Kersik Palet

Kersik Palet

Sanjanindi

4.7

Andai pertemuan kita dilukiskan pada sebuah kanvas, akan berwarna seperti apa dia?

.
.
.

"Mama gak memaksa."

Aku mencibir. Kalimat Mama sama sekali tidak sinkron dengan tangan keriputnya yang merampas tas kerja dari genggamanku, lalu sekonyong-konyong meletakkan benda persegi panjang hitam itu—susah payah—ke atas kabinet dapur.

"Mama itu cuma minta kamu luangin waktu sebentar," katanya sambil berpegangan pada kedua pundakku agar tidak jatuh saat turun dari kursi pijakan, "bikin Mama senang sedikit masa gak bisa?" lanjutnya bersungut-sungut. Aku menghela napas, berusaha sabar.

"Kantor sedang sibuk-sibuknya, Ma. Besok-besok saja ya kalau sudah agak longgar." Kemarin Mama memang memintaku untuk menemui seseorang—yang entah siapa.

Mama memelotot, "Ya terus apa gunanya punya asisten dan karyawan berjibun? Perintah saja bawahanmu tangani bagian mereka masing-masing dengan baik. Pimpinannya bisa dong sesekali dapat penyegaran!"

Aku mencoba menarik ujung-ujung bibirku agar terlihat seperti senyuman, meski jatuhnya malah seperti gestur kejepit engsel, "Harus hari ini ya, Ma?"

“Hari selasa ada sembilan kali ya dalam seminggu?” Sarkastik! “Memangnya kamu masih PAUD diajari menghitung hari?"

Wajah Mama memelas, mendramatisir keadaan. Aku punya firasat buruk setelah ini.

"Harusnya itu cucu Mama yang sudah masuk PAUD atau bahkan SD. Lha ini boro-boro cucu, calon menantu saja belum punya."

Tuh kan!

Rasa-rasanya aku ingin mengunyah lampu plafon! Mungkin dengan begitu otakku bisa kinclong guna mensiasati kode terang-terangan Mama yang satu ini: minta mantu.

"Umur kamu itu sudah tua, Mama makin tahun juga gak makin muda. Aigoo..."

Hampir saja aku tersedak jakun mendengar ujung kalimat itu. Mataku meruncing ke arah Nilam—adikku—yang cekikikan mendapatiku tersudut. Sudah pasti ialah pemrakarsa yang sudah mencekoki Mama dengan koleksi kosakata aneh. Ingatkan aku untuk memiting kepalanya nanti.

Dan apa? Tua? 29 tahun—ah oke—nyaris 30 tahun bagi lelaki itu masih terhitung muda. Iya, 'kan?

Mama kembali mencerca, membuatku berdarah-darah, "Penghargaan berjejer, prestasi bisnis mentereng, tapi kalau gak ada pendamping ya tetap aja gak keren."

Telak.

Ada kamera? Aku mau melambai, nih.

Berdeham, aku menarik kursi untuk duduk, mengabaikan tawa Nilam yang berderai, "Dengan atau tanpa pendamping, aku akan tetap baik-baik saja, Ma."

Mama menatapku lekat dengan sorot terluka, kali ini tidak ada tujuan untuk mendrama. Nyaliku menciut. "Setelah yang terjadi subuh tadi, Mama tau kamu tidak sedang baik-baik saja," Mama berujar pelan sambil mengelus rambutku, ada kekhawatiran yang disalurkan lewat sentuhannya, "kamu belum sembuh benar." Dan seperti digodam, rasanya hatiku penuh memar sekarang. Nilam yang sadar situasi langsung terdiam, volume lagu di laptop pun ia kecilkan.

Aku menunduk karena tidak lagi bisa membantah, juga sibuk menebak-nebak siapa yang akan kutemui nanti, jangan-jangan...

"Bukan psikiater kok." Mama menambahi, seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku mengembuskan napas lega, lalu merogoh ponsel di saku celana, menghubungi Fadil—asistenku. Permintaan Mama kalau tidak dituruti biasanya akan merembet ke esok hari, mana tega aku.

Tunggu. Kalau bukan psikiater, lalu siapa?

Otakku mengulang percakapan dengan Mama pagi ini, mencari-cari kepingan petunjuk. Aku menoleh cepat pada Mama begitu selenting ingatan menubruk kesadaran.

"Jangan bilang kalau Mama merencanakan kencan untukku?" Aku terkejut menangkap nada frustasi di ucapanku barusan, lebih-lebih saat Mama tersenyum semringah dan Nilam yang bertepuk tangan heboh seolah terpukau dengan kepekaanku yang biasanya tumpul.

