Konon, ada perempuan yang mampu membuat burung-burung berjatuhan dari udara . Hingga hari ini, aku merasa ungkapan itu omong kosong. Kota NanLu, tempat asalku, terkenal dengan kecantikan-kecantikan perempuannya. Menemukan perempuan cantik di pasar atau toko sudah sangat biasa. Bahkan, Permaisuri Raja Qi pun berasal dari NanLu.
Gadis-gadis cantik juga bisa ditemui dengan mudah di Sekte Poros Langit, NanLu. Sekte yang unggul dua puluh tahun belakangan ini memiliki siswa-siswi yang mengagumkan. Tidak hanya tampan dan cantik, mereka juga putra-putri hartawan dan bangsawan. Maklumlah, Sekte Poros Langit merupakan pendukung Kaisar bahkan sejak beliau belum naik takhta.
Jadi, ketika aku mendengar, di XiLing ada kecantikan tak tertandingi, aku hanya memutar mata, tak percaya. Mana mungkin, di daerah tandus dan bergurun pasir begini, bisa ada wanita cantik?
“Eh, Adik Kecil. Kau mungkin menganggap aku berbohong. Tapi, kau bisa melihatnya sendiri nanti. Penginapan Lembayung Awan yang kaucari itu punya pemilik yang sangat ... amat ... cantik!” Pria gendut di sebelah menepuk-nepuk bahuku. Aku sedikit merasa terganggu. Di Negeri Qi yang beradab, perilaku akrab seperti ini tidaklah beretika. Aku sendiri sering ditendang jika berani mendekati salah satu murid sekte. Pantas saja, tak ada yang mau berangkat ke XiLing. Kalau salah satu dari kaum beradab itu disuruh minum-minum di warung untuk menanyakan jalan, pastilah mereka muntah sampai mati.
Pria berjenggot kambing di kiri meneguk araknya dengan barbar, “Kaubilang siapa namamu? Wen Ning? Wen Biao? Wen Shu?”
“Wen Chang’an.”
“Oh,” dia beserdawa begitu keras, “Ngomong-ngomong, kau begitu kecil, kurus dan mulus. Dilihat-lihat, kau pastinya seorang tuan muda yang manja ....”
Cih, seandainya itu benar.
“Untuk apa kau datang ke daerah XiLing ini?” pria gendut itu bertanya.
“Ketua kami hendak mengadakan pesta ulang tahun akbar. Dia menyuruhku mengirimkan undangan,” kataku, berusaha menjelaskan sesingkat-singkatnya.
“Oh. Karena itulah, kau mencari Penginapan Lembayung Awan?” tanya pria gendut, “Kalau begitu, ketuamu itu rupanya ingin mengundang Wan Mei Daniang?”
“Benar.”
“Luar biasa! Luar biasa!” Pria gendut berdecak, “Kukira, reputasi Pendekar Kecapi Lekah hanya besar di XiLing. Rupanya, namanya juga terdengar sampai Negara Qi.”
“Langit tidak buta. Rupanya, jerih payah Wan Mei Daniang menolong orang-orang telah masyhur juga!”
Aku mengangguk-angguk. Padahal, hingga saat ini, aku belum pernah mendengar nama Pendekar Kecapi Lekah. Memangnya, siapa yang bisa memainkan melodi dengan qin yang cacat, untuk bertempur pula? Si Cantik Wan Mei, Pendekar Kecapi Lekah, agaknya julukan orang ini sudah keterlaluan!
“Sebenarnya, dari manakah Wan Mei Daniang ini?” tanyaku penasaran.
Pria gendut itu mengetuk dagunya, “Hm ... untuk hal ini, agaknya LaoFu mengetahuinya. Ayo, ceritakanlah, LaoFu!”
Pria jenggot kambing yang dipanggil LaoFu itu menjawab, “Kalau tidak salah, Wan Mei Daniang dari Kerajaan Qi juga. Dia sering bilang, Orang Qi adalah orang paling berengsek sedunia. Cih, padahal dia sendiri orang Qi.”
