Kumpulan Kisah Natal

Kumpulan Kisah Natal

Tara Lee

0

‘TIM!’

‘Loui!’

‘Eri!’

‘Graham!’

Teriakan-teriakan kelelawar, suara gedebukan anak-anak yang berlarian ke lantai dua sontak bergema di ruang tamu yang kosong. Ya, kosong. Semua perabotan di ruang tamu, dan ruang keluarga telah disingkirkan, menyisakan ruang kosong semacam mini hall. Hanya terdapat karpet menutup hampir seluruh lantai ruangan, dua pohon natal di sisi kanan, kiri perapian, terakhir, meja panjang membelah ruang keluarga dengan dapur.

Persiapan perayaan Natal sudah hampir selesai. Jessica dan suaminya, Bram, menjadi keluarga terakhir yang dijemput Mari untuk perayaan Natal keluarga besok. Memang, setiap Natal seluruh keluarga dari pihak Mama selalu pulang untuk merayakan Natal bersama.

Seluruh keluarga.

Bahkan mereka yang tinggal di luar negeri pun menyempatkan untuk pulang. Itu pula jawaban kenapa banyak anak berlarian di rumah Mari.

Mari menjatuhkan kunci mobil di mangkok marmer putih di samping pintu lalu melangkah masuk rumah. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Rumah terlalu sepi, jadi di mana monster-monster yang membuatnya stres selama beberapa hari terakhir ini? satu-satunya petunjuk adalah teriakan-teriakan ketika Mari masuk rumah, tapi sekarang semuanya sunyi.

Sunyi dari suara bocah-bocah.

Melongokkan kepala ke dapur, Mari tidak heran ketika melihat dapur cukup berantakan. Rupanya Mama, dan para sepupu belum selesai membuat persiapan untuk makan malam besok. Aroma wangi jahe menguar dari dua oven di pojok ruangan. Minggu Natal adalah minggu-minggu yang super sibuk, terutama jika kau berasal dari keluarga besar.

‘It’s unusually quiet,’ komentar Jessica begitu masuk rumah. Sama seperti dirinya, Jessica juga terheran-heran dengan tingkat kesunyian rumah.

‘The scariest part about those kids being too quiet is only meant trouble,’ cebik Mari.

Bram tertawa. ‘Kau benar soal itu.’

‘Look, who’s finally home?’ seru Julie. wanita itu mengitari meja dapur, dan menghambur ke pelukan kakaknya, Jessica.

‘It’s good to be home,’ Jessica mengangguk, ketika akhirnya Julie melonggarkan pelukannya.

‘Hai, Bram,’ Mama melambai dari depan kompor.

‘Hai, Auntie!’

Mama dengan cepat melambai ketika Bram akan mendekat. ‘Nanti saja.’

Bram mengangguk, lalu mendapat giliran dipeluk Julie.

‘Sepertinya Vancouver cocok denganmu,’ komentar Julie sambil meneliti Bram dari ujung rambut hingga ujung kaki.

‘It’s a great city,’ Bram mengedikkan bahu.

Ding

Julie bergegas kembali ke dapur ketika mendengar alarm oven berdenting. Mematikan oven, Julie kembali ke meja dapur untuk menghitung kukis di depannya, dan memasukkan ke dalam stoples. Sedangkan Jessica dan Bram keluar melalui pintu samping menuju kamar pribadinya.

Mari mencomot satu kukis yang berada di loyang yang lain, memperhatikan Mama dan sepupunya bekerja.

‘Hitungannya benar Auntie,’ kata Julie pada Mama seraya mengangkat stoples yang penuh kukis jahe. Mama mematikan kompor, lalu berbalik menghadap meja dapur, keningnya berkerut mendengar ucapan Julie.

‘Kenapa?’ tanya Mari penasaran, ia menatap Julie, dan Mama bergantian.

‘2 stoples kita hilang,’ jawab Mama.

‘2 stoples hilang?’ ulang Mari memastikan. Kehilangan 2 stoples kukis jahe? Ada-ada saja. Mari menelan sisa kukisnya sebelum bertanya lagi. ‘Maksudnya ada 2 stoples yang hilang?’

