Ketika Dipta Kembali

Ketika Dipta Kembali

Ayundabalqis19

0

"Ya Allah, Husna! Yang payahan kalilah kau dibanguni. Itulah kau, kan, tidur sampai malam-malam. Entah apa aja yang kau kerjakan," omel Mbak Ratna yang masuk ke kamar tanpa aba-aba.


Aku yang hampir tidur lagi, mendadak sakit kepala dengar omelan Mbak Ratna. 


Semenjak salat Subuh di masjid kompleks, Mbak Ratna tuh setiap hari punya hobi baru. Mbak Ratna jadi suka ceramah yang bikin sakit kepala. Usut punya usut aku baru tahu kalau Mbak Ratna setiap hari mengikuti pengajian di masjid komplek, yang kata Mbak Ratna dilakukan setelah salat Subuh. 


Penceramahnya ustaz Zakariya yang sudah terkenal di kompleks perumahan dan satu Kecamatan Medan Sunggal ini. Aku sih nggak masalah Mbak Ratna mau mengaji atau dengar ceramah. Tapi, jangan tumbalkan akulah untuk jadi pendengarnya juga.


"Astaga! Bisa nggak, sih, Mbak sehari aja nggak ceramah? Masih pagi lho ini. Sebentar lagi, ya? Lima menit lagi. Sepuluh menit, lah. Sepuluh menit lagi aku janji bakal bangun sendiri." Aku memohon ke Mbak Ratna sambil menangkupkan kedua tangan di atas kepala.


"Nggak ada itu. Janji anggota dewan ajanya kau," bentak Mbak Ratna yang dengan kejamnya langsung menyeret kedua tanganku menuju kamar mandi.


Sumpah, ya! Dari dulu aku malas sekali sekolah. Entah berapa kali aku memohon ke Mbak Ratna supaya pindah sekolah ke tempat Dipta saja, biar ada yang bikin aku semangat sekolah. Tapi, jawaban Mbak Ratna benar-benar bikin sakit kepala.


"Kau mau kawin apa mau sekolah?"


Mau kawin, Mbak, tapi sama Dipta ya? Pengin rasanya kujawab begitu. Kalau saja nggak ingat keluarga yang kupunya cuma Mbak Ratna, aku pasti bisa leluasa melawan sama dia.


"Ya Allah, Husna! Kok pakai baju sekolah yang ini?" teriak Mbak Ratna yang tiba-tiba balik ke kamarku lagi saat aku sudah selesai mandi.


"Baju yang itu nggak enak, Mbak. Kebesaran," sahutku yang sedang sibuk memasang kancing baju.


"Pande kali mulutmu itu. Terus kalau yang itu kekecilan nggak apa-apa, gitu?" omel Mbak Ratna sambil menarik-narik baju yang kancingnya sudah kupasang setengah. "Ganti!" seru Mbak Ratna memaksa.


Sumpah! Pengin banget rasanya aku kabur dari rumah. Atau ikutan mati saja sekalian sama ibu dan bapak. Buat apa coba hidup tapi diatur-atur terus? Ini nggak boleh, itu nggak boleh, semua nggak boleh. Terus aku bolehnya apa? Menyebalkan sekali Mbak Ratna.


"Malu lho, Mbak, pakai baju kebesaran begitu. Bisa dikira ibu-ibu anak lima nanti aku," protesku ke Mbak Ratna.


Aku mendengar Mbak Ratna berdecak.


"Terus kalau pakai baju ketat begini nggak malu? Ini aurat. Ini juga. Ini apa lagi." Mbak Ratna menunjuk-nunjuk beberapa bagian tubuhku. 


Aurat itu yang jadi bahan buat bakso, kan? Aku sering lihat tulisannya di pinggir jalan: bakso aurat. Terus hubungannya sama aku apa?


"Kenapa kau melotot gitu?" tanya Mbak Ratna yang sepertinya mulai sadar dengan kegeramanku.


"Mbak tuh aneh! Apa hubungannya bakso aurat sama aku?"


"URAT, Husna! U-rat! Beda sama aurat. Yang kau bilang itu bakso urat, bukan aurat. Itulah kau, kan, akibat malas kali sekolah. Bedakan urat sama aurat pun nggak bisa."


"Mbak biasa ajalah, jangan marah-marah. Mentang-mentang udah ngaji langsung jadi ustazah setiap hari."


"Astagfirullah, Husna ... Husna ...." Mbak Ratna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ceramah itu bukan cuma tugasnya ustazah. Lagian kau kalau bukan Mbak yang menceramahi, siapa lagi? Kau enggak tahu, kan, kalau di akhirat nanti ada orang yang nggak bisa mencium baunya surga? Udah kayak orang kena covid rasanya nggak bisa nyium bau apa-apa. Tahu nggak kau?"


Aku nyengir dan menggelengkan kepala.


"Ciri-cirinya yang nggak bisa nyium surga ya kayak kau ini," ucap Mbak Ratna sambil menoyor kepalaku."


"Kok aku, sih, Mbak?"


"Iyalah. Salah satu cirinya, kan, perempuan yang berpakaian tapi telanjang. Cobalah kau pikir, pakai baju ketat gini tapi tonjolan di badanmu nampak semua, itu sama kan kayak telanjang? Nanti di akhirat otaknya bakal mendidih. Bukan cuma itu, seluruh badannya juga dicambuk sama malaikat. Mau?" tanya Mbak Ratna sambil memasang tampang menyeringai.