Pria Gendut tertawa terbahak-bahak, “Wan Mei Daniang tak pernah menceritakan asal-usulnya. Setahuku, dia ke sini hanya membawa kecapi itu. Dia bilang, kecapi itu hadiah, satu-satunya peninggalan ayahnya. Aku ingat, saat itu, dia sangat pemarah. LaoFu ini sering dihajarnya.”
LaoFu terkekeh, “Biar bagaimana pun, kita jadi lebih dihargai sejak kedatangan Wan Mei Daniang. Wanita cantik terpelajar begitu sudah menarik banyak tamu ke mari. Untungnya, dia selalu menolak lamaran dari pria yang ingin melamarnya.
“Wah, ternyata begitu,” kataku berbasa basi.
Pria gendut itu kini bertanya, “Anak Muda, ketuamu telah mengirim kau jauh-jauh kemari. Siapakah nama ketuamu itu dan dari sekte manakah kau berasal?”
“Ketuaku bermarga Gu. Nama beliau Xuanwu. Aku berasal dari Sekte Poros Langit di NanLu.”
“Sekte Poros Langit,” pria gendut itu mengurut dagu. Dia memandangku sekilas, lalu berkata, “Seingatku, Wan Mei Daniang tidak pernah memiliki urusan dengan perguruan itu. Untuk apa ketuamu mengundang Daniang, ya?”
“Tidak tahu.”
“Sungguh aneh.”
Kini, LaoFu tampak waspada. Matanya yang tadi tidak fokus berkilat marah. Aku tidak pernah menyangka, pria tua pemabuk ini bisa terlihat menakutkan begini. Pukulannya langsung berusaha menjangkauku. Dia membalik meja, menyerangku tiba-tiba.
“Ada apa ini?”
“Gu Xuanwu! Berani-beraninya! Bajingan berengsek itu!” serangan-serangan pria itu semakin tajam. Dengan ilmu pas-pasan yang kumiliki, aku langsung babak belur. Aku jatuh dengan sukses. Mataku berkunang-kunang. Sesaat lagi, kupikir, aku akan pingsan.
Lalu, suara perempuan itu terdengar. Suara sungguh merdu hingga aku mengira dia sedang menyanyi. Mendengar suara perempuan itu, orang-orang kasar ini segera berhenti memukuliku.
Sialan, seandainya aku diajarkan ilmu yang lebih mumpuni, dumalku dalam hati. Tulang-tulangku seperti mau lepas. Aku mencoba bergerak, sekadar ingin tahu, dari manakah suara penyelamatku itu.
“LaoFu, janganlah terlalu keras. Anak Muda ini masih hijau,” suara merdu ini mendadak terdengar mendekat. Aku terpana. Dalam sadar dan tidak, kulihat sosoknya berkelebat, sedikit-sedikit. Lenggak-lenggok pinggulnya yang gemulai. Dadanya yang penuh menggoda. Wajahnya yang terlalu indah untuk dilukiskan.
“Cecunguk ini pengikut si bedebah itu. Lebih baik, kau segera membunuhnya!” LaoFu berkata dengan nada amat marah. Kepalaku semakin pusing, aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka lagi.
Yang kutahu, aku melihat mata bak phoenix berkilau itu. Jantungku berdetak dengan cepat. Lalu, aku pun pingsan, tak tahu apa-apa lagi.
*
“Namamu Wen Ning? Wen Biao? Atau Wen Shu?”
Sial! Apakah namaku benar-benar sulit diingat? Dasar orang-orang kasar yang bodoh, dumalku dalam hati.
“Saya bermarga Wen. Nama saya Chang’an.” Ralatku sambil berharap kalau perempuan ini bisa lebih cerdas dari orang-orang kasar tadi.
“Oh,” perempuan itu menanggapiku dengan ketenangan luar biasa. Sialan sekali! Dia bahkan tidak mengonfirmasikan namaku lagi.
