Desah napas keluar dari mulut seorang pria yang tengah berjalan menaiki tangga. Lingkar hitam yang terlihat jelas dibawah matanya, memberikan gambaran bagaimana pria itu menjalani aktivitasnya untuk beberapa hari terakhir.
“Sial,” desisnya seraya memegang lehernya yang terasa sakit.
Aku butuh tidur saat ini, pikirnya sembari menguap lebar, dan salah satu tangannya langsung terangkat untuk menutup mulut. Rasa kantuk telah menyapa sejak tadi. Namun, ia tidak dapat memejamkan mata sebab orang-orang itu terus saja mendatangi ruangannya dengan berbagai keluhan.
“Setelah ini aku akan tidur,” gumamnya seraya menaiki tangga dengan gontai. Tubuhnya terasa lelah. Kakinya pun tidak dapat bergerak cepat seperti biasa. Kekuatan dalam tubuhnya seolah lenyap begitu saja. Jadi, pria itu memutuskan untuk pergi ke atap—sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai kamar kedua.
Ketika langkahnya telah mencapai tangga terakhir, tangannya terulur membuka pintu yang ada di hadapannya.
Embusan angin langsung menerpa wajah. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman tipis. Pria itu menyukai kesejukan yang dirasakan oleh kulitnya saat ini.
Kakinya pun melangkah masuk. Pria itu hendak berbelok ke arah bangku panjang yang terletak di antara barang-barang tidak terpakai. Pandangan pria itu lurus ke depan. Dia tidak memperhatikan sekitar, hingga isak tangis memasuki pendengaran, dan langkahnya pun terhenti.
Pria itu mengernyit. Bukankah seharusnya hanya ia seorang yang berada di tempat ini? Seingatnya tidak boleh sembarang orang memasuki tempat ini. Namun, mengapa isak tangis terdengar di sini? Pria itu pun menoleh, dan matanya terbelalak ketika mendapati seorang gadis tengah berdiri di dekat pembatas atap.
“Hei!” Pria itu berlari ke arah gadis itu.
“Menyingkirlah dari situ!” Pria itu berseru memperingati, tetapi gadis itu seolah tidak mendengar. Gadis berambut panjang itu masih berada di tempatnya.
“Oh, sial,” desis pria itu seraya mempercepat larinya dengan sekuat tenaga. Andai saja rasa lelah tidak menyertai tubuhnya, sudah pasti ia dapat menggapai tubuh gadis itu dengan mudah.
“Hei, Nona!” Pria itu kembali berseru ketika gadis itu hendak menaiki pembatas atap tersebut.
Seruan pria itu terdengar sangat keras. Bahkan embusan angin pun seolah membawa seruan tersebut pada pendengaran gadis itu. Namun, seolah telinga gadis itu tidak berfungsi, dia mengabaikan seruan pria itu. Gadis itu tetap menaikkan salah satu kakinya ke pembatas atap.
“Mari akhiri segalanya.” Ketika satu kaki lainnya hendak menaiki pembatas atap, tiba-tiba saja sebuah tangan melingkar di perutnya, menariknya dengan cepat, membuat matanya terbelalak, dan ia tidak dapat melakukan perlawanan.
“Apakah kamu sudah gila?” Seruan itu kembali memekik telinga ketika tubuh mereka terjatuh ke lantai atap.
Gadis itu mendongak. Mata hitamnya menatap lurus seorang pria di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam. Deru napasnya pun memburu hingga dadanya terlihat kembang kempis.
“Apa yang kamu lakukan itu berbahaya!” Suara pria itu kembali meninggi. Pria itu menatap nyalang seorang gadis dengan balutan seragam SMA. Tunggu, jadi gadis itu merupakan seorang siswi? Pria itu seketika tertegun ketika menyadari penampilan gadis yang baru saja diselamatkannya itu.
“Bagaimana bisa kamu melakukan hal berbahaya ketika kamu masih seorang pelajar?” Pria itu menatap tidak percaya gadis di hadapannya. Namun, gadis itu hanya menatapnya lurus dengan raut wajah datar.
“Kamu tidak dapat berbicara?” cecar pria itu kesal. Sedari tadi ia mengeluarkan banyak kalimat, tetapi gadis itu bahkan tidak menyahuti.
Pria itu pun mengembuskan napas panjang seraya menyentuh kepalanya yang semakin pening. “Berikan nomor orang tuamu.” Pria itu merogoh saku jas putihnya, kemudian mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam. “Berikan nomor mereka!” perintahnya seraya menyodorkan ponsel pada gadis itu. Namun, lagi-lagi gadis itu hanya diam dengan wajah datar.
