Pagi ini kegiatanku sehari-hari sebagai ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, menyiapkan pakaian suami sebelum berangkat kerja dan memasak sarapan.
Mas Dani baru saja keluar kamar, dia sudah rapi memakai pakaian yang aku siapkan. Gantengnya suamiku! Tapi tentu saja hanya di dalam hati, takutnya dia geer kalau ku ucapkan langsung.
"Dek, ada kabar buruk dan ada kabar baik. Kamu mau aku kasih tau yang mana dulu?" kata Mas Dani saat kita mulai duduk untuk sarapan.
Namaku Rara, menikah dengan Mas Dani dua tahun lalu, kehidupan rumah tangga kami bahagia, walaupun belum ada seorang anak. Mas Dani bekerja menjadi Manajer Pemasaran di sebuah perusahaan periklanan, selama ini ia memberiku jatah lima juta sebulan. Untuk kebutuhan rumah tangga yang belum dikaruniai anak, uang segitu lebih dari cukup. Apalagi aku juga memiliki usaha catering walaupun tidak terlalu besar.
"Kabar buruk dulu aja deh, Mas," ucapku setelah selesai makan.
"Oke, dengar ya? Kabar adalah rumah ibuku yang digadaikan Mbak Nia disita oleh bank, mereka semua diusir dari rumah." Mas Dani belum melanjutkan ucapannya.
"Dan kabar baiknya adalah mereka akan tinggal di sini, Dek." Wajah Mas Dani kembali ceria.
Aku terdiam. Masih mencerna ucapannya. Menurutku dua-duanya adalah kabar buruk. Memang selama ini kami tinggal terpisah dari keluarga Mas Dani. Rumah ini hadiah pernikahan dari papa. Aku memang belum terlalu mengenal keluarga Mas Dani, karena kami tidak melalui proses pacaran. Aku hanya mengetahui kalau Mas Dani kakak perempuan yang sudah menikah dan adik laki-laki dan adik laki-laki.
Bertemu mereka hanya sekali pas akad nikah. Mereka tinggal di satu rumah milik ibu mertua. Kalau rumah disita bank berarti mereka semua akan tinggal di sini?
Bukannya aku tak menyukai mereka, tetapi aku sudah nyaman hidup berdua dengannya di rumah ini. Tapi mau tak mau aku harus menuruti ucapan suamiku.
"Ya, nggak pa-pa sih, Mas. Toh, mereka juga keluargaku. Memang kenapa sih, sampai menggadaikan rumah segala?" tanyaku penasaran.
"Buat biaya pernikahan Mbak Nia, Dek. Dulu dia ingin pernikahan mewah seperti teman-temannya, karena uang ibu tidak cukup makanya ibu menggadaikan sertifikat itu," jelas Mas Dani.
"Memang suami mbak Nia nggak kerja? Kok sampai disita? Berarti mereka nggak bisa bayar kan?" tanyaku sambil mengupaskan jeruk untuk pencuci mulut.
"Setahuku dulu suami Mbak Nia jadi mandor proyek gitu, Dek, tapi nggak tahu kalau sekarang kan semenjak nikah kita langsung tinggal di sini."
"Mereka berempat semua akan tinggal di sini?" tanyaku lagi
"Iya, Dek. Ya, gimana lagi? Untuk mengontrak juga sudah nggak ada uang. Nggak papa kan? Mereka baik kok, nanti kerjaanmu juga semakin berkurang karena ada yang membantu membersihkan rumah," ujarnya.
Mungkin ucapan Mas Dani benar, aku pun mencoba untuk tidak berpikiran buruk kepada keluarga Mas Dani.
"Baiklah, aku setuju kalau begitu. Kapan mereka datang? Aku mau siap-siap dulu masak buat mereka." Akhirnya aku menyetujui usulan suami.
"Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang istri idaman." Mas Dani tersenyum dan mengusap puncak kepalaku.
"Nanti siang mungkin mereka sampai, Dek. Kamu sambut mereka dulu, nanti Mas usahakan pulang cepat."
"Loh? Kamu nggak jemput mereka, Mas?" tanyaku heran. Aku pikir Mas Dani yang jemput mereka ke bandara.
"Pagi ini ada meeting dengan petinggi perusahaan, Mas nggak bisa absen. Nanti kalau sudah selesai, baru Mas izin pulang. Mas berangkat ya, Dek!"
Mas Dani memelukku dan mencium keningku. Ia pun berangkat kerja.
Selesai sarapan segera kubersihkan meja makan dan berbelanja ke pasar. Aku segera memasaknya begitu sampai di rumah, untuk menyambut keluarga suamiku. Aku memasak rendang, udang, ikan dan berbagai makanan enak lainnya.
Sebelum jam dua belas siang semua telah selesai di meja makan. Aku pun puas dengan hasil masakanku.
Ting Tong!
Bel depan rumah berbunyi, itu pasti keluarga Mas Dani. Aku membasuh sedikit mukaku agar tidak kelihatan kucel setelah memasak.
Ting tong! Ting tong! Ting tong! Ting tong.
Suara bel dipencet dengan cepat. Sepertinya tidak sabaran sekali mereka.
"Lama banget sih, Dan! Ibu sudah kepanasan ini," ucap ibu mertuaku begitu aku membuka pintu.