Aku ingin marah. Tapi, mulutku kering. Kepalaku pusing dan berat. Aku sampai mengira, aku sedang bermimpi. Masalahnya, apa yang dikatakan orang-orang tadi memang benar. Pendekar Kecapi Lekah itu memang memiliki kecantikan yang bikin hatiku seperti rontok. Apa-apaan ini? Wanita seperti ini seharusnya hidup di NanLu. Kurasa, dengan kecantikannya, menjadi Selir Pangeran pun bukanlah hal yang sulit. Dia pasti bisa hidup enak di sana.
Wan Mei mengambilkan mangkok obat untukku, lalu duduk di sebelahku. Dari sini, aku dapat melihat sepasang mata phoenix yang indah itu. Mendadak, aku merasa seperti menemukan setangkai bunga di atas setumpuk kotoran. Geli. Ingin kupetik segera lalu kupindahkan ke tempat lebih layak.
“Apa yang sedang kaulihat?” Wan Mei berkata.
“Tidak ... tidak ....” Aku gelagapan. Kuambil obat lalu kuteguk begitu saja. Rasa pahit obat itu segera menerjang lidah. Sesaat kemudian, aku langsung tersedak.
Wan Mei berdecak, “Dengan kungfu seburuk itu, kau datang dari NanLu ke Desa Bandit. Kau sungguh punya nyali.”
“Dan keberuntungan yang besar,” kataku asal. Ya, aku tak mungkin mengatakan keluh kesahku pada perempuan yang baru kukenal. Pria harus punya harga diri.
Salah satu alis Wan Mei terangkat. Dia menelitiku dari atas ke bawah. Dia mengembuskan napas dengan berat. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.
“Gu Xuanwu—Si Berengsek itu apa sekarang sudah kekurangan orang?” tanyanya.
“Apa?”
Wan Mei berdecak lagi, “Inginnya, sih ... kalau perguruannya bangkrut atau dia mati, aku mau segera sembahyang untuk berterima kasih pada langit. Tapi, sepertinya, hal itu tidak akan terjadi. Ya, kan?”
Wan Mei mencondongkan badannya kepadaku. Melihat Wan Mei dari jarak sedekat ini, rasanya sampai mataku juga mau rontok. Sialan betul. Aku menelan ludah dengan susah payah. Dia berkacak pinggang. Lalu, tawa renyahnya segera terdengar.
Rupanya, dia memang sengaja menggodaku.
“Mana undangannya?” Tanpa basa-basi, Wan Mei menyodorkan tangan kepadaku.
Dengan gugup, aku segera beranjak ke meja sebelah. Buntalanku tadi kulihat di sana. Heran. Meskipun nama ini Desa Bandit, rupanya mereka tidak mengambil barang-barang di buntalanku. Mungkin, ini karena sungkan pada Wan Mei? Entahlah. Pokoknya, aku bersyukur, barang-barangku tidak hilang.
Aku segera meraih sepucuk surat beramplop merah, lalu kuserahkan surat itu ke tangan Wan Mei. Tanpa berkata apa-apa, dia membuka amplop, membentangkan isinya, lalu membaca surat itu.
Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan isi surat itu. Namun, Ketua sudah memberi tahu berkali-kali untuk tidak membukanya. Daripada dihukum berat, aku memilih menahan rasa penasaran saja. Toh, itu hanya surat undangan. Paling-paling, isinya hanya basa-basi meminta kehadiran Wan Mei di pesta ulang tahunnya.
Yang aku tidak tahu, rupanya isi surat itu sanggup membuat orang marah sampai gemetar. Aku melihat bahu Wan Mei bergetar hebat. Lalu mata phoenix itu menatapku tajam, penuh tatapan ingin membunuh.
“Gu Xuanwu!” bibir merah Wan Mei terkatup rapat. Kilat kemarahan di matanya membuat sosok Wan Mei terlihat agak menakutkan.