Aku menggeleng cepat. "Nggak mau," sahutku.


"Makanya! Jangan pakai baju ketat-ketat," ucap Mbak Ratna dengan mata melotot tajam. Perempuan yang punya tahi lalat di atas bibir itu benar-benar mengerikan kalau sudah bicara serius begini.


Setelah puas mengancamku dengan neraka, Mbak Ratna langsung melenggang keluar dari kamar.


***


Astaga! Gara-gara dengar Mbak Ratna ceramah aku nggak sadar kalau ini sudah hampir jam tujuh. Duh! Bisa ikutan terlambat, nih, Dipta!


Setengah berlari aku menyusuri jalanan kompleks perumahan. Dipta pasti sudah kelamaan menunggu di depan gang. 


Jefri tetangga sebelah rumah yang satu sekolah denganku sempat berhenti dan menawarkan boncengan. Jelas saja aku menolak. Memangnya aku ini cewek apaan? Aku bukan cewek murahan yang bisa sembarangan menerima tawaran. 


Dari tiga tahun yang lalu aku jadian sama Dipta, nggak pernah sekali pun aku menerima boncengan dari siapa-siapa. Walaupun Jefri sering kali menawari untuk memboncengku ke sekolah dengan alasan sekolah kami sama.  


"Pagi, Sayang! Senyumnya mana?" sapa Dipta begitu aku tiba di hadapannya.


"Udah, ayo buruan! Nanti kita ketahuan Mbak Ratna, lho," kataku yang langsung naik ke boncengan motor Dipta.


"Mentang-mentang baju baru bawaannya ¹sensi aja, ya. Memangnya kalau ketahuan Mbak Ratna kenapa?"


Ya Ampun, Dipta! Sempat-sempatnya dia bahas baju kebesaran ini.


"Dipta ... berisik, ih! Buruan ...." Aku menghujani pinggangnya dengan cubitan.


"Cium dulu." Dipta memajukan pipinya, mendekat ke wajahku.


"Yakin mau?"


Dipta tertawa. "Nggak lah. Bercanda," katanya yang langsung menstater kereta.


Aku yang masih ngos-ngosan karena olah raga dadakan jadi tertawa melihat tingkah absurd Dipta.


Indah--teman sekelasku-- bilang kalau cowok kayak Dipta bisa jadi punya kelainan. Nggak normal. Apa cowok yang nggak mau cium pipi cewek itu benaran nggak normal? Terus apa sebutannya buat cowok yang sukanya cium kening doang kayak Dipta? Pening? Pecinta kening? Kan enggak lucu!


"Aku nggak mau merusak kamu, Na. Perjuangan untuk dapat kamu aja susah, mana berani aku mainin kamu." Begitu jawaban Dipta setiap kali kutanya kenapa nggak pengin cium atau peluk aku? Kenapa Dipta cuma berani pegang tangan dan cium keningku? Jawaban Dipta dari tiga tahun lalu kami jadian sampai hari ini nggak pernah berubah.


Kalau begini manisnya perlakuan Dipta, wajar kan kalau aku nekat pacaran di belakang Mbak Ratna? Mbak Ratna itu sok tahu mengatai hubungan kami yang bukan-bukan.


Pokoknya sampai kapan pun aku akan memperjuangkan cintaku sama Dipta. Kabur dari rumah juga nggak apa-apa asal bisa hidup sama Dipta selamanya.


Kereta Dipta sudah sampai di depan sekolah. Aku melihat jam di spidometer kereta Dipta. Syukurlah! Terlambat dua menit saja bisa habis aku jadi pembantu dadakan di kantor ²BK.


"Nanti naik angkutan umum dulu ya, Sayang," kata Dipta saat aku turun dari keretanya.


"Enggak mau," sahutku sambil menatap tajam ke arah cowok berkulit sawo matang itu. Kulipat tangan di depan dada. Biasanya cara ini paling ampuh membujuk Dipta.


"Kenapa? Uang jajan yang kemarin udah habis ya? Nih, aku kasih lagi ya." Dipta merogoh saku celananya. Aku enggak bisa melihat dengan jelas berapa lembar uang berwarna biru yang dia sodorkan.


Aku menggeleng cepat, menolak pemberiannya. Memangnya aku anak kecil yang bisa disogok pakai uang? Lagian Dipta belajar menyogok dari mana, sih? Sogok-menyogok tuh kan haram. Perlu diceramahi juga, nih, Dipta!


"Aku nggak bisa jemput, Yang." Kali ini Dipta menatap sendu mataku.


"Kemarin nggak bisa jemput. Kemarinnya lagi juga. Kemarin-kemarinnya lagi juga sama. Terus aja gitu. Nggak usah ketemu aja sekalian!" tukasku marah.


Aku berlari meninggalkan Dipta. Nggak peduli sekeras apa suara Dipta, aku nggak akan menyahuti panggilannya. Maunya dia itu apa coba? Kalau nggak mau antar pulang, sekalian saja nggak usah ketemu selamanya


¹. Sensi: singkatan dari sensitif yang artinya mudah sekali membangkitkan emosi.


². BK: bimbingan konseling.