.

            “Pemirsa, jatuhnya Qatar Airways dengan nomor penerbangan QR-957 penerbangan Amsterdam-Jakarta yang jatuh di Laut Tirenia dua hari lalu sudah ditemukan black box-nya. Badai besar yang tiba-tiba muncul di tengah laut diduga sebagai penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Semua penumpang dinyatakan meninggal dunia. Lima orang berkewarganegaraan Indonesia menjadi penumpang pesawat tersebut. Salah satunya adalah Ardian Wirasena, putra bungsu Wakil Menteri Kelautan yang hendak pulang untuk melamar kekasihnya di—“

            Duniaku runtuh seketika saat itu. Bayangan Ardi yang baru saja bercanda denganku di panggilan video beberapa hari lalu sebelum aku berangkat ke Papua tidak pernah kusangka menjadi kali terakhir aku mendengar suaranya. Kali terakhir aku melihat wajahnya.

            Aku tak bisa berpikir apa pun lagi. Handuk yang tadi kupegang erat sudah terjatuh ke lantai tanpa kusadari saat berita itu kulihat di televisi yang ada di sudut koridor. Kakiku kuayunkan secepat-cepatnya untuk mengecek ponselku yang masih mati.

            Tanganku gemetaran saat memegang ponsel. Berulang kali terpeleset jariku dari tombol power yang ada di samping kanan ponselku. Gigiku gemeretak menahan gelisah. Aku tidak bisa menangis. Tidak, tepatnya belum. Aku tidak ingin menangisi berita yang belum aku pastikan kebenarannya. Bibirku berulang kali merapal doa dan harap jika media salah memberitakan. Kalau tidak, aku berharap jika ada orang lain yang memiliki nama yang sama dengan Ardi. Tapi berita sudah mengatakan bahwa korbannya memang Ardian Wirasena putra bungsu dari Om Rahmin.

            Menunggu ponselku yang lama menyala, aku sudah tidak sabar. Tanpa alas kaki aku berlari ke lantai empat. Tempat ruangan divisiku berada. Mataku sudah merah, tetapi tetap saja aku masih menahan air mata sejak tadi.

            “Bilang sama gue kalo berita itu enggak bener!” Aku berteriak sembari memandangi wajah mereka satu per satu.

            “Ayo jawab! Jangan ngerjain gue gini dong! Enggak lucu!” Aku masih bersikeras memaksa mereka mengaku. Berusaha membuat mereka membuka mulut untuk membenarkan perkataanku. Namun nihil, tak satu pun dari mereka berbicara. Mereka semua hanya bungkam dan menunduk dengan wajah yang kasihan saat tertangkap melirikku.

            “Dam, Cin, ikut gue wawancara Pak Rahmin di rumah duka. Gue tung—Eh, Fra. Lo enggak pa-pa?” Mas Bisma nampak terkejut setelah keluar dari ruangannya dan mendapati diriku tiba-tiba terduduk di sana. Namun kini badanku lemas, aku tidak bisa menyangkal apa pun lagi.

            Ponselku bergetar terus-menerus. Segera saja kulihat begitu banyak pemberitahuan masuk. Komentar-komentar di media sosial membuatku terpukul. Ucapan bela sungkawa dari berbagai pihak yang memenuhi kolom komentar foto-fotoku dan Ardi yang kuunggah di instagram. Ada juga berbagai pesan di berbagai aplikasi chatting yang semuanya lagi-lagi ucapan bela sungkawa atas kepergian Ardi.

            Cepat-cepat aku menekan tombol dial mencoba menghubungi bunda. Nada dering masih terus terdengar, tetapi belum juga teleponku diangkat. Aku kembali mencoba, aku tahu bunda khawatir karena dari pemberitahuan bunda meneleponku lebih dari lima puluh kali.

            Akhirnya bunda mengangkat telepon. Helaan napasnya terdengar amat jelas. Lalu ucapan salamnya dengan nada khawatir juga terdengar jelas di telingaku. Aku belum menjawab, masih diam membisu. Bunda kembali mengucapkan salamnya. Lalu kubalas dengan suara pelan. Entah karena apa air mataku mulai meleleh. Dengan suara serak aku bertanya pada bunda. Berusaha meyakinkan diriku bahwa jawaban bunda akan berbeda dari orang lain. Namun bukannya menjawab bunda justru menangis tersedu-sedu.

            Ponselku tiba-tiba terlepas dari kendali  tanganku. Kepalaku pusing. Mataku juga mulai berkunang-kunang. Bayangan wajah Ardi kembali muncul. Aku pun mencoba terus meraihnya, tetapi tidak bisa. Lalu tiba-tiba semuanya gelap.