“Eh, ada apa ini?” pertanyaan ini akhirnya terlontar dari mulut sialanku ini. Untungnya, alih-alih mengambil pisau dapur untuk segera mencincangku, Wan Mei hanya menarik napas, lalu duduk mengangkat kaki seraya berkipas-kipas.
“Pemuda Kecil,” lamat-lamat, Wan Mei berkata, “Apakah kau tahu apa yang ditulis ketuamu di surat ini?”
Aku menggeleng.
“Nih, baca,” Wan Mei menyerahkan surat itu, masih dalam keadaan marah. Penasaran, aku melihat surat itu lalu membaca huruf-huruf di dalamnya:
TANTANGAN DUEL.
Mulutku langsung terbuka seketika.
Ketua tidak salah menulis, kan? Surat tantangan, kok, bisa?
Tapi, aku sangat mengenali tulisan Ketua. Ini memang tulisannya. Dia juga sangat cermat. Tak mungkin salah menulis atau salah memasukkan surat. Semakin aku meneruskan membaca, semakin aku yakin kalau Ketua memang sedang mengajukan tantangan.
Jejak darah mengering di tanah.
Kelopak bunga tersembul di bebatuan.
Dendam lama telah terbalaskan.
Kini, cinta harus mendapatkan tambatan.
Hari ketiga, bulan keenam.
Gu Xuanwu menantang Wan Mei berlaga.
Jika menang, Gu Xuanwu bersedia bunuh diri.
Jika kalah, harap Wan Mei patuh masuk tandu pengantin ....
Ini benar-benar tidak bisa dipercaya!
Gu Xuanwu—Ketua Sekte Poros Langit itu ... selama ini dia terkenal sebagai pria mahadingin yang tidak pernah tertarik dengan wanita. Meski dia masih memiliki perawakan tampan nan gagah jelang usia empat puluh, dan para gadis silih berganti datang menggoda, Ketua ini hanya bergeming. Seolah-olah, apa yang ada di pikirannya selama ini hanya ilmu silat dan masalah-masalah dunia persilatan.
“Ini ... ini ... ini ....” Saking tidak percayanya, kubaca lagi tulisan itu berulang-ulang.
“Kenapa? Tunabaca, ya?” tanya Wan Mei dengan nada jengkel, “Apa perlu kubacakan?”
Aku menggeleng-geleng. Menyuruh Wan Mei membaca? Bagaimana kalau dia jadi khilaf lalu mencekikku?
“Tidak! Tidak! Tidak!” aku menggerak-gerakkan tangan. Badanku gemetar hingga hampir jatuh, “Saya ... saya baru membaca sekarang. Saya ini tidak tahu isinya, lho! Sumpah!”
Wan Mei menautkan alis. Pandangannya menelitiku dari atas ke bawah, “Sudah berapa lama kau bergabung dengan Sekte Poros Langit?”
“Kira-kira sepuluh tahun,” jawabku.
“Lumayan juga.”
“Saya dahulu berusia empat tahun saat dibawa ke sekte. Sebenarnya, saya dijual sebagai pelayan. Suatu hari, Ketua Gu melihat saya dirundung beberapa murid. Beliau kemudian menyuruh Guru Lin mengangkat saya menjadi murid. Dari Guru Lin, saya belajar membaca dan sedikit cara membela diri.”
Kata-kataku ini agaknya menggugah sesuatu dalam pikiran Wan Mei. Untuk sesaat, kulihat matanya berkaca-kaca ....
*
Dua puluh dua tahun lalu, Sekte Cermin Awan, NanLu.
Sekelompok anak-anak berlutut di depan seorang lelaki berambut abu-abu. Lelaki itu adalah Lan Xiren, Sang Ketua Sekte. Usianya mungkin tak lagi muda. Namun, ketegasan dan wibawanya masih bersisa. Hal inilah yang menakutkan anak-anak itu. Mereka tahu, sekali Lan Xiren membuka mulut di depan orang tua mereka, mereka akan mendapat hukuman lebih parah lagi di rumah.
