"Kapan nikah? Tahun ini usia kamu sudah dua puluh delapan tahun. Udah cukup tua untuk usia wanita yang belum menikah. Ibu mau besok waktu lebaran kamu pulang sudah bawa calon. Ibu engga akan pilih-pilih." Aku memilih menghembuskan napas, diam dan berusaha untuk tidak terpancing. Hal menyebalkan ketika Ibu menelepon adalah ujung-ujungnya akan bertanya kapan menikah, sudah ada calon belum. Seolah-olah pertanyaan itu tidak boleh terlewat dan harus segera mendapat jawaban.
"Kiran masih banyak kerjaan, Bu. Kalau mau ngomongin pernikahan nanti aja, ya." Mengelak, menghindar, adalah kebiasaanku ketika ditanya mengenai pernikahan. Bukan karena tidak peduli, tetapi aku sudah muak ditanya soal pernikahan. Seperti tidak ada hal lain yang lebih penting. Memangnya pernikahan sepenting itu, ya? Aku tidak habis pikir kenapa banyak dari keluarga maupun masyarakat akan mulai bertanya perihal kapan menikah ketika usia wanita berada pada awal duapuluhan. Seolah-olah pertanyaan itu wajib ditanyakan dan dosa bilang tidak diajukan. Padahal masih banyak topik yang bisa jadi bahan pertanyaan.
Aku pikir dengan mengatakan perkerjaan yang masih banyak akan menghentikan ibu, ternyata tidak. "Kamu ini, selalu sibuk kerja. Kapan nikahnya kalau kerja terus. Sesekali ambil libur, cari pasangan. Jangan selalu berkutat dengan kain, desain baju, dan jarum-jarum itu. Uang kamu sudah banyak. Ibu sudah tidak butuh uang lagi. Ibu butuh menantu dan cucu dari kamu," tegur sang Ibu dari seberang sana.
Kepalaku yang pusing setelah menghadapi costumer ditambah omelan ibu soal pernikahan. Lebih baik aku mematikan teleponnya saja. Jika tidak seperti itu pasti sampai satu jam kedepan akan seperti ini terus. "Sudah ya, Bu. Dibicarakan kapan-kapan lagi. Assalamu'alaikum."
Perlahan aku memijat bagian pelipis untuk meringankan rasa pusing yang menyerang. Fokus untuk kembali bekerja sudah tidak ada. Kapan menikah? Pasti sudah tidak asing di telinga wanita ataupun pria ketika beranjak dewasa. Apalagi jika usia sudah kelewat dari umur sewajarnya. Seperti wanita mulai dari umur 21-25, seperti Kiran ini yang sudah lewat dari itu dianggap tidak laku. Padahal menikah bukan ajang untuk siapa yang paling cepat, menikah perkara mencari pasangan hidup yang nantinya akan menemani. Dikira memilih pasangan hidup seperti membeli ikan Cupang di pasar, yang paling indah tampilannya yang akan dipilih.
Harum aroma cokelat panas tiba-tiba memasuki ruanganku. Suara derit pintu yang terbuka menampilkan sosok tinggi, kurus, dengan rambut panjang yang digerai muncul. Senyum ramahnya seolah mengetahui permasalahan yang sedang terjadi.
"Nih, aku bawain cokelat panas, kesukaanmu." Asri, begitu aku memanggilnya menaruh gelas itu di meja. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerjaku. "Jangan diambil pusing. Toh Ibu kalau setiap nelpon emang ngebahas itu kan?"
Aku meringis, "Kedengaran sampai luar, ya?"
Lidahku merasakan manisnya cokelat panas yang perlahan aku minum. Kekesalan yang tadinya sudah menggunung perlahan menguap. "Emang aku udah setua itu ya? Perasaan ibu ngejar-ngejar terus untuk aku segera menikah," celetukku yang direspon tawa oleh Asri.
"Kamu engga sadar memang? Ujung mata kamu mulai ada keriput, tuh. Kalau aku jadi ibu kamu juga bakal ngomel anak gadisnya engga nikah-nikah. Lagian laki-laki seperti apa si yang kamu mau sampai masih betah sendiri sampai sekarang? Aku aja udah mau tiga tahun menikah. Menikah itu enak, Ran." Ya, Asri sudah menikah. Pernikahannya bahagia, setidaknya itu yang aku lihat. Asri dengan suaminya cukup romantis. Namun, anehnya aku tidak merasa iri. Terkadang ada sedikit, tetapi bisa kuatasi.
Aku berjalan menghampiri Asri. "Kamu emang sebelum menikah engga pernah ngerasa takut?" Asri menaikan sebelah alisnya. "Maksudku kamu emang ga pernah gitu takut kalau pernikahan kamu engga berjalan lancar. Takut kalau bakal ribut-ribut. Yang paling aku takutkan itu ketika punya anak, aku akan jadi sekolah pertamanya bagaimana nanti anakku tumbuh tergantung pada pola asuh yang kuberikan. Rasanya aku belum siap dan takut gagal." Asri diam, sahabatku tahu bagaimana aku tumbuh, bagaimana kehidupan yang kujalani sampai bisa diumur yang sekarang.
Asri memegang pundakku. "Pernikahan tidak menakutkan itu, Ran. Tapi jangan sampai kamu menikah dalam keadaan belum siap. Ketakutan yang kamu ucapkan tadi aku juga mengalami. Menemukan pasangan yang tepat akan bisa membantu mengatasi ketakutan itu. Kamu enggak perlu tergesa-gesa karena omongan ibumu ataupun masyarakat sekitar. Karena yang akan menikah itu kamu, yang menjalani suka dukanya itu kamu. Mereka cuma bisa berkomentar, keputusannya ada di kamu. Kalau sekarang dengan sendirian kamu ngerasa bahagia, ya kenapa harus buru-buru menikah?"
Asri memelukku, seolah mengerti apa yang sedang aku rasanya. Mengusap-usap punggungku untuk memberikan ketenangan. Senang rasanya memiliki sahabat sepertinya, yang sudah menemani dari zaman sekolah menengah pertama. Bahkan aku rasa Asri lebih bisa mengerti diriku dibanding ibu. "Ingat kata-kataku, Ran. Menikahlah ketika kamu siap."