Belum selesai dengan keterkejutan itu, telingaku mendengar suara terbahak dari...

Ponsel!

Ya Salam.

Ini bencana besar! Si asisten tukang gosip dan tidak sopan itu pasti akan menjadikanku bahan olokan di kantor.

Aaargh!

○○○

Tepat di depan kafe, langkahku terhenti. Aku mengambil ponsel yang bergetar demi mendapati pesan Mama yang luar biasa absurd.

Mama: Kendalikan hormonmu, Nugra.

Apa aku terlihat seperti orang yang berpikiran kotor setiap waktu?

Dengan ogah-ogahan aku masuk ke kafe. Pandangan kularikan ke sepenjuru ruangan, mencari seseorang berjilbab ungu tua—begitu info singkat dari Mama tentang si 'teman kencan' ini—heih... menyebutnya saja sudah membuatku merinding.

Ketemu! Perempuan itu duduk di sudut kafe, sedang menunduk dengan tangan kanan bergerak konstan di atas meja. Aku hanya bisa melihat punggung dan sepertiga wajahnya, tapi bisa dipastikan dialah orang yang kucari.

Aku menghela napas kasar sambil menyeret langkah. Setelah mencapainya, ponselku kembali bergetar, kali ini bersumber dari Nilam. Alisku naik sebelah.

Yeppeun Dongsaeng: Jadikan mbak-mbak ungu itu kekasih halalmu, Oppa! Aku mau ponakan!

Begini nih kalau punya adik masih abege, pecicilan—juga gila—gak ketulungan. Dan tentu saja bukan aku yang menulis nama kontak seaneh itu.

Begitu kumasukkan kembali benda elektronik itu ke saku, perempuan tadi menoleh. Mata kami bersibobrok beberapa saat. Dan aku merasa familier dengan wajah innocent miliknya.

Tahu-tahu rahangku turun—nyaris menyentuh lantai—saat ingat bahwa perempuan yang tersedak minuman di depanku ini adalah orang yang sama dengan pelaku pembenjolan kepalaku, sampai pitak! Untung saja masih bisa tumbuh rambut.

Sadar ekspresi tercengangku sangat tidak oke, aku menutup mulut, dan bingung mau bilang apa. Dari gelagat kikuknya, kurasa ia juga merasakan hal yang sama.

Kemudian kami berpandangan.

Lagi.

Dan tawa geli kami pecah di detik ketiga.

Ingatanku kembali pada kejadian yoyo yang menyasar ke kepalaku saat dimainkan gadis dengan rambut bercat ombre cokelat-magenta 5 tahun silam. Waktu itu aku dalam posisi tengkurap pula karena tersandung. Memalukan!

'Si rambut ombre' yang sekarang mengenakan jilbab itu berdiri, terkesan antusias, "Hai, lama gak ketemu." Suaranya terdengar empuk di telinga, kuberi anggukan sebagai respon.

"Dulu belum sempat kenalan, 'kan?" Dia bertanya retoris, lalu mengulurkan tangan padaku. "Nuansa."

Merasa tak sopan jika abai pada sikap ramahnya, aku balas menjabat tangan itu, "Anugra."

Pandanganku melorot pada tautan kami. Apa tangan gadis selalu pas di genggaman begini, ya? Eh? Dia gadis?

"Kamu gadis atau wanita?"

Pertanyaan sinting!

Kulihat ia mengangkat alis dan tersenyum mengejek setelahnya. Sial! Detik itu juga aku ingin mengubur diri hidup-hidup.

Coba bayangkan, di pertemuan pertama yang kedua—atau pertemuan kedua yang pertama—dengan kurang ajar aku malah menanyainya hal yang ehm... sensitif.

Dimanakah sopan santun dan harga diriku berceceran? Aku harus segera memungutnya!

Nuansa berkedip satu kali, mata obsidian itu mengirimkan kilat jenaka. Dia mencengkeram tanganku sedikit lebih kuat, dan gerakan kecil itu membuat tubuhku tersengat, darahku berdesir seperti dialiri listrik. "Aku belum diberi label kok. Dan..."

"Dan?" Aku menunggunya melanjutkan kalimat dengan tidak sabaran. Pun mengabaikan respon norak dari degup jantung.

"Dan tentu saja masih bersegel."

Ow! Pilihan katanya terdengar sangat 'nakal' di telingaku, coba katakan, apa aku salah menangkap maksudnya?

Dia lajang dan perawan.

Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Nuansa tersenyum kecil, lalu melepaskan tautan kami. Aku mendesah kecewa saat rasa hangat itu hilang. Eh? Kenapa aku kecewa?