“Kalian diajarkan ilmu silat bukan untuk menyerang kawan sendiri!” Lan Xiren memukulkan rotan di tangannya ke punggung anak-anak itu, “Sekte Cermin Awan adalah sekte lurus yang menegakkan keadilan! Kalian harus menanamkan ini baik-baik di kepala kalian! Tegakkan keadilan! Basmi kejahatan! Kenali lawan! Lindungi kawan!”
Beberapa pukulan kembali melayang ke para murid itu. Lan Xiren menarik napas. Dia lalu menyuruh anak-anak itu kembali ke kamar mereka.
“Ayah!”
Panggilan Lan Shuang menarik perhatian Lan Xiren. Gadis remaja empat belas tahun itu berlari-lari menghampirinya. Di bawah sinar matahari siang, sosok Lan Shuang terlihat begitu cerah, seolah berkilau-kilau. Gadis ini terlalu cantik untuk remaja seusianya. Lan Xiren sampai khawatir anak bungsunya ini akan dilamar sebentar lagi. Lan Xiren sangat tidak rela Lan Shuang keluar dari rumah dan tinggal di tempat orang lain.
“Ayah! Ada apa Ayah memanggilku?” tanya Lan Shuang segera.
“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin menanyakan keadaan Wu’er.”
Bibir Lan Shuang membulat. Dia menunduk dengan wajah memerah. Mata phoenix-nya menyipit sejenak, “Ayah tidak usah khawatir! Luka-luka Kakak Gu sudah membaik. Aku juga sudah membuatkan makanan yang enak buatnya!”
“Baguslah,” kata Lan Xiren. Dia mengelus jenggot, sesaat membayangkan sosok Golok Merah, Gu Jian. Sosoknya yang terlalu kuat telah menjadi ancaman bagi orang-orang dunia persilatan. Beberapa sekte berkoalisi menebarkan fitnah. Mau tidak mau, Lan Xiren akhirnya meluluskan permintaan para tetua sekte itu.
Gu Qian dieksekusi di depan umum. Setelah itu, istrinya bermaksud bunuh diri bersama putra tunggalnya. Untung saja, Lan Xiren datang saat anak itu masih bisa ditolong dari efek racun.
Lan Xiren tak ingin ketidak adilan yang sama menimpa Gu Xuanwu. Karena itulah, dia kemudian memungut pemuda itu, berharap Gu Xuanwu akan melupakan dendam dan hidup dengan baik di Sekte Cermin Awan.
Apalagi, putri bungsunya ini juga dekat dengan Gu Xuanwu. Beberapa kali, dia melihat Lan Shuang bermain bersama Gu Xuanwu. Lan Shuang memainkan kecapi qin, Gu Xuanwu berlatih pedang. Ketika Lan Xiren membawakan hadian kecapi qin baru, kecapi itu bahkan dinamakan 灵武–Kecapi Lingwu, memakai huruf sama dengan nama Xuanwu.
Gu Xuanwu ini sekarang yatim piatu. Kalau nanti mereka menikah, tentu Lan Shuang tak perlu lagi keluar dari rumah keluarga Lan. Tahun ini, Gu Xuanwu berusia delapan belas tahun. Dua tahun lagi, dia akan menyatakan maksudnya kepada pemuda itu. Dengan demikian, dia akan mendapat kesempatan bersama Lan Shuang dua tahun lagi. Ini solusi yang sangat baik!
Sayangnya, Lan Xiren tidak tahu, dendam tak bisa dipadamkan semudah itu ...
***
Malam itu, kebakaran besar terjadi di Sekte Cermin Awan. Kobaran api membubung mencapai angkasa. Di tengah-tengah bara kemerah-merahan itu, dua orang kini berhadap-hadapan.
Gu Xuanwu, dalam usia dua puluhnya, terlihat rupawan dan gagah. Rambut panjangnya berkibar halus. Di tangannya, tergenggam golok merah peninggalan Gu Qian. Tetesan darah menitik dari ujung golok itu.
