Kurir Serendipity

Kurir Serendipity

ruwimeita

4.9

Semua orang menyukai Park Jimin saat dia meneriakkan kata ‘Paket!’ 

Tentu saja itu karena bungkusan yang dipegangnya. Hal Itu tidak menjadi masalah bagi cowok kelahiran Busan, Korea Selatan itu. Dia senang melihat orang-orang berlari padanya dengan senyuman di wajah. Membawa penantian bahkan kejutan membuatnya seperti Sinterklas tanpa memandang bulan dan musim. Tentunya versi Sinterklas yang jauh dari imajinasi. Park Jimin tidak mengendarai kereta rusa yang bisa terbang, hanya motor honda star yang bahkan klaksonnya tidak berbunyi sehingga dia harus memasang bel sepeda yang berbunyi ting. 

Selama dua tahun kuliah di ISI sekaligus melakukan kerja paruh waktu sebagai kurir di Yogya selama setahun membuatnya lebih kreatif. Park Jimin memiliki tiga teriakan andalan yang membuat orang-orang tidak hanya tersenyum pada paket namun juga pada dirinya. Teriakan pertama dinamainya teriakan musim semi yang bisa dipraktekkan saat pemilik rumah kebetulan berada di luar rumah. Sebenarnya ini tidak mirip teriakan sebab Park Jimin menyuarakan “Permisi, ada paket,” dengan nada rendah dan lembut. Efek teriakan ini sanggup membuat si pemilik rumah menoleh dengan senyum yang mirip musim semi. 

Teriakan kedua dia namakan teriakan satoori yang cocok dipakai saat rumah dalam keadaan tertutup rapat atau hujan lebat sehingga penghuni rumah tidak bisa mendengar teriakannya. Park Jimin akan memaksimalkan suara dalam volume penuh lalu meliukkannya dengan dialek satoori khas Busan yang terdengar aneh namun justru sangat efektif membuat pemilik rumah keluar. 

Teriakan ketiga sangat manjur digunakan saat kondisi kedua menjadi parah misalnya suara anjing pemilik rumah ribut hingga mengaburkan suaranya, atau hujan menjadi lebih garang, atau pemilik rumah membunyikan suara musik yang sangat keras. Kondisi yang abnormal juga membutuhkan teriakan yang tidak biasa. Park Jimin harus mengeluarkan senjata pamungkas.

“Lachimolala!” 

Teriakan ini semacam mantera untuk memanggil pemilik rumah dan anehnya selalu berhasil. 

Namun ada satu rumah yang tidak membutuhkan ketiga teriakannya. Rumah istimewa itu searah dengan kosnya di daerah Jalan Imogiri. Setiap tiga kali dalam seminggu Park Jimin menjemput paket di sana. Hari ini tepat tepat 100 hari Park Jimin menjadi kurir langganan pemilik rumah itu. 

Park Jimin memarkir sepeda motornya di depan pintu berpagar cokelat. Dia berjalan ke arah pintu pagar yang dilengkapi dengan interkom. Itulah sebabnya rumah ini disebutnya istimewa sebab sekian lama tinggal di Yogya Park Jimin tidak mendapati rumah yang memiliki interkom. Dia tersenyum ke arah interkom lalu terdengar suara klek. Pagar terbuka dengan sendirinya lalu tangan Jimin mendorongnya. Setelah menutup pagar kembali Jimin berjalan ke halaman yang lumayan luas dan kosong. Jimin melambai ke arah CCTV di atas lampu taman sambil memutar badannya dengan gerakan yang luwes. Dia melangkah kembali lalu berhenti untuk menembakkan jari berbentuk hati ke arah CCTV di sudut yang lain. Dia tahu seseorang sedang mengawasinya. 

“Tiga paket ya, Nuna,” kata Jimin mengecek tiga kotak berbungkus kertas pola batik. Lalu Jimin membuka amplop yang diletakkan di atas paket dan memastikan isinya. Dia mengangguk saat tahu uangnya cukup. 