"Duduk sini." Dia menepuk kursi di sampingnya, menyela lamunanku. Aku mengiyakan, tapi memilih duduk di depannya saja. Menilik dari reaksi tubuhku tadi, sepertinya tidak akan baik jika aku terus berdekatan dengannya.

"Mimpi apa tadi malam?" tanyanya tepat setelah aku mengatakan pesanan pada pramusaji.

Apa aku harus menjawab pertanyaan ganjil tanpa intro ini?

"Aku lupa." jawabku masa bodoh. Yang tidak kusangka, Nuansa malah tersenyum lebar hingga matanya melengkung ke bawah, menyerupai sabit. Indah sekali.

Apa bertemu lagi dengan orang yang melukai kepala bisa berimbas pada otak? Semacam tersihir seperti yang kualami sekarang?

Aku menggeleng kuat-kuat, menepis pikiran yang mulai melenceng. Lalu mataku menangkap buku sketsa di depan Nuansa. Gadis itu lekas menutupnya dengan sebelah tangan. Telunjuk tangannya yang lain mengarah pada kepalaku. "Apa itu baik-baik saja?" Oh... maksudnya lukaku.

"Harusnya lebih baik kalau gak diadu sama yoyo," Sarkastik, dan dia tertawa karenanya. Tawa itu menular padaku, "aku bahkan masih ingat waktu kamu ngomel sambil bilang 'teledor kok nyalahin musibah'."

"Woah... aku sangat tersanjung karena di-notice orang secakep kamu. Omong-omong, rahasia muka kinclongnya apa tuh, Mas?” Nada yang dipakai condong ke mengejek, tapi raut wajahnya mengingatkanku pada bunga matahari. Cerah.

"Rayuan semacam itu gak akan mempan untukku, jadi berusahalah lebih keras." Aku harus meninggikan nilai jual kan? Atau Mama akan tertawa kencang melihatku lumer hanya karena gombalan gopek. Menghibur orang tua memang dapat pahala, tapi tidak harus dengan merendahkan pasaran.

Kepalanya ditelengkan, untuk sesaat aku tertegun melihat kilat licik di mata dan bibirnya, "Kamu yakin?"

Aku menggangguk kaku, ekspresinya yang berganti dalam hitungan nanodetik berhasil membuat tulangku menggigil. Gadis ini sedikit berbahaya.

"Maka bersiaplah," kali ini ia mengulum senyum, tubuhku sekarang terasa mendidih.

"Aku bisa menyentuh hatimu, dengan cara yang tak tersentuh nalarmu."

Hening beberapa waktu, instrumen musik kafe terdengar sayup. Keheningan kami diinterupsi pramusaji yang mengantar minumanku. Aku bingung harus bersyukur atau mengeluh dengan keadaan ini, yang pasti aku segera menenggak minuman dingin itu hingga tandas.

"Umurmu baru 29 kan?" Nuansa bertanya sambil menatapku tanpa kedip. Tiba-tiba aku kasihan dengan matanya yang terpapar AC terlalu lama. Aku mengedip untuk mengiyakan, juga kalau bisa menggantikan kinerja kelopak matanya. Omong-omong aku suka kata 'baru' itu.

"Tapi rambutmu sudah beruban tuh."

Aku tersentak. "Gak lah!" Masa sih?

"Iya, aku melihatnya di masa depan," dia terkikik, "dengan aku di dalamnya."

Sial. Sial. Aku dikerjai.

Nuansa menatap jam tangannya, "Aku harus pergi, maaf gak bisa lama-lama." Bahuku merosot. kok gitu...

Gadis itu mengeluarkan bolpoin dari dalam tas selempang. Aku menungguinya menulis sesuatu di kertas, lalu disurukkan kertas itu padaku. Sebuah alamat. "Temui aku di sini saja, oke?"

Begitu selesai mengatakan itu, dia langsung pergi. Tidak sopan sekali.

Lebih tidak sopan mana dengan orang yang menanyai 'kegadisan' pada teman kencannya? Salah satu sel otakku yang logis merespon.

Bicara tentang logis, apa situasi tadi tampak masuk akal untuk aku yang mulanya getol menolak ide Mama? Dan... Ya Allah... aku bahkan tidak menanyakan 'kapan' untuk pertemuan selanjutnya, apa dia berada di tempat yang ia tulis tadi sepanjang waktu?

Badanku menegak begitu melihat Nilam mendekat, jadi dia memata-mataiku?! Dari tatapannya yang memicing, aku tahu dia meminta penjelasan. Dan apa aku sudah pernah bilang kalau aku paling lemah dengan 2 orang berjenis kelamin perempuan di keluargaku?