Pria itu mendengkus kesal. “Apakah kamu juga tuli?” Pria itu menoleh menatap mata hitam gadis itu, dan jantungnya seketika berdegup sedikit lebih cepat.
“Apakah aku meminta bantuanmu?” Suara gadis itu terdengar dingin.
Kali ini pria itu terdiam. Ia menatap lurus mata hitam itu.
“Aku bahkan tidak butuh bantuanmu.” Gadis itu lantas bangun dari posisi bersimpuh. Kakinya hendak melangkah ke pembatas atap itu lagi, tetapi pergerakannya terhenti ketika sebuah tangan mencekalnya.
“Kamu akan kembali menaiki pembatas atap itu lagi?” Kali ini suara pria itu terdengar sedikit lembut, tidak seperti sebelumnya yang memekik telinga.
“Jangan mencampuri urusanku, Paman.” Gadis itu memanggil pria itu dengan sebutan “paman”. Hal tersebut sontak membuat mata pria itu terbelalak.
“Paman?” ulang pria itu tidak percaya.
Gadis itu menoleh menatap pria yang ada di belakangnya. “Bukankah Paman lebih tua dariku?” tanyanya dengan wajah yang masih datar.
Pria itu mendengkus. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk seringai kecil. Selama hidupnya, baru gadis itu yang menyebutnya dengan sebutan paman. Memang usia mereka berbeda. Namun, pria itu belum memasuki usia orang tua. “Tidak bisa kupercaya,” desisnya pelan, tetapi masih terdengar oleh telinga gadis itu.
“Bisakah Paman lepaskan tanganku?” Gadis itu kembali bersuara, membuat pria itu kembali menoleh menatapnya.
Gadis itu ingin mengakhiri segalanya sesegera mungkin, pikiran pria itu bersuara.
“Oh, sial!” Pria itu mengumpat sembari mengacak-ngacak rambutnya prustasi. Kepalanya semakin berdenyut pening.
“Hei, gadis kecil, apakah permasalahanmu begitu rumit hingga kamu ingin mengakhiri hidupmu begitu saja? Apakah kamu tidak berpikir bagaimana perasaan orang tuamu jika kamu melakukan itu?” Pria itu mengatakannya dengan satu tarikan napas. Untuk pertama kali, ia mengatakan sesuatu yang sangat panjang pada orang asing.
“Orang tuaku?” Sudut bibir gadis itu sedikit terangkat, dan hal itu membuat pria di hadapannya mengernyit.
“Mereka bahkan lebih senang jika aku tiada,” lanjutnya dengan seringai di wajah. Suaranya bahkan terdengar sangat tenang. Namun, penuturannya itu membuat pria di hadapannya kembali terbelalak.
“Apa maksudmu ...”
“Mereka tidak menginginkan kehadiranku, jadi lepaskan aku, Paman.” Sebelum pria itu melanjutkan ucapannya, gadis itu terlebih dahulu menyela.
Pria itu masih terkejut dengan apa yang baru saja didengar. Dirinya bahkan ingin menganggap bahwa kalimat itu merupakan sebuah kebohongan. Namun, sorot mata hitam gadis itu menunjukkan segalanya.
Binar mata hitam itu redup. Terlalu banyak emosi yang tidak dapat diungkapkan dalam sorot itu.
“Lepaskan aku, Paman, kumohon,” pinta gadis itu dengan suara dinginnya.
Dia tidak baik-baik saja, batin pria itu.
Pria itu lantas menggeleng. “Tidak. Kamu tidak boleh melakukan itu.” Pria itu mengatakannya dengan suara tegas.
“Paman!” Gadis itu meninggikan suara. Ia menatap pria di hadapannya dengan tidak percaya. Namun, terdapat kesedihan dalam tatapannya.
“Sebaiknya kamu ikut denganku.” Pria itu menarik tangan gadis itu. Namun, gadis itu menahan kedua kakinya agar tidak ikut melangkah. Pria itu lantas kembali menoleh ke belakang. Mulutnya baru saja hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara gadis itu telah lebih dulu meninggi, dan pandangannya berpusat pada sebuah tangan dalam genggamannya.
“Tidak bisakah kamu membiarkanku tenang?” Gadis itu berteriak dengan suara parau. Namun, pria itu tidak menggubris.
Pandangan pria itu terkunci pada tangan kecil dalam genggamannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Pikirannya mulai bertanya.