“Ah, mereka meletakkan kardus sembarangan.” Jimin mendorong empat kardus besar dan merapikannya tepat di samping pintu. Kakinya tidak sengaja menendang bungkusan kresek. Tangannya meraihnya hendak meletakkannya di atas kardus. Namun dia tersenyum saat mendapati secarik kertas bertuliskan,”Aku tidak suka peyek, ambillah.”

“Untukku? Omo! Peyek kacang kesukaanku,” Jimin segera membuka plastik peyek itu dan memakannya. Matanya yang sipit segera membola. “Woaa daebak!” serunya.

“Nuna tahu nggak? Kemarin aku sudah mulai les tari Jawa klasik. Berkat side job darimu aku bisa bayar les yang mahal itu. Uh hanya karena aku orang asing bayarannya beda. Tapi mau gimana lagi. Tari klasik itu susah banget. Kuliah di ISI tidak cukup dan aku butuh pelajaran tambahan. Oh ya, Nuna mau lihat apa yang kupelajari?” 

Park Jimin menggeleng dengan lembut lalu membuat gerakan kepala yang patah sambil bergumam,”Noleh kanan, noleh kiri, nyoklek kanan, nyoklek kiri, pacak gulu.”

Jimin menggigit peyeknya lagi lalu melanjutkan obrolannya,“Sunbaeku, Hoseok hyung pernah kuliah di sini. Dia berkata padaku jika kamu ingin menguasai rasa, irama, dan stamina dengan baik belajarlah tari Jawa klasik. Aku hanya mengikuti perkataannya. Tahu nggak, Hoseok hyung sudah jadi penari profesional. Dia daebak tiga ribu kali.”

Matanya memandang ke interkom. Tidak ada tanggapan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Dia seperti bermonolog. Jika ada orang yang melihatnya pasti mereka berpikir Jimin sudah sinting. Namun dia tidak peduli. 

“Wis yo, Nuna, aku mulih sik Terimakasih peyeknya.”

Jimin mengambil paket dan berbalik.

“Kenapa kamu tidak mengatakannya hari ini?” suara itu berasal dari interkom. Jimin tercenung. Itu kalimat terpanjang yang didengarnya selama 100 hari. 

“Heh?”

“Lachimolala,” lanjutnya dengan suara yang ragu. 

Senyum Jimin terkembang. Tidak pernah dia tersenyum selebar itu.

*** 

Pardi Telo memandang Jimin dengan tatapan tidak percaya lalu melahap tempe mendoan di depannya. Nasi pecelnya sudah tandas sejak tadi. Dia disebut Pardi Telo sebab dia berjualan ketela di Pasar Telo Karangkajen. Selain juragan ketela dia juga pemilik kos-kosan yang disewa Jimin.

“Itu kalimat terpanjang yang kudengar darinya. Dan peyek itu? Itu tandanya selama ini dia mendengar omonganku. Aku pernah bercerita kalau aku suka peyek,” Jimin menyuap peyek pemberian Youra setelah mencelupkannya ke sisa sambal pecel di piringnya. Setiap dia rindu Korea dia memilih makan nasi pecel yang mirip bibimbap itu. 

“Jimin, semua orang-orang di dekatnya sudah menyerah. Jangan besar harapan nanti kamu kecewa. Youra, cewek itu punya agoraphobia dan kamu bukan psikiater.” Pardi Telo tahu semua tentang Youra sebab dia dulu teman SMAnya. Pardi telo umurnya tiga tahun di atas Jimin itulah sebabnya Jimin memanggil Youra dengan nuna. 

“Sewaktu reuni SMA mereka membicarakan kesuksesan Youra sebagai desainer yang sudah go internasional. Heh siapa sangka gadis populer, cantik, kaya dan berbakat sepertinya akan berakhir seperti ini,” lanjutnya. Youra menolak keluar rumah selama hampir dua tahun sebab serangan kepanikan menimpanya setiap dia berada di keramaian. Konon kabarnya penyebab fobianya karena dia pernah menjadi saksi penusukan orang di jalan dan tiga bulan setelahnya dia mengalami kecelakaan saat berkendaraan bersama orangtuanya. Dia hanya mengalami luka ringan sementara kedua orangtuanya meninggal. Sejak itu Youra tidak pernah sama. 