            “Masih pusing nggak kepala lo, Fra?” Heni kulihat berdiri dari sofa dan menghampiriku. Aku mengedarkan pandangan, tahu bahwa ini bukan kamar apartemenku, bukan kamar kantor, bukan juga kamar klinik kantor.

            “Ini di rumah sakit, Non,” kata Heni. Aku menatap jarum infus yang masih menancap di punggung tanganku. Lalu menatap infus yang masih setengah. Aku berusaha melepaskan jarum itu, tetapi Heni menghentikannya. Aku mencoba berontak, Heni yang berpostur badan kecil pun terdorong jatuh.

            “Jangan jadi goblok dong, Fra!” Bentak Mas Bisma yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia menepis tanganku keras agar berhenti untuk berusaha melepaskan infusku. Namun karena terlanjur digoyang-goyang, darahku justru masuk ke dalam selang. Mas Bisma pun menghela napas dan membawa Heni keluar dari kamar rawatku. Setelah itu suster datang dan membenarkan infusnya.

            Satu minggu berlalu setelah kematian Ardi. Sekarang aku masih di Surabaya. Tempat aku dan Ardi menghabiskan waktu kami dari kecil sampai kuliah. Setelah infusku habis hari itu, aku memaksa Mas Bisma untuk memesankanku tiket pesawat dan mengantarku ke bandara. Hanya berbekal ponsel dan dompet aku sampai ke rumah. Pingsan hampir dua puluh jam membuat aku melewatkan pemakaman Ardi. Membuat hatiku semakin tak keruan.

            Sudah tiga hari aku mengurung diri  di kamar. Membaca kembali pesan-pesan kami yang masih tersimpan di ponsel. Bunda mengetuk pintu kamar dan masuk dengan wajahnya yang kuyu. Aku tahu bunda memikirkanku yang sedang sedih ini. Berulang kali bunda menyemangatiku. Memintaku untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Namun kembali berdiri setelah jatuh berulang-ulang tidak akan semudah itu, kan?

            “Mandi, Nduk. Ada yang nyari kamu di luar,” ucap bunda pelan. Kemudian bunda keluar tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Dengan lesu aku pergi ke kamar mandi. Berusaha mandi secepat mungkin agar tamu itu tidak menunggu terlalu lama.

            Tante Tati, Mama Ardi adalah tamu yang dimaksud bunda. Beliau tersenyum saat melihatku berjalan ke ruang tamu. Sedangkan bunda tak nampak, mungkin saja masih membuatkan minum di dapur. Aku duduk di sebelahnya, salim lalu menunduk menghindari tatapan beliau.

            Mataku memanas saat Tante Tati memelukku. Perasaan sesak yang menusuk-nusuk dadaku sejak berhari-hari lalu meluap seketika. Aku menangis kencang, mengutarakan semua rasa sakit yang terpendam rapat-rapat. Tante Tati juga sama, beliau ikut menangis. Tersedu-sedu juga, hanya saja sebentar kemudian Tante Tati mengusap air mata kami. Aku masih ingin menangis, tetapi Tante Tati menegakkan tubuhku.

            “Afra, tante kemari mau minta kamu mengemasi semua barang Ardi,” kata Tante Tati. Aku terkesiap. Memundurkan badanku seketika dan memandang Tante Tati bertanya-tanya.

            Aku menggeleng, ingin cepat-cepat pergi dari sana, tetapi bunda mencekal tanganku. Tatapan matanya menyuruhku untuk segera mengemasi barang-barang dari Ardi. Menuruti permintaan Tante Tati. Tidak, aku tidak mau, tetapi tiba-tiba Tante Tati memohon, beliau baru saja ingin berlutut. Namun aku cepat-cepat menahan bahunya. Akhirnya mau tidak mau aku harus melakukannya.

            Dua kardus besar penuh dengan barang-barang dari Ardi. Masih ada beberapa sebenarnya, tetapi aku berjanji pada Tante Tati akan segera mengantarkan barang-barang itu ke rumahnya besok. Beliau hanya mengangguk dan tersenyum sedih ke arahku.

            “Bukannya Tante perhitungan sama kamu, Nduk. Ini semua demi kebaikan kita, to. Kamu itu masih muda, cantik. Banyak laki-laki yang bakal seneng sama kamu. Mungkin Ardi bukan jodohmu. Kita ikhlaskan saja ya, Nduk. Berat memang, tapi mau gimana lagi. Tante juga masih berusaha, Nduk.” Aku tahu Tante Tati membujukku atas permintaan bunda. Aku juga tahu semua kata-katanya benar, tetapi melupakan Ardi tidak segampang ini.

            “Semakin banyak barang pemberian Ardi yang kita pakai, kita pasti semakin sulit mengikhlaskannya.” Bunda menimpali perkataan Tante Tati. Entah mengapa aku merasa mereka berdua seakan menyuruhku cepat-cepat melupakan Ardi. Aku tidak bisa!

