Senja itu di pantai, aku dan Nina menghabiskan akhir pekan. Angin mengembus pelan. Nina menghela napas dalam. Garis-garis wajahnya mengendur. Garis bibirnya melengkung naik. Seolah-olah mengumpulkan keberanian demi membuka mulut. Entah apa yang akan dia katakan. Namun yang kulihat, ada segaris keraguan di air mukanya.
“Kamu kenapa, Nin?” tanyaku setelah cukup lama membeku.
"Kenapa? Maksudnya?"
"Iya. Dari tadi kamu hela-hela napas gitu. Kayak gugup gimana, gitu," kataku sambil tersenyum canggung.
"Ndre, kamu inget aku pernah bilang jangan jatuh cinta beneran sama aku?"
Aku merasa bahwa Nina menggiringku ke arah pembicaraan yang serius.
"Iya, aku inget, kok. Emangnya kenapa?" Aku mengernyit penasaran. Napasku menderu, dan makin canggung karena pertanyaan itu.
"Aku ... mau tarik kembali kata-kataku."
"Loh, kenapa?"
Nina menyorot ke arahku. Garis bibirnya melengkung turun, membentuk senyuman penuh arti. “Aku cinta sama kamu, Andre.”
*
"Al, aku pinjam pacarmu buat semalam aja, boleh?"
Pertanyaan itu aku lontarkan pada Aldi—sahabatku—setelah berminggu-minggu menyiapkan hati dan mental jika pada akhirnya mengalami penolakan. Ini bukan lelucon yang faktanya akan terkesan garing.
Lelaki berhidung pesek itu tampak diam sebelum mulai merespons. Aku tahu pertanyaan itu terkesan mengolok-olok, atau bahkan meremehkan. Paling tidak, aku benar-benar menyatakannya sesuai tujuanku datang.
Bola mataku memutar ke sekeliling ruangan, merasa canggung dan tidak enak. Seperti yang kukatakan, aku serius ingin meminjam kekasih Aldi demi kuperkenalkan sebagai kekasihku pada teman-teman semasa SMA dulu.
"Al? Gimana? A-aku—" kataku, yang kemudian dipotong Aldi secara lugas.
"Boleh." Aldi mengangguk berkali-kali. "Cuma semalam aja, kan?" tanyanya, memastikan.
"Kamu ... serius, Al? Aku boleh?"
"Serius. Oke, no problem asalkan Nina mau diajak jalan sama kamu," katanya sambil mengerjapkan sebelah mata.
Meskipun pada awalnya agak ragu bahwa dia akan menyetujui permintaanku, tetapi itulah yang terjadi. Dia setuju tanpa keberatan sedikit pun. Pasalnya, dia satu-satunya orang yang menjadi temanku sejak lima tahun terakhir. Aldi selalu mengerti dengan berbagai keadaan yang aku alami. Lagi pula, aku juga sering berbagi keluh kesah dengannya.
"Ya, udah. Sekarang, aku bilang ke Nina. Makasih, Al!"
Aku segera pergi menuju rumah Nina yang terletak tiga kilometer dari indekos menggunakan sepeda motor CB klasik milikku, lalu melanglang buana membelah jalanan di sore yang cukup ramai.
Jalan Selaparang memang kerap kali macet di jam-jam seperti ini, dipenuhi bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai kantoran yang pulang bekerja. Ditambah macet akibat mobil yang keluar dari parkiran sebuah rumah makan. Belum lagi pernapasan sesak karena mencium bau asap satai yang beterbangan di jalan tersebut. Kendati demikian, aku menyelinap secepatnya ketika melihat ruang-ruang kosong di antara pengendara mobil dan sepeda motor, lalu meliuk ke samping kiri. Nyaris saja aku menabrak trotoar pembatas jalan. Untungnya, aku sudah cukup ahli dalam hal ini karena tak hanya terjebak macet sekali ini saja.
Setelah cukup lama berkutat dengan kemacetan yang melelahkan itu, akhirnya aku bisa melewati persimpangan, dan motor melaju dengan kecepatan normal.
Bicara soal Nina, perempuan berambut sebahu yang menjadi incaran setiap lelaki karena memiliki bibir merekah, dan hidung lancip itu, aku mengenalnya sudah cukup lama. Yang aku tahu, banyak lelaki ingin menjadikannya kekasih. Bahkan tak jarang sewaktu kuliah dulu orang-orang menitip salam melaluiku. Ia cantik dan memiliki bulu mata lentik. Dulu, kami bertiga selalu menghabiskan waktu bersama di saat Nina dan Aldi belum berpacaran.
Beberapa waktu mengendarai, aku tiba di rumah Nina, lalu menambatkan motor di luar gerbang rumahnya. Aku nyelonong masuk karena gerbang hitam kecil itu memang tak pernah digembok. Kemudian, aku mengetuk pintu rumahnya beberapa kali hingga wajah tirus perempuan itu terpampang jelas di hadapan. Rumah dan orang yang penuh kenangan. Garis wajah vertikal yang membentuk kurva, iris mata yang begitu kukenal, serta bibir yang tampak selalu glowing, dia memang Nina yang tak pernah berubah sejak dulu. Sebab kecantikannya makin hari, makin tidak wajar saja.
"Andre? Tumben ke sini sendiri. Aldi mana?" tanyanya sembari membuka pintu lebar-lebar, lalu celingukan ke sana kemari demi mencari keberadaan kekasihnya itu.
"Aku ... sendiri, Nin. Nggak sama Aldi, kok," ucapku.
"Oh, gitu. Kalau gitu masuk dulu, yuk!"