“Masih ada harapan. Aku yakin tiga ribu kali.”

“Bagaimana kalau seharusnya sepuluh ribu kali?”

Jimin mengedipkan sebelah matanya,”Aku bisa mencari kekurangannya.”

Jimin ingat bagaimana dia berakhir jadi kurir langganan Youra. Dia mengantar paket ke rumah itu dan mendapati teras penuh beberapa kardus paket lain. Ada kardus besar dan berat yang diletakkan di ujung teras dan tanpa disuruh Jimin menyeretnya lebih dekat ke pintu, menata semua paket agar lebih mudah diambil pemilik rumah. Saat itulah dia mendengar suara Youra memintanya untuk jadi kurir langganan yang bertugas menjemput paket. Jimin mengiyakannya. Sesekali Youra juga meminta Jimin untuk berbelanja keperluan bulanan dan meletakkannya di teras. 

“Sekarang Hyung bisa jelaskan kenapa dia memilihku jadi kurir langganan padahal banyak kurir yang mengantarkan paketnya?”

Pardi Telo tertawa mengejeknya. “Jangan ge-er. Youra sudah putus asa karena pembantunya pulang kampung dan tantenya hanya menengoknya sesekali. Dia menolak semua orang.”

“Bagaimana kalau dia memutuskan untuk mulai memercayai orang lain?”

“Jangan mimpi!”

 “Tak apa bermimpi. Lagipula ngomong sendiri di teras rumahnya bisa membuatku tenang.”

“Wong edan.” Pardi Telo memiringkan telunjuk di dahinya,”Sudahlah, tambah lagi nasi pecelnya supaya pikiranmu beres. Aku traktir. Teloku laku semua hari ini.”

Jimin tersenyum lebar sambil membentuk hati dengan jarinya ke arah Pardi. 

 ***

Hari itu Jimin baru datang ke rumah Youra saat petang sebab dia masih harus les menari. Saat sampai di teras dia terkejut. Paket-paket bergelimpangan dan sudah tidak berbentuk. Baju-baju berhamburan keluar dari kotaknya. Kardus belanja bulanan yang diantarnya pagi tadi sudah tidak ada isinya. 

“Apa yang terjadi?” kata Jimin di depan interkom. Tidak ada suara.

 “Nuna tidak apa-apa?” seru Jimin. 

Sama sekali tidak ada suara. 

Jimin menjadi ketakutan. Apa terjadi sesuatu dengan Youra?

“Aku akan telepon polisi.”

Saat Jimin mengeluarkan ponselnya terdengar suara napas dari interkom,”Berandalan itu..”

Jimin menoleh. Menunggu.

“Mereka melompat pagar…” suara Youra pelan dan tersendat. 

“Tak usah panggil polisi…”

“Uangnya…”

“Diambil…”

Lalu setelah itu dia tidak melanjutkannya lagi. Jimin sudah bisa membayangkan apa yang terjadi. 

Park Jimin mengumpulkan kertas dan kardus paket yang berserakan. Tangannya memungut kebaya lurik yang dipadu dengan brokat. Jimin terpukau. Lalu dia memungut kebaya lain yang lebih bernuansa mewah. Kainnya dari kain organdi yang dibordir dengan ornamen bunga-bunga. Jimin mengerang saat melihat sudut kebaya yang robek. Jimin melipat semua baju dan memasukkannya ke kardus yang sudah terbuka, meletakkannya di depan pintu. Jimin menoleh ke interkom.

“Aku akan berjaga di sini. Bisa saja mereka kembali,” kata Park Jimin. “Aku  berlatih kendo selama 8 tahun. Punya sabuk hitam taewondo. Nuna, kamu bisa memercayaiku.”

Jimin melirik pada kebaya di teras,”Nuna, selama ini aku selalu bertanya apa isi paket yang Nuna kirim, ternyata isinya indah banget. Nuna pasti membuatnya sendiri ya?”

Tidak ada suara. Bahkan suara napas pun tidak. 

“Cewek-cewek yang ikut les tari biasanya pakai kebaya dan jarik. Mereka menari seperti ini.”