            Tante Tati menyodorkan sebuah foto yang dibalik di atas meja. Aku tidak tahu itu foto siapa. Aku memandang Tante Tati dengan pandangan bertanya. Ekspresi Tante Tati dan Bunda tiba-tiba berubah serius.

            “Ini keponakan Tante. Sepupunya Ardi. Kamu mungkin bisa kenalan sama dia,” ucap Tante Tati. Aku terkesiap. Mataku memanas. Lalu memandang ke arah dua perempuan paruh baya itu dengan pandangan tidak percaya. Ardi baru saja meninggal dan mereka sudah mencoba menjodohkanku dengan laki-laki lain yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya.

            Aku menggeleng, berusaha berdiri dari sofa yang kududuki dengan langkah terseok-seok. Kembali ke kamar untuk mengambil ponsel dan dompetku lalu berlari keluar rumah. Bunda berteriak kencang sekali saat melihatku masuk ke dalam taksi. Namun aku masih bersikuku pergi. Hatiku sakit, tidak tahu bagaimana jalan pikiran dua perempuan paruh baya itu.

            “Mas Bisma, tawaran dua minggu lalu buat gue masih berlaku nggak?” Aku menghubungi Mas Bisma dengan pikiran yang masih kalang kabut.

            “Masih, Fra. Kenapa? Lo ada saran siapa yang harus berangkat?” tanya Mas Bisma.

            “Gue yang bakal berangkat. Gue mau jadi reporter di sana. Cuma tiga bulan, kan?” Aku mencoba meyakinkan Mas Bisma. Kepala Divisiku itu berulang kali mengatakan aku gila. Mencoba memutuskan sambungan telepon beberapa kali tetapi kembali kutelepon lagi.

            “Mending lo dinginin otak lo dulu deh, Fra. Gue takutnya keputusan lo ini cuma gara-gara kebawa emosi. Bukannya lo yang nolak mati-matian dua minggu lalu. Terus sekarang lo sampe mohon-mohon gini,” balas Mas Bisma.

            Aku menghela napas. Jelas saja dua minggu yang lalu aku tidak mau diberangkatkan ke daerah konflik. Dua minggu yang lalu masih ada Ardi yang sudah berjanji akan segera pulang untuk melamarku. Jadi wajar saja aku tidak mau pergi, angan-anganku sudah terbang jauh. Sejauh aku berpikir akan segera menikah dengan laki-laki itu dan punya anak-anak yang lucu.

            “Enggak! Gue udah pikirin mateng-mateng. Gue yang bakal berangkat!” Kumatikan sambungan telepon itu dan segera mematikan ponselku. Menghindari bunda yang pastinya khawatir. Melewati pemakaman tempat Ardi bersemayam aku meminta sopir taksi berhenti dahulu. Namun aku tidak turun, aku takut kehilangan akal jika aku pergi ke sana.

            Lima menit kemudian aku meminta sopir taksi untuk segera membawaku ke bandara. Aku akan kembali ke Jakarta. Kuambil penerbangan tercepat agar segera bisa bersiap-siap untuk penugasanku ke Syria. Jangan tanya kenapa tiba-tiba aku berubah pikiran. Kabur ada di daftar nomor satu jalan hidupku setelah ini. Kabur dari semua luka yang ada di tempat ini.

            Aku tidak pernah tahu seperti apa keadaan di sana. Aku bahkan belum memberi tahu bunda. Namun keputusanku sudah benar-benar bulat. Anak-anak kantor pun seketika riuh setelah mendengar Mas Bisma mengumumkan bahwa aku, Raima Afra yang akan menjadi reporter edisi khusus di daerah konflik selama tiga bulan.

            “Gue enggak pa-pa, it’s okay. Calm down. Gue cuma butuh suasana baru aja. Pasti gue bisa nyibukin diri di sana, kan.” Kata-kata andalan yang selalu aku ucapkan saat orang-orang bertanya alasanku mau ditugaskan ke sana. Aku hanya tersenyum kecut saat kembali mengingat masa lalu.

            Malam-malam di apartemen kuhabiskan untuk menyusun barang-barang yang akan kubawa. Lalu menuliskan list apa saja yang akan aku lakukan di sana. Kemudian menonton film-film yang selama ini belum sempat kutonton. Tiga hari tanpa tidur setidaknya menjadikan wajahku tampak seperti monster sebelum aku berangkat ke sana.

            “Kita ke Antakya dulu, Fra. Gak bisa langsung masuk Syria. Lo siap-siap ya, jangan bawa barang banyak-banyak.” Mas Bisma tiba-tiba memberi tahuku lewat pesan yang dikirimkannya. Namun aku tak menghiraukannya. Justru aku menambah satu koper lagi, kali ini kuisi dengan makanan yang mungkin saja akan kubutuhkan di sana.