Komitmen

Komitmen

Dila Sawhana

5

“Aktif di whatsapp bisa. Pasang status bisa. Diajak ngomong bareng nggak mau. Bisa ya mainin perasaan orang kaya gini?”

Teriakan Decka membuat Arya melepaskan kembali helm yang baru saja dipakainya. Tangis Decka pun pecah setelah mengeluarkan unek-unek yang sudah lama dipendamnya. Decka sudah tidak tahan lagi dengan hubungannya yang berantakan sejak satu bulan lalu. Meski satu kantor, Arya tidak ada insiatif untuk memperbaiki hubungan mereka.

Panik melihat Decka menangis, Arya langsung melihat ke sekeliling parkiran kantor yang kosong. Arya pun membawa Decka duduk untuk berteduh dan menenangkan diri.

“Udah nangisnya?” tanya Arya dengan lemah lembut.

“Maksud kamu apa sih, Mas? Mau kamu tuh apa?” teriakan Decka membuat pipinya semakin memerah.

“Ngomongnya bisa pelan-pelan, kan?” Arya mencoba untuk berbicara pelan meski sebenarnya jengkel dibuat seperti itu oleh Decka. Syukurnya parkiran kantor sepi karena orang-orang sudah pulang dari sejam yang lalu.

“Udah sebulan Mas kamu ngehindar dari aku.”

Arya terdiam sejenak. Dia mencoba mengatur nafasnya, lalu ia menatap mata Decka yang sudah memerah sejak tadi, “maaf kalau kamu ngerasanya seperti itu. Mas nggak ada maksud apa-apa. apalagi mainin perasaan kamu, Cha. Mas ada aja kan di kantor?”

“Kalau ada masalah tuh cerita, Mas. Aku kan jadi bingung kamu ngilang gitu aja nggak ada ngabarin aku sama sekali.”

“Hapus dulu air mata kamu. Aku nggak mau liat kamu nangis cuma buat cowok jahat kaya aku.”

“Mas ngomong apaan, sih?” suara Decka mulai melemah.

“Nggak semua masalah bisa aku ceritakan ke orang lain, Cha.”

“Terus Mas anggap aku apa?”

“Cha, jangan bikin aku panas.”

“Kalau memang Mas nggak bisa diganggu. Setidaknya Mas ngabarin,” suara Decka mulai meninggi kembali padahal ia sedang menahan tangisnya.

“Aku minta maaf, Cha. Kalau kamu terlalu maksa aku gini. Aku yang akan mundur.”

“Mas, apaan sih?” kali ini suara Decka mengeras memenuhi parkiran.

“Itu kan mau kamu? Itu yang mau kamu dengar dari aku, kan?” Arya tidak mau kalah mengeraskan suaranya.

“Aku nggak ada ngomong kaya gitu, Mas!”

“Maaf, Cha. Semoga kamu dapat yang lebih baik dari aku.”

“Mas! Dengerin aku dulu!”

Arya tidak lagi memedulikan teriakan dari Decka. Meski teriakannya kali ini semakin kencang dari sebelumnya. Arya menarik resleting jas hujan sembari berjalan ke parkiran yang tidak jauh dari tempat mereka berteduh.

“Mas Arya!” panggil Decka sekali lagi, berharap cowok itu mendatanginya kembali.

Panggilan Decka tidak membuat Arya mematikan mesin motornya. Dia hanya bisa melihat Decka dari kaca spionnya. Sebenarnya ia tidak bisa melihat Decka menangis dan memohon seperti barusan. Namun, jika semakin Arya bersama Decka dalam kondisi seperti ini ditakutkan ia akan kasar pada wanita yang sebenarnya masih ia sayang itu.

oOo 

Pertengkaran yang terjadi seminggu lalu itu tiba-tiba hadir dalam ingatan Decka. Kantor menjadi tempat yang menyebalkan bagi Decka sejak saat itu. Berusaha untuk biasa-biasa saja di depan banyak orang tidaklah mudah. Berusaha tertawa padahal tidak ada yang ditertawakan sangat menyakitkan. Ketika pulang ke rumah pun Decka tidak bisa menumpahkan kesedihannya begitu saja karna ada orang tua yang perlu dijaga hatinya untuk tidak mengkawatirkan anak gadisnya.

Orang yang diharapkan menjadi tempat ternyaman untuk pulang ternyata menjadi menyeramkan. Waktu memang terasa berjalan begitu cepat, tapi tidak mudah bagi Decka untuk tidak menghubungi Arya. Namun Decka berhasil melakukannya. Di kantor pun ketika berpapasan dengan Arya, Decka tidak lagi menyapanya duluan. Jika itu yang dimau oleh Arya, akan Decka lakukan hal tersebut sesuai apa yang diminta.

Baru saja misi untuk tidak menghubungi Arya berhasil dilakukan. Sekarang Decka sudah masuk dalam perangkap Arya setelah membaca status whatsapp. Namun menurut Decka status tersebut sengaja dibuat oleh Arya dan hanya Decka yang bisa melihatnya. Jari-jari Decka pun dengan lancarnya membalas status itu, “terima kasih untuk 7 bulannya. Semoga dapat yang lebih baik dari aku ya, Mas.”

oOo