Jimin mengambil posisi mendak, meliukkan badannya ke kiri dan kanan dengan lembut. Lehernya macak gulu dengan gemulai. Namun dia berhenti melakukannya saat tukang nasi goreng lewat.

“Nuna lapar? Aku beliin nasi goreng ya.” Tanpa menunggu persetujuan, Jimin memesan nasi goreng. Dia meletakkan bungkusan di depan pintu lalu melahap nasi gorengnya sendiri. 

“Kenyang!” kata Jimin sambil menepuk-nepuk perutnya. “Nasi goreng itu keajaiban Indonesia yang tak akan kulupakan,” lanjutnya sambil terkekeh. Lalu Jimin mulai bermonolog seperti yang biasa dia lakukan. Dia bercerita tentang teman-temannya, hewan peliharaannya, dan mimpinya yang ingin mendirikan sekolah tari di Korea. Sama sekali tidak ada respon dari Youra. Jimin memakluminya.

“Nuna,” kata Jimin dengan suara rendah. “Sejak lama aku ingin bertanya padamu. Kenapa waktu itu Nuna memintaku menjadi kurir langganan?”

Jimin menunggu meski dia tahu tidak akan ada jawaban. Tak sadar malam semakin larut. Jimin bersyukur kain jarik yang dipakainya menari bisa digunakannya sebagai selimut. Setelah melihat-lihat video tari Bedhaya Kusuma Wilayajana di youtube dia jatuh tertidur. Tengah malam Jimin mendengar suara. Matanya terbuka sedikit. Dia melihat tangan terulur dari pintu, mengambil bungkusan nasi goreng dan menggantinya dengan selimut. Gerakan tangan itu lincah sekali seakan dia terbiasa menarik barang dengan cepat. Jimin tersenyum dan melanjutkan tidurnya. 

***

Matanya silau saat pagi datang. Dia tidak menyangka tidur di teras bisa senyaman ini. Segera dia melipat jariknya. Matanya melirik ke arah selimut di depan pintu. Dia mendekatinya dan baru sadar ada secarik kertas di atasnya.  

“Serendipity,” baca Jimin. Dahi Jimin mengerut lalu memandang interkom. “Maksudnya apa?” 

Tidak ada jawaban. Jimin mengangkat bahu lalu mengambil tasnya. Pada saat itu terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Jimin membacanya.

“Aku putus asa dan berharap serendipity hadir namun aku terlalu takut. Waktu itu tanpa disuruh kamu merapikan kardus-kardus paket dan menatanya di dekat pintu. Rasanya seperti kebetulan, seolah kamu sudah mengenalku. Aku baru sadar bahwa serendipity happened lewat kamu. Itu sebabnya aku memintamu menjadi kurir langganan. Tidak hanya sekadar untuk menjemput paket namun juga untuk menolongku. Aku ingin tidak lagi takut.”

Jimin terpana. Youra menjawab pertanyaannya semalam. Dia mungkin tidak bisa mengucapkannya. Namun pesan ini sudah jauh dari cukup bagi Jimin. 

Jimin menoleh ke arah interkom, “Kamu berharap menemukan kebetulan yang bisa menolongmu? Aku bisa jadi serendipity. Aku ingin Nuna mempercayaiku dan dunia meski sepertinya tanpa harapan. Sekarang aku mungkin tidak tahu bagaimana menolongmu namun aku akan cari jalan. Nuna tidak akan takut selama mengizinkanku berdiri di sampingmu.” Jimin membentuk hati dengan kedua tangannya,”Lachimolala.” 

Tidak ada suara dari Youra. Jimin maklum. Semua harus dilakukan pelan-pelan. Dia pun memasang ransel di punggung dan berbalik.

“Tunggu,” kata Youra. Jimin berdiri terpaku. Menunggu di depan interkom.

“Apa arti lachimolala?”

“Oh itu mantera yang bisa membuat orang keluar dari rumah.”

“Lachimolala,” bisik Youra. Jimin tersenyum lebar. Entah kenapa lachimolala dari Youra terdengar seperti harapan di telinga Jimin.