"Ini Rara, Bu. Mas Dani masih kerja mungkin sebentar lagi pulang." Aku mencium tangan ibu dan mempersilakan mereka masuk.
"Wah, rumah Mas Dani besar juga ya, Buk? Tau gitu dari dulu minta tinggal di sini." Ucap Imron, adik Mas Dani setelah masuk ke dalam rumah. Netranya memindai isi rumahku.
"Iya, Aku juga nggak tahu kalau Dani punya rumah semewah ini,"kali ini yang berbicara adalah Mbak Nia.
Yang aku heran mereka tidak menyapaku, apa aku dianggap patung?
"Mbaknya pembantu di sini ya? Malah diam aja, angkat nih koper kita ke dalam," Imron menyerahkan beberapa koper kepadaku.
"Kamar kita sudah dibersihin kan? Aku mau tidur dulu aja, capek. Kamarku yang mana?" Laki-laki di samping Mbak Mia yang berbicara.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah masuk ke dalam rumah dan ke lantai atas, mencari sendiri kamarnya.
Ibu dari Mbak Nia pun langsung berkeliling melihat isi rumah.
Aku hanya melongo, masih tak sadar apa yang terjadi. Jadi, mereka menganggapku pembantu di sini? Apa mungkin karena aku hanya mengenakan daster rumahan? tanpa make up dan masih berkeringat karena baru selesai masak.
"Tapi aku…." belum selesai aku meneruskan ucapanku terdengar ucapan salam dari depan pintu.
"Assalamualaikum," itu suara Mas Dani.
"Walaikusalam." Aku segera mengambil tas kerjanya dan menciumnya takzim.
Mendengar suara Mas Dani, Kedua lelaki tadi kembali ke depan rumah. Sekarang gantian mereka yang bengong melihatku mencium tangan dan memeluk Mas Dani.
"Imron! Bang Ken!" Mas Dani memeluk mereka berdua.
"Baru sampai apa sudah dari tadi? Oh iya, Sudah kenalan belum? Ini istriku, Rara." Mas Dani memperkenalkan aku kepada mereka.
"Hah? Aku kira dia tadi pembantu, Mas karena pakaiannya norak sekali." Imron terang-terangan mengejekku. Padahal dia seorang pria tapi mulutnya lemes sekali. Jengkel aku dibuatnya, tak sopan kepada kakak iparnya.
"Norak? Enggak lah, emang daftar kan nyaman dipakai di rumah. Iya kan, Sayang?" Mas Dani melihatku, aku hanya tersenyum. Untunglah Mas dari membelaku, aku tak perlu menjawab.
"Ya udah, makan dulu yuk, semua udah siap kan, Dek?" tanya Mas Dani padaku.
"Sudah, Mas. Panggil Ibu dan Mbak Nia dulu tadi mereka sedang melihat-lihat rumah."
Kami berkumpul di meja makan, lalu makan bersama. Aku melihat semuanya menikmati masakanku.
"Maaf ya, Mbak. Nanti kukira pembantu, habis Mbak Rara latihan seperti itu, sih!" Imron lalu tertawa. Aku tersenyum dengan terpaksa. Dia niat minta maaf apa enggak sih.
"Aku sudah kenyang, mau tidur dulu, kamarnya yang mana, Dan?" Bang Ken, suami Mbak Nia bertanya kepada Mas Dani.
"Di lantai dua mas, di sana ada dua kamar, untuk kamu dan Mbak Nia, satunya biar untuk Imron. Ibu tidur dibawa aja biar nggak capek naik turun tangga." Mas Dani menjelaskan. Mereka masuk kamar tanpa membantu mencuci piring. Oke, mungkin mereka lelah setelah perjalanan.
Pagi hari setelah salat subuh aku mulai memasak sarapan. Mbak Nia dan ibu juga belum bangun, bahkan hingga Mas Dani berangkat kerja mereka belum bangun! Aku melanjutkan dengan mencuci baju, memang untuk baju-baju yang tipis dan kemeja Mas Dani aku kucek sendiri tanpa menggunakan mesin cuci.
Bruk!
Tiba-tiba Mbak Nia memberikan setumpuk cucian kepadaku.
"Nih! Cuciin sekalian baju kami ya, Ra. Aku masih capek," kata Mbak Nia dengan santainya. Sungguh tidak sopan! Harusnya kalau minta tolong bisa dengan ucapan yang lebih baik. Bukan seakan menyuruh pembantu untuk mencuci bajunya.
Aku tak menjawab. Hanya memasukkan pakaian mereka ke dalam air rendaman sabun dengan merengut.
"Sayang, aku lapar. Ada makanan nggak?" tanya Bang Ken tiba-tiba.
"Kamu sudah masak buat sarapan kita kan, Ra?" Mbak Nia malah tanya kepadaku.
Aku mengangguk.
"Ada, Mas. Yuk, kita sarapan dulu," ajaknya. Tanpa ba bi bu, mereka meninggalkanku yang masih dongkol.
"Mbak, minta cepek dong buat beli kuota!" Imron turun dari lantai dua lalu meminta uang padaku. Pakaiannya pun sudah rapi.
Belum sempat aku menjawab, terdengar suara ibu berteriak dari kamarku.
"Ra… baju warna putih ini buat ibu, ya. Bajunya bagus. Ibu suka!"
Aku bingung. Apa-apaan keluarga ini!