Kontrak Pernikahan Istri Sewaan

Kontrak Pernikahan Istri Sewaan

MeliseisDhemewa

5

 “Bismillahirrahmanirrahim. Hai, Dimas Prasetyo, saya nikahkan dan kawinkan anak kandung saya Ayyara Arista Putri binti Arman Saputra dengan Ananda. Dengan emas kawin berupa cincin emas seberat sepuluh gram dan seperangkat alat Shalat dibayar tunai!” ucap seorang lelaki paruh baya yang adalah ayah kandung si mempelai wanita.

 Merasa sudah gilirannya menyahut ucapan dari ayah calon istrinya, si mempelai lelaki pun menimpali. “Saya terima nikah dan kawinnya Ayyara Arista Putri binti Arman Saputra dengan emas kaw—

 “Hentikan pernikahan ini! Hentikan! Saya sebagai istri sahnya merasa tidak pernah memberi izin suami saya untuk menikah lagi!” potong seorang wanita yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka sambil menjerit penuh amarah. Lantas, wanita itu berjalan dengan cepat ke arah pelaminan, di mana pasangan pengantin sedang berdampingan akan dinikahkan. “Oh, jadi ini yang kamu sebut dinas ke luar kota, Mas?! Hebat kamu, Mas, hebat! Kamu izinnya pergi kerja, eh malah nyatanya mau nikah lagi! Astaga! Mana wanita yang buat kamu lupa diri! Si pelakor yang tak tahu diri itu?! Oh, ini?! Aduh, Mbak, kamu itu masih muda. Masih cantik, kenapa harus menikah dengan suami saya?! Emangnya nggak ada yang lain? Atau jangan-jangan karena harta suami saya?! Astaga, jangan-jangan orangtuamu yang mengajarimu untuk mengambil hak orang lain! Percuma punya wajah cantik kalau hatimu busuk, Mbak!”

 “Udah-udah, Mah, jangan buat keributan di sini. Ayyara tidak salah, aku yang salah karena telah membohonginya.” Dengan cepat si mempelai lelaki menarik lengan wanita itu menjauhi pelaminan.

 “Emangnya aku bodoh, Mas! Itu hanya akal-akalan kamu saja, kan, agar si pelakor itu tidak kena hujat! Karena aku tahu, orang macam apa dia!” Wanita itu kembali menjerit, sambil mengentak tangannya.

Lalu, wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah si mempelai wanita yang tengah tertunduk malu. “Dasar pelakor! Kalau pengen harta, ya, kerja dong! Jangan cari lakik kaya raya tapi suami orang!” jeritnya makin tersulut emosi, bahkan hendak berlari ke arah pelaminan. Mungkin akan melakukan sesuatu pada si mempelai wanita, tetapi dihentikan oleh si mempelai lelaki.

 “Udah, Mah, udah. Aku ngaku salah. Aku minta maaf. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Sekarang, ayo kita pulang. Kita bicarakan ini di rumah saja. Jangan di sini, malu dilihatin orang-orang,” bujuk si mempelai lelaki yang kembali menarik istrinya.

 “Malu?! Kamu masih punya malu, toh, Mas?! Setelah apa yang akan kamu lakukan?!” ejek wanita itu, yang bersikeras tetap berada di tempat. Bahkan, wanita itu kembali menatap ke arah si mempelai wanita sambil melipat kedua lengannya di depan dada.

 Si mempelai lelaki terdiam sambil menundukkan kepalanya. Mungkin dia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat untuk dikatakannya pada wanita di hadapannya, sampai suara dehaman seseorang mengentak mereka berdua.

 “Maaf, Mas, Mbak, sebaiknya kalian berdua pulang. Selesaikan masalah ini baik-baik di rumah. Untuk masalah pernikahan, kalian juga pasti tahu pernikahannya batal. Jadi, mohon pengertiannya,” kata seorang bapak yang ternyata adalah penghulu.

 Si lelaki mengangguk tanpa mengatakan apa-apa, sedangkan si wanita terlihat masih enggan pergi, tetapi si lelaki kembali menarik lengannya. “Ayo, Mah. Kita pulang saja, toh aku tidak jadi menikah lagi,” katanya, tanpa bersalah.

 “Tidak jadi menikah lagi?! Kalau aku nggak datang ke sini, kamu pasti udah nikahin si pelakor itu, kan!”

 “Ayolah, Mah … aku benar-benar minta maaf. Aku nggak akan mengulanginya lagi. Sekarang, mari kita pulang,” kata si lelaki, kembali membujuk si wanita.

“Oke! Kita pulang. Kita akan bicarakan masalah ini di rumah, tapi nggak ada jaminan rumah tangga kita akan tetap bertahan,” ucap si wanita sayup-sayup, sebelum keduanya masuk ke dalam mobil, lalu melaju meninggalkan tempat yang seharusnya menjadi pesta pernikahan.

 Sementara si mempelai lelaki telah pergi dengan wanita yang diduga istrinya, Ayyara si mempelai wanita masih tertunduk malu. Dan lama-lama, ia tak bisa menahan desakan air matanya yang sejak tadi dibendungnya. Dan ia pun menangis tanpa suara.