Aku memasuki rumah sederhana itu. Terdapat empat sofa serta satu meja. Ada beberapa lukisan dan kaligrafi yang terpajang di dinding berwarna putih. Kami duduk saling berhadapan dan berpandangan satu sama lain. Kuperhatikan setiap inci bagian wajah Nina. Kurasa, senyumannya yang presisi itu tak pernah memudar. Aku dulu sering diam-diam memperhatikannya. Kutahu itu hanya kisah masa lalu yang tidak akan pernah terulang kembali.
"Jadi, ada apa, Ndre?" Nina mengangkat sebelah alis, seolah menagih alasan aku hadir di rumahnya lagi setelah cukup lama tak pernah berkunjung karena kami sama-sama sudah lulus kuliah. Tampaknya kehadiranku sudah cukup mampu membawa rasa penasaran. Jika dipikir-pikir, terakhir kali aku ke rumah perempuan itu pada saat membantunya mengerjakan tugas akhir. Dan setelah itu, posisiku digantikan Aldi.
Sementara itu, aku sibuk bekerja paruh waktu demi membiayai kebutuhan hidup. Sejak lulus berkuliah beberapa bulan lalu, kami sudah jarang saling bersua.
"Malam ini ... aku mau ngajak kamu jalan. Kamu mau, kan? Nggak cuma itu, tapi aku juga mau kamu pura-pura jadi pacarku," kataku, langsung. Lagi pula, kami begitu dekat waktu itu. Kupikir aku tak perlu sungkan. Meskipun yang membuatku merasa tidak enak sebenarnya adalah Aldi, sebab diriku tak pernah tahu apa yang dia pikirkan tentangku.
Aku hanya takut dia berpikir jika aku ingin merebut Nina darinya. Ah, semoga saja itu tidak pernah terjadi, dan hubungan pertemanan kami baik-baik saja selamanya.
Nina terkejut mendengar permintaanku. Ia mengernyitkan dahi. Ini mungkin agak mendadak, tapi setahuku Nina mungkin tidak akan menolak permintaan egoisku.
"J-jalan? Dan pura-pura ... jadi pacar kamu, Ndre?! Nggak salah?"
Menjawab pertanyaan itu, aku mengangguk beberapa kali.
"T-tapi—"
"Aldi udah setuju, kok. Jangan khawatir. Aku udah bilang ke dia. Dan cuma pura-pura aja."
"Tapi, kenapa? Kenapa tiba-tiba?"
"Ya ... aku ...." Aku menunduk, berusaha mengumpulkan keberanian mengatakan alasan sebenarnya.
"Kenapa, Ndre?" Kedua alis perempuan itu mengangkat. Tubuhnya condong ke depan.
"Aku ada acara reunian, Nin. Dulu aku sering jadi korban bullying karena nggak punya pacar dan temen. Kalau mereka ngelihat aku belum juga punya pacar, aku yakin mereka bakal ngetawain aku," jelasku, mencoba tetap tenang dan berharap perempuan itu menerima alasan konyol dan menyedihkan itu.
Diriku sendiri menyadari ini langkah yang tidak tepat. Sebab, seharusnya aku menerima kenyataan yang ada. Lagi pula, apakah teman-teman SMA-ku itu masih hobi mem-bully orang lain? Aku juga tak yakin. Namun, tak menjadi masalah jika aku hanya mempersiapkan diri.
"Alasan sesimpel itu?!" semburnya.
"Iya. Jadi ... kamu—"
"Ya, udah deh. Aku mau bantuin kamu, Ndre."
"Serius, Nin?" Aku kegirangan. Mataku membelalak, menagih kepastian.
"Tapi dengan satu catatan," tegasnya.
"Apa?"
"Jangan jatuh cinta beneran, ya. Awas, loh," tandas Nina sambil terkekeh geli.
"Ya, nggak, lah. Masa aku jatuh cinta sama kamu? Kamu ‘kan punya Aldi. Mana mungkin aku ngerebut pacar sahabatku sendiri."
Sudah diputuskan bahwa Nina bersedia membantuku tanpa banyak basa-basi atau meminta imbalan tak masuk akal. Usai mendapatkan persetujuan, aku pun pulang. Tentu saja, aku sudah meminta Nina menunggu di rumahnya pukul 7.00 malam.
*
Sabtu malam pun tiba. Aku dan Nina berangkat ke sebuah restoran di pusat kota. Tentu saja, karena kami bukan pacar sungguhan, Nina tidak memeluk pinggangku seperti yang biasa dilakukan banyak orang. Lagi pula, aku tak berharap dia melakukan hal seperti itu. Dia menyetujui permintaanku saja sudah cukup membuat senang dan bersyukur. Selain itu, jika Aldi melihat kami mesra-mesraan di luar batas wajar, aku pasti akan canggung jika bertemu dengannya.
Restoran One Love, kami tiba tak lama kemudian. Tampaknya, Lisa, Bembi, Indra, serta wajah-wajah lama teman sekelasku di masa putih abu sudah datang dan meramaikan meja restoran. Saat aku datang, mereka terlihat tengah berbincang dan tertawa bergelak. Mungkin mereka sedang membahas masa lalu dan kekonyolan yang pernah mereka lakukan semasa SMA. Hmm, sepertinya aku merasa déjà vu dengan suasana seperti ini. Sayang, aku dulu tak ada di antara mereka. Aku senantiasa menjadi pendengar tawa saja di bangku deretan paling belakang sambil membaca berbagai novel.
"Hai, Ndra, Lisa, Bem, dan yang lain," sapaku sambil menyalami mereka satu per satu.
Semuanya termangu, mungkin masih dalam proses mencocokkan wajahku dengan data di kepala mereka. Ah, seperti komputer saja. Memang wajar, mereