Koma

Koma

Irubii

0

Tuhan tidak hanya menciptakan mulut dan tangan. Namun, Tuhan juga menciptakan hati, otak, telinga dan mata. Berkata dan bertindaklah setelah kamu berpikir, setelah kamu menggunakan hatimu, setelah kamu melihat dengan jelas serta mendengarnya hingga akhir. Tidak peduli seberapa besar rasa bencimu. Tidak peduli seberapa besar amarahmu. Tidak peduli seberapa besar rasa kecewamu. Tidak peduli seberapa besar rasa sakit hatimu. Namun, kita semua adalah manusia. Manusia yang memiliki otak untuk berpikir, hati untuk menjaga otak kita tetap waras, telinga untuk mendengarkan hingga akhir, mata untuk melihat dengan baik bukan hanya dengan telinga. Manusia yang memiliki jiwa dan raga. Manusia yang juga bisa tersakiti.

Terima kasih untuk kalian yang tetap mencoba berdiri hingga saat ini. Terima kasih untuk kalian yang tetap bertahan sejauh ini. Terima kasih kepada kalian yang tetap berusaha melangkah, walau dengan tertatih. Terima kasih untuk kalian yang telah berusaha membuatku tetap berdiri walau akhirnya aku tetap terjatuh. Terima kasih.

Ini menggangguku, ini membuatku menangis. Aku hanya ingin bebas. Aku hanya ingin terlepas. Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Tiara. Tiara. Tiara. Berkali – kali bahkan berpuluh – puluh kali, namun aku tidak ingin membalasnya, karena aku terlalu lemah, karena ku segera ingin menghilang.

Sekali lagi tidak berhasil, pikirku sambil melihat pergelangan tanganku yang telah dibalut perban. 

Aroma ruangan yang khas ini tidak akan pernah aku lupakan. Bagaimana aku bisa melupakannya ketika salah satu orang yang aku cintai pun mati di tempat dengan aroma seperti ini. Aku mendengar seseorang menghela napasnya. Mataku berusaha mencari sumber suara, dan aku menemukannya. Seseorang yang sudah berkali – kali membuatku tetap terjaga dan selalu kembali ke dunia ini. Menatapku tanpa berkata.

Kamu membuatku takut akan dunia ini. Kamu membuatku risau dalam melangkah, namun kamu juga yang membuatku menemukan setitik cahaya. Bolehkah aku berjalan medekati cahaya itu? Aku hanya berharap ini ceritaku, duniaku, dan itu adalah ceritamu, duniamu, dan tidak ada kaitkannya dengan diriku. Namun, itu hanyalah harapanku, bukan harapanmu. Harapanmu kita dapat berbagi. Harapanmu kita dapat mengalir seperti air, mungkin air yang kita bicarakan sama, namun derasnya air yang kita bayangkan berbeda.

Aku mencabut abbocath yang masuk di tangan ini dan membiarkan beberapa tetes darah mengalir. Kalau kalian berpikir ketika kalian diinfus yang menetap di dalam pembuluh darah kalian adalah jarum, kalian salah, yang ada di dalam pembuluh darah kalian hanya selang kecil yang merupakan bagian dari alat medis, bernama abbocath. Namun, kalian pasti berpikir, kenapa sakit ketika diinfus? Jawabannya karena memang ada jarum yang membantu selang kecil itu masuk ke dalam pembuluh darah kalian, namun hanya sebatas membantu, tidak menetap.

Kakiku turun dari kasur ini dengan cepat dan berjalan keluar. Aku tidak ingat aku harus menggunakan alas kaki, yang aku ingat aku hanya harus pergi secepatnya dari tempat ini. Aroma tempat ini terlalu menusuk, dan membuat kenangan-kenangan itu kembali terulang.

“Tiara”

Aku mendengarnya memanggilku sekali lagi. Ah, sekarang tahun 2020, tahun dimana semua orang wajib memakai masker. Tahun dimana umurku akan menginjak 23 tahun, tapi sekarang aku masih 22 tahun.

Kalau kalian berpikir aku adalah eksekutif muda yang setiap harinya memakai kemeja atau dengan jas kalian salah. Kalau kalian berpikir aku adalah seorang karyawan, kalian pun juga salah. Kalau kalian berpikir aku adalah seorang pengangguran, kalian tidak salah, tapi tidak benar juga. Kalau kalian berpikir aku hanyalah seorang lulusan SMA. Kalian sangat salah. Tapi, disaat kalian bertemu denganku pertama kali, dan kalian berpikir aku seorang pelajar, kalian tidak salah, karena badanku yang kecil bahkan tidak sampai 150cm.

Tiba-tiba aku merasa pergelangan tanganku ditarik. “Tiara!”

Ya, dia memanggilku sambil menarik pergelangan tanganku mengisyaratkan aku harus berhenti. Suaranya tidak keras, justru tegas namun lembut, cukup membuat aku tersadar dan kembali pada dunia nyata. 

Aku mengedarkan pandanganku, mataku melihat sekeliling. Mata, salah satu indera yang ada di tubuh kita yang banyak orang salah gunakan, mungkin. Aku memastikan satu hal, aku menjadi pusat perhatian, bahkan sekarang disampingku ada satpam yang berseragam lengkap berwarna biru gelap. Kalau dipikir – pikir tidak aneh aku menjadi pusat perhatian, bagaimana tidak, aku dengan tangan yang masih ada bekas darah mengalir, tidak mengenakan alas kaki, dan bahkan sekarang ada seorang perawat yang menghampiriku. Menawarkanku untuk kembali ke tempat tidur karena aku belum diperiksa oleh dokter lagi, dan dokter juga belum mengizinkanku pulang. Namun, aku jawab dengan penolakan, aku hanya ingin segera pergi. Akhirnya perawat itu menyerah, menghapus bekas darah di tanganku dan menutupnya dengan plester.