 “Udah, Nak, udah … Ayah tahu kamu bukan orang yang dituduhkan wanita itu. Ayah percaya sama kamu,” kata seseorang yang ternyata adalah Arman, ayah kandung Ayyara.

 “Yah, maafkan Yara. Karena Yara, Ayah dan Ibu jadi malu. Yara benar-benar nggak tahu kalau Mas Dimas sudah memiliki istri. Kalau Yara tahu, tentu saja Yara nggak akan sampai ke hari ini,” ucap Ayyara, dengan tangisannya yang terdengar menyayat hati.

 “Iya, Ayah percaya sama kamu, Nak,” kata Arman, sambil menghapus lelehan air mata Ayyara.

 “Iya, Nak, Ibu juga percaya sama kamu. Jadi, jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri,” sahut wanita, yang tiba-tiba memeluk Ayyara dari belakang.

 “Tapi, Yah, Bu, orang-orang pasti lebih percaya dengan omongan wanita tadi. Secara, dia adalah istri sahnya Mas Dimas,” kata Ayyara, yang mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan benar saja, orang-orang yang tadinya ingin menyaksikan acara ijab qabulnya, kini terlihat sedang bergunjing.

Mungkin sedang membicarakan kejadian tadi—istri Dimas yang tiba-tiba datang, lalu menghentikan proses pernikahan mereka, pikir Ayyara kembali menundukkan kepalanya. Merasa hari ini adalah akhir dari segalanya. Bukan hanya tentang reputasinya saja, tetapi nama baik kedua orangtuanya pun ikut dipertanyakan.

Sebab Ayyara sangat yakin setelah kejadian ini, ia dan keluarganya pasti akan menjadi bahan gosip dan hujatan semua orang, terutama tetangga mereka. Lalu, sebutan pelakor, akan benar-benar menjadi nama lain selain nama aslinya.

 “Udah. Jangan pikirkan omongan orang-orang, toh kamu tidak salah.” Lina, ibu Ayyara masih tetap menguatkan anaknya.

 “T—tapi, Bu—

 “Mohon maaf sebelumnya, saya harus menyela pembicaraan Bapak dan Ibu, tapi karena pernikahan anak Bapak dan Ibu tidak jadi dilaksanakan, maka saya hendak pamit undur diri. Namun sebelum saya pergi, saya ingin memberi saran pada Bapak dan Ibu tentang masalah ini. Saya lihat, mantan calon suami anak Bapak telah melakukan sebuah tindak penipuan. Bapak bisa melaporkannya pada pihak yang berwajib, itupun jika Bapak dan keluarga menginginkannya,” celetuk penghulu.

 Mendengar apa yang dikatakan penghulu, Ayyara dan kedua orangtuanya tampak terdiam lama. Sampai kemudian, Ayyara menggelengkan kepalanya, yang menandakan jika ia atau keluarganya tidak akan melakukan tindakan yang disarankan.

 “Tidak, Pak. Biarkan masalah ini berakhir sampai di sini saja. Karena saya dan keluarga tidak ingin berurusan dengan lelaki itu lagi. Sekali lagi, saya dan keluarga, hanya bisa pasrah, dan mudah-mudahan kejadian ini tidak menimpa orang selain saya,” kata Ayyara lirih, berusaha menghentikan tangisannya.

 Penghulu itu mengangguk sambil menghela napas pelan, lalu tersenyum prihatin. “Aamiin. Kamu yang kuat, ya, Nak. Jangan sampai setelah kejadian ini, kamu malah trauma dengan laki-laki. Ingat, di dunia ini tidak semua laki-laki sama, contohnya saya. Saya laki-laki baik loh, dan bertanggung jawab. Jadi, jangan putus asa. Malah dengan kejadian ini membuktikan kalau Allah SWT sangat sayang sama kamu, Nak. Buktinya, kebohongan laki-laki itu terungkap di saat yang tepat. Coba kalau tidak terungkap, apa jadinya kamu kalau sudah sah menjadi istrinya? Allahualam,” ucapnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, penghulu itu kembali menghela napas pelan. “Karena saya tidak ada kepentingan lagi di sini, saya undur diri. Assalamualaikum.” Setelah mengatakan itu, penghulu itupun pergi meninggalkan Ayyara dan kedua orangtuanya.

 Setelah penghulu pergi, Ayyara hendak dibawa ibunya masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, sebelum mereka sampai di dalam rumah. Keduanya mendengar gunjingan para tetangga yang menyaksikan kejadian tadi.

 “Ish … aku nggak sangka lho si Yara jadi pelakor. Pantes aja kalau pulang kerjanya malem terus, ternyata main belakang sama lakik orang. Amit-amit punya anak kayak dia.”

Salah satu tetangnya memulai gunjingan mereka. Yang langsung ditimpali tetangga yang lainnya dengan semangatnya. Sampai-sampai, gunjingan mereka terdengar keras oleh orang yang sedang mereka bicarakan.