Aku tidak akan selamat sekarang.

○○○

Aku bertemu dia lagi, lebih tepatnya aku yang menemuinya—Nuansa.

Mama memaksaku mengantar bolu pandan kukus ke rumahnya, yang ternyata beralamatkan sama dengan tulisan di kertas tadi siang.

Jadi, disinilah aku.

Pandanganku berkelana ke seluruh ruang, ada beberapa alat lukis terjejer, juga pernak-pernik dengan nuansa merah muda dan ungu bertebaran.

Aku melirik ke atas bufet pendek, sedikit kaget setelah melihat jam digital menunjukkan pukul 10.13 PM. Buru-buru aku meminum kopi yang disuguhkan Nuansa, lalu pamit setelahnya.

"Maaf sudah mengganggumu malam-malam begini." kataku rikuh setelah berada di luar rumah, agaknya Mama memang sengaja mengerjaiku.

"Gak apa, aku juga gak lagi sibuk. Tolong sampaikan terima kasih ke Tante Rurit, aku suka bolunya." Lagi. Aku melihat sabit di matanya ketika tersenyum. "Nanti pulang kemana?"

Pertanyaan itu menyiratkan seolah aku gelandangan saja. Tapi memang aku sedang 'diusir' dari rumah sih. "Di apartemen," aku ingin sedikit menggodanya, "mau bergabung?"

Dia tertawa lalu menggeleng, "Nanti, bukan sekarang." Jawaban macam apa itu? Eh? Memang jawaban apa yang kuinginkan darinya?

"Boleh aku bertanya lagi?"

"Kamu baru saja bertanya." jawabku ketus. Dia mengulum senyum.

"Apa kamu punya gerak refleks yang bagus?" tanyanya, dan belum sempat kujawab, tahu-tahu dia melempar sebuah benda ke arahku. Tertangkap. Sebuah audio.

"Untung saja kamu gesit, jadi aku tidak perlu menangis karena barang itu pecah. Anggap saja sebagai permohonan maafku soal 5 tahun lalu."

Aku memandangi audio berukuran mini di tanganku, persis seperti milik Fadil yang dibeli second dengan harga "mikir-mikir". Istrinya yang penyabar saja langsung mengomel setelah ia jujur soal budget.

Kukantongi audio itu, "Yah... padahal aku ingin sekali melihatmu menangis, harusnya tidak kutangkap ya." Dia tidak terlihat tersinggung atau kesal sama sekali. "Dan membuatmu menonton pemandangan indah dengan gratis? No Way! Berusahalah lebih keras." Nadanya menyerupai intonasiku. Membuatku meradang. Kulangkahkan kaki menuju ke mobil.

"Besok kesini lagi, 'kan?" Oh, dia mengikutiku.

Aku membalik badan, "Kenapa? Sudah kangen, ya?"

Sabit di matanya terlihat lagi. "Aku hanya ingin memastikan targetku selalu berada dalam jangkauan." Nuansa mundur 3 langkah. Di jarak ini aku bisa melihat dirinya diterpa suluh rembulan, ujung jilbabnya terbelai angin. Satu sisi tubuh semampai itu tampak sangat terang. Sementara sisi lainnya mampu menyulap deru napasku menjadi es.

Gelap, dan sangat dingin.

Aku segera membalik badan, tanganku bersiap membuka pintu mobil tepat ketika dia memanggil namaku. Kembali kutolehkan wajah padanya.

"Assalamu'alaikum."

Satu baris salam itu kuibaratkan do'a, sangat magis dan aku tergugu. Tahu-tahu mataku terpejam, menghitung detak-detak nakal yang berasal dari jantungku sendiri. Aku menjawab salam itu lirih, mungkin hanya binatang malam yang bisa mendengarnya.

Kemudian saat aku membuka mata, Nuansa menyorotiku dengan tatapan paling iblis, lalu sedetik setelahnya kembali melembut.

Itu tadi... apa?

○○○

Aku berbaring di ranjang usai mandi dan shalat malam, tanganku tergerak untuk memainkan benda pemberian Nuansa. Gadis itu... hmm... apa ya padanan kata yang pas? Kata 'misterius' bahkan terlihat sangat sederhana untuknya.

Aku bisa menyentuh hatimu dengan cara yang tak tersentuh nalarmu.

Tawaku berderai mengingat kalimatnya yang menggelikan. Ada-ada saja.

Kutekan bulatan kecil di audio itu, suara lirih mengalun dari sana. Merasa rileks, kelopakku memejam. Sayup terdengar kersik dedaunan dan tetes air. Hingga alam mimpi memelukku...

Dengan gadis separuh magenta di dalamnya.