‘Seharusnya sudah ada 12 stoples, tapi 1 stoples kukis lemon, dan 1 cokelat hilang,’ jelas Julie.

Mari menatap Julie, dan stoples di tanganya bergantian. ‘Kok konyol, sih? Kalian tidak salah hitung?’

‘1 loyang untuk 1 stoples Mari, masa kita salah hitung sampai seloyang?’ tanya Julie tidak sabar.

Mari mengangkat bahu. Tapi tetap saja, ide kehilangan dua stoples kukis ini benar-benar konyol kecuali…

Dari ekor matanya, Mari menangkap empat bocah berjingkat turun. Tim, dan Louisa berjalan dengan gaya yang aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Mari menyeringai, sepertinya ia sudah memecahkan misteri hilangnya dua stoples kukis. Mari terus memperhatikan keponakan-keponakannya di seberang ruangan. Tidak ada satupun dari mereka yang memasang wajah bersalah, semuanya justru berbinar ceria. Belum sempat Mari berkomentar, empat bocah kembali turun, kali ini mereka tidak terlalu berusaha untuk berjalan sepelan mungkin. tapi begitu sampai di belakang Eri, dan Graham, mereka ikut mengendap-endap masuk ke dapur.

Tim dan Louisa meletakkan kedua stoples di depan Julie yang sedang memasukkan sisa kukis ke dalam stoples. Julie mengangkat alis ketika kedua anak kembarnya meletakkan stoples kosong, tapi sebelum ia sempat berkata sesuatu, Tim dan Louisa membungkuk dalam diikuti yang lain.

‘Gram,’ panggil Tim, masih dalam posisi membungkuk.

Mama yang sedang meletakkan loyang ke dalam oven menoleh ketika mendengar namanya dipanggil sang cucu. Sama seperti Julie, kening beliau berkerut dalam saat mendapati 6 cucunya sedang membungkuk dalam di depan konter dapur.

‘Thank you very much for the treat,’ tambah Tim.

‘Tai hao ci la, Gram!’ Eri menambahkan dengan memuji betapa lezat kukis tersebut.

Julie memegang stoples yang di tangannya erat-erat. Mungkin Tim merasakan bahaya dari sang ibu jadi ia berdiri tegak, nyengir lebar sebelum terbirit-birit—diikuti yang lain—meninggalkan dapur.

‘Timothy Lee! Louisa Lee! Come back down here!’ teriak Julie geram.

‘I swear Mom! Your cookies are the best!’ balas Tim berteriak dari balkon lantai dua.

‘Well, kukis kalian ketemu…. Atau lebih tepatnya stoplesnya kukis yang ketemu,’ kata Mari sambil menahan tawa.

Mama tidak berkomentar apa-apa, hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan cucu-cucunya, sedangkan Julie, hampir keluar asap dari kedua telinganya.

‘Anak-anak itu memang lebih baik ribut daripada tenang,’ komentar Julie sambil melanjutkan mencetak kukis.

‘Aku memang sudah curiga ketika mendapati rumah sangat tenang, cuma tidak menyangka mereka yang mencuri kukis,’ Mari tertawa. Ia mengambil sebuah kukis lagi sebelum mendorong tubuhnya untuk berdiri tegak. ‘Well, mereka akan tenang kalau tidur, kan?’

‘Oh, good luck with that, Mari,’ kata Michelle.

Mari tertawa sambil meninggalkan dapur sambil berteriak. ‘Kids, waktunya mandi dan tidur—’

Empat balita berlari—hanya satu yang memakai popok, yang lain telanjang bulat—ke ruang tamu dikejar oleh pengasuh masing-masing. Bayi-bayi itu meninggalkan cetakan kaki dari bedak, sambil tertawa gembira ketika para pengasuh memanggil nama mereka dengan putus asa.

Dasar bayi.

***

‘Look! Cool isn’t it?’ seru Tim, kebanggaan kentara terdengar di suaranya.