 “Iya yah … padahal wajahnya terlihat polos, eh tahunya Cuma kedok doang. Kayak yang lagi ngetrend itu, kukira kamu cupu ternyata suhu. Hahaha ….”

 “Wajah polos mah bukan jaminan, Buk, tahu sendiri kalau ada motif tertentu. Ih, amit-amin jangan sampai si Ana niru kelakukan dia. Mau disimpan di mana mukaku ini kalau tiba-tiba digerebek istri sah calon suaminya.” Wanita bergamis merah itu tampak mengelus dada.

 “Eh, Nindi, kamu jangan main sama si Yara lagi. Kalau ketahuan, Mama akan pindahin kamu ke Bandung, biar tinggal sama Om dan Tantemu,” sahut wanita lainnya, yang kebetulan bersama dengan anaknya yang usianya sebaya dengan Ayyara.

 “Dipaksa main pun ogahlah, Ma. Bisa hancur reputasiku main sama pelakor.” Anak wanita itu menjawab dengan suara keras, seolah-olah sengaja agar Ayyara mendengarnya.

 Sementara para tetangga masih asyik bergunjing, Lina yang tertunduk malu, tetap membawa Ayyara masuk ke dalam rumah. Sampai, mereka benar-benar berada di dalam kamar Ayyara yang dihias sedemikian rupa. Khas kamar pengantin. Apalagi di bagian pojok kamar terdapat barang-barang seserahan yang dibawa Dimas, juga beberapa kado dari teman-teman kerjanya.

 Melihat pemandangan itu tentu saja membuat dada Ayyara menjadi sesak. Seolah-olah, ada benda tak kasat mata tengah mengimpit dadanya.

 “Bu, maafkan Yara. Karena Yara, nama Ibu dan Ayah jadi jelak dan jadi bahan omongan tetangga,” ucap Ayyara sedih, sampai-sampai ia ingin menangis lagi, tetapi ia tahan.

 Lina menggelengkan kepalanya, lalu menarik Ayyara dalam pelukannya. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Lelaki itu yang jahat. Yang telah menipu kita. Jadi, Ibu mohon jangan salahkan diri kamu sendiri,” ucapnya, mencoba menenangkan anak satu-satunya.

 “T—tapi, Bu—

 “Benar yang dikatakan Ibumu, Nak. Kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Lebih baik kamu lupakan kejadian ini demi masa depan yang lebih baik lagi,” potong Arman, yang tiba-tiba sudah berada di belakang mereka.

 Tak tahan dengan yang dikatakan kedua orangtuanya, Ayyara pun tak bisa lagi menahan tangisannya. Dan ia pun menangis saat itu juga. Tentunya masih dalam pelukan ibunya. Namun tak lama setelah itu, ia melepaskan diri dari pelukan ibunya. Menarik diri ke belakang. Lantas, menghapus lelahan air matanya di kedua pipinya.

 “Yah … Bu … Yara ingin pergi merantau ke Jakarta. Mungkin, dengan melakukan itu, Yara bisa melupakan kejadian tadi,” kata Ayyara, dengan ekspresi serius.

 Mendengar apa yang dikatakan anaknya, tentu saja membuat kedua orangtuanya sempat tertegun dan saling bertatap-tatapan satu sama lain. Namun tak lama kemudian, kedua orangtuanya kembali menatap ke arahnya sambil mengangguk secara bersamaan.

 “Iya, Ayah dan Ibu mengizinkan kamu pergi ke Jakarta, tapi kamu mau pergi ke tempat siapa?” Arman bertanya.

 “Kebetulan Yara punya alamat Leni yang sudah lebih dulu berada di Jakarta. Karena itulah Yara berani ke sana,” jawab Ayyara.

 “Leni? Leni anaknya Pak Marno?” sahut Lina.

 Ayyara mengangguk. “Iya, Bu, Leni yang itu.”

 “Oh, kalau Leni, Ibu percaya karena kenal sama dia juga. Yang penting, kamu harus jaga diri. Ingat, Jakarta itu kota besar. Jangan sampai kamu salah pergaulan.” Lina menasihati Ayyara.

 Ayyara kembali mengangguk. “Iya, Bu. Yara pasti akan mengingat pesan Ibu dan Ayah. Kalau begitu, Yara mau siap-siap dulu, karena mau langsung berangkat hari ini juga,” katanya.

 “Hah, berangkat hari ini?! Apa tidak terlalu cepat?” Lina terlihat syok.

 “Udahlah, Bu, biarkan saja Yara berangkat hari ini juga. Toh, kamu tahu sendiri bagaimana tetangga-tetangga kita,” sahut Arman.

 Mendengar ayahnya mengatakan itu, Ayyara pun kembali merasa sangat beruntung memiliki ayah sepertinya yang selalu mendukung keputusannya. Dan, ia merasa beruntung juga memiliki ibu seperti ibunya, yang memiliki hati lembut serta penuh kasih sayang.

 “Sekali lagi Yara minta maaf sama Ay—

 “Udah-udah. Lebih baik kamu bersiap-siap, nanti Ayah dan Ibu antar ke terminal,” potong Arman.