“Tunggu di sini” suara berat itu mengatakan 3 kata sambil menyuruhku untuk tetap diam, duduk manis. 

Aku sudah tidak menjadi pusat perhatian, aku sudah berada di bangku besi ruang tunggu di depan kasir dan apotek. Aku memperhatikan diriku sendiri yang terlihat sungguh kacau. Dress tidur dengan noda kecokelatan, dan sepertinya noda ini berawal dari darah yang basah, kemudian mengering. Kedua kakiku dingin karena aku tidak memakai alas kaki apapun, disaat yang sama itu juga ada sepasang sendal slop berwarna hitam yang ia letakkan di depanku. Aku memakai sendal itu. Ini miliknya, aku yakin, karena ukurannya terlalu besar untukku.

Tiga kata yang sama dan suara berat yang sama, ‘tunggu di sini’, membuatku kembali teringat bagaimana Tuhan mempertemukan aku dengan dirinya, 2 tahun yang lalu. Aku yang pada saat itu menggunakan kemeja berwarna putih dengan celana bahan berwarna cokelat muda memasuki sebuah kafe yang sudah ramai dengan pengunjung. Rata-rata pengunjung di sini selalu sibuk dengan diri sendiri dan laptop mereka. Tangan yang menari di atas keyboard, mata yang tertuju pada layar yang bercaya menandakan mereka sedang sibuk, dan seperti ada kata ‘jangan ganggu aku’ di depan mereka.

Aku sudah duduk dengan tenang di kursiku. Berniat mengeluarkan laptop ketika ada pramusaji yang berjalan ke arahku, aku pikir itu pesananku. Namun, aku tidak tau kenapa tiba-tiba pramusaji itu terjatuh dan minuman yang dia bawa membasahi sebagian kemeja dan celanaku, dengan cepat aku segera berdiri.

“Maaf” itu kata yang terlontar pertama dari mulut pramusaji itu sambil dirinya membereskan kekacauan yang ada. Ya, saat itu aku menjadi pusat perhatian. Aku berniat untuk pergi. Namun, ada orang lain di dekat mejaku, dan dia berkata “Tunggu di sini”. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Anehnya aku tidak kenal dirinya, tapi aku tetap mengikuti perintahnya, dan kembali duduk dengan tenang.

Aku pikir dia juga pramusaji disini, pakaian yang dia kenakan sama dengan seseorang yang saat ini sedang membersihkan lantai di dekatku. Kaos berkerah berwarna abu-abu bertuliskan “Sagara”, nama kafe ini dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam. Dia kembali, dan ternyata dia membawa handuk kecil berwarna putih sambil berkata “sebelumnya saya mohon maaf, namun, anda bisa menggunakan ini, atau anda ingin berganti baju? Saya bisa pinjamkan kemeja saya, mungkin akan kebe-”

“tidak apa-apa” aku memotong pembicaraannya.

“terima kasih” ucapku sambil mengambil handuk yang dia bawa, dan melanjutkan perkataanku “tidak apa – apa, aku hanya akan menunggu pesananku, dan sepertinya aku akan pulang, bisa minta tolong untuk jadi take away saja?”

Dia hanya menjawab dengan anggukkan, bertanda dia setuju. Setelah menunggu sekitar 5 menit, dia kembali, dengan plastik yang sudah berisi minumanku. Aku mengembalikan handuknya, dan mengambil pesananku. Saat di dalam mobil aku tersadar, tidak hanya ada pesananku, ada secarik kertas berwarna kecokelatan dengan logo laut berwarna hitam di dalam plastik itu.

‘mohon maaf atas ketidaknyamanannya, silahkan datang kembali, akan aku buatkan yang spesial’

Di bagian bawah kertas itu ada tiga huruf, apakah itu namanya? Mungkin dia membubuhkan namanya di bagian bawah kertas itu sehingga aku bisa kembali datang dan mencarinya. Benar, aku kembali, apakah karena tiga huruf itu aku jadi kembali lagi? Atau aku hanya tidak tahu aku bisa kemana? Tapi, aku benar kembali dan selalu datang kembali ke kafe itu. Entah untuk menyelesaikan tugasku, sibuk dengan benda berbentuk kotak yang dapat dibuka dan tutup ini, atau hanya untuk bertemu dengan dirinya.

Akhirnya aku tahu, dia adalah pemilik kafe ini. Kafe yang ternyata belum lama berdiri ini. Kafe yang bernuansa cokelat muda yang memberikan ketenangan. Kafe yang mejanya selalu penuh dengan orang, namun anehnya tidak membuat kafe ini terlihat sesak.

Sedangkan aku? Aku adalah seseorang sarjana yang gelarnya tidak bisa aku pakai. Kalian bisa menebak pekerjaanku itu apa? KOAS. Aku tidak tahu bagaimana cara mengejanya dengan benar aku juga tidak tahu apakah itu termasuk pekerjaan atau bukan, sepertinya bukan. Namun ya, aku adalah co-assistant atau yang orang sering bilang dengan dokter muda. Lulusan sarjana, yang tidak memiliki penghasilan, justru harus tetap mengeluarkan uang untuk keperluan ini dan itu, dan juga masih harus menempuh hidup panjang untuk dapat bergaji. Tidak, aku tidak mengeluh, aku hanya lelah, berpikir kapan ini berakhir. Tunggu sebentar, seorang calon dokter, juga manusia bukan?