‘Ge! Wo bu hui , zhen me ban?’ Graham bertanya kenapa ddirinya tidak bisa melakukan hal yang sama dengan Tim.

‘Nah, wait until you grow up!’ kali ini Xiao Chan yang menjawab.

Satu alis Mari terangkat ketika mendengarkan pembicaraan ketiga keponakannya yang sedang mandi. penasaran, Mari meninggalkan Louisa, Eri, dan Angela yang masih sibuk memilih, dan saling memamerkan baju tidurnya, lalu melongokkan kepala ke kamar mandi.

What is in the name of holy heaven happening in here?

Mari ternganga ketika melihat ketiga keponakan laki-lakinya berdiri di dalam bathtub, dengan gembira sedang memutar-mutar….

Tim yang merasakan kehadiran Mari mendongak sambil nyengir lebar.

‘Auntie, look, isn’t it cool? I got my own helicopter!’

Mari menghela napas dalam. Anak-anak zaman sekarang benar-benar menakutkan, ya?

‘Guys, you can’t play with your…. willy,’ Mari menunjuk bagian bawah tubuh anak laki-laki tersebut. Sebelum anak-anak protes atau bertanya Mari segera menambahkan. ‘Hurry up, the girls also need shower.’

Graham dan Xiao Chan dengan segera menuruti perintah Mari, namun Tim sepertinya punya ide sendiri, karena anak itu tidak berhenti bermain-main.

‘Willy the heli!” seru Tim.

Oh, God.

‘Come on Tim, have respect with your body and play no more, it’s getting late,’ perintah Mari setelah kembali ke kamar mandi dengan setumpuk handuk bersih dan celana tidur.

‘Ew! Tim you gross!’ jerit Louisa sambil membanting pintu kamar mandi. ‘Oh, my poor eyes, Auntie!’

Mari menghela napas dalam, menggelengkan kepala. Respek yang setinggi-tingginya untuk para pengasuh karena sanggup menghadapi kekacauan semacam ini setiap hari. Ia bahkan masih bisa mendengar histeria Louisa,

‘Kau dengar itu?’ kata Mari. Ia meletakkan handuk dan celana tidur di wastafel lalu bersedekap. ‘Tim, kau membuat kakak kembarmu trauma,’

Tim mencebik sambil meraih gagang shower untuk membilas dirinya sendiri. ‘Auntie, she’s drama queen, no surprise there.’

Mari tidak berkomentar, lalu memberikan handuk pada Xiao Chan.

‘Whoa buddy, here,’ Mari mengangsurkan celana tidur pada Xiao Chan sebelum anak laki-laki tersebut keluar kamar mandi. Hal terakhir yang ia butuhkan adalah, anak-anak perempuan menjerit kalau mendapati Xiao Chan kembali ke kamar dengan telanjang. ‘You have to be decent in front of ladies,’

Akhirnya, acara mandi—yang diselingi insiden willy si helikopter—berakhir. Untungnya, anak-anak gadis tidak perlu drama ketika mandi, selain masing-masing membasuh diri sebanyak 3 kali karena saling mencoba sabun mandi satu sama lain. Selebihnya? Damai.

Terima kasih Tuhan.

Mari menutup pintu kamar, menghembuskan napas lega. Setelah acara mandi yang penuh drama, sangat luar biasa mereka berenam bisa mendengarkan buku yang ia bacakan dengan tenang dan sekarang? Mengecup setiap anak, mengucapkan selamat malam, Mari berencana untuk menghadiahi dirinya sendiri dengan berleha-leha.

‘Monster-monster itu sudah tidur?’ tanya Theo, sang adik, sambil melepas dasinya, agaknya ia baru pulang dari kantor. Mari mengangguk.Theo menambahkan ‘Aku sudah mendengar dari Mama apa yang mereka lakukan dengan kukis.’

‘Oh, itu belum seberapa,’ erang Mari, terpikir olehnya untuk menceritakan mengenai Tim dan willy si helikopter ketika terdengar teriakan dari dalam kamar.

‘Auntie! Lou membuang Mr Whisker!’

‘Timmy menendang Miss Pott!’

Here we go, again.