Di depan Xuanwu, Lan Xiren baru saja jatuh tersungkur. Tubuhnya telah dipenuhi luka goresan pedang. Susah payah, dia berusaha berdiri, bertopang pada pedang di tangannya.
“Gu Xuanwu, kau boleh membunuhku untuk membalaskan dendam! Kenapa harus bekerja sama dengan kerajaan untuk menghancurkan dunia persilatan?”
“Membunuhmu?” Gu Xuanwu tertawa terbahak-bahak, “Nyawamu itu tidak sebanding untuk membayar kematian ayah dan ibuku! Kalian semua, sekte-sekte terhormat di dunia persilatan, dengan kejam telah menjatuhkan fitnah pada pendekar yang pensiun! Manusia-manusia tidak berperasaan seperti kalian tidak pantas diberi ampun! Kalian tidak ingin Marga Gu menguasai dunia persilatan, baik! Hari ini, aku Marga Gu ini akan membuat kalian semua tidak mati tenang!”
Gu Xuanwu mengangkat golok. Dengan sepenuh tenaga, dia mengarahkan tusukan maut ke dada Lan Xiren.
Crash!
Mata Gu Xuanwu membelalak. Dia tidak menyangka akan melihat sosok gadis ini di depannya.
“Kakak Gu .... “
Tangan halus Lan Shuang memegang bilah golok itu di depan dadanya. Merah darah Lan Shuang membasahi baju sutra kuningnya.
“Shuang’er!” Secepat kilat, Gu Xuanwu menarik golok. Jantungnya berdetak sangat kencang. Ketakutan merayapinya hingga gemetar. Dia menahan tubuh Lan Shuang, tak mempedulikan tujuannya membunuh Lan Xiren lagi.
“Shuang’er! Shuang’er! Bagaimana kau bisa kemari?” Gu Xuanwu menepuk-nepuk pipi Lan Shuang lalu menggeram marah. Ditatapnya sosok Luoluo di sebelah Lan Xiren. Tanpa ampun lagi, dia menebaskan goloknya, memenggal leher pelayan itu.
“Wu’er! Xuanwu! Tolong, selamatkan Shuang’er! Selamatkan Shuang’er!” Lan Xiren memohon, “Aku akan mati terbakar di tempat ini. Aku akan mati, seperti maumu. Tapi, kumohon, selamatkan Shuang’er!”
***
Wan Mei tertawa terbahak-bahak. Namun, matanya berkaca-kaca dipenuhi air mata. Dia membersit hidungnya, lalu menatapku sesaat. Dia berjalan keluar, lalu duduk di kursi. Kecapi lekah yang dibicarakan banyak orang itu tergeletak di atas meja. Satu bagian kecapi itu memang ternoda.
Tanpa sengaja, kulirik huruf-huruf yang tersisa di antara kayu yang terkelupas itu. Satu aksara segera tertangkap di mataku: Wu—huruf yang sama dengan huruf 武-wu di nama Xuanwu.
“Dendam telah terbalas, mengharap tambatan untuk cinta di tengah genangan darah ... Ayahanda telah berpesan, janganlah membalaskan dendam. Namun, mengapa, musuh tetap datang mengejar?”
Saat mendengar suara kecapi itu, gelombang kesakitan seolah menerjang hatiku. Aku tak tahu, apa makna dari kata-kata Wan Mei. Aku juga tak tahu apa yang terjadi di antara Wan Mei dengan Ketua Gu. Yang kutahu, semakin Wan Mei jauh memainkan lagu itu, gelombang ketidak berdayaan dan kesedihan mendalam itu ikut menerjangku.
“Susah payah, melarikan diri. Susah payah, menyembuhkan luka. Susah payah, melupakan dendam ... Kini, apalagi yang bisa dilakukan?”
Benar. Apa yang bisa dilakukan Wan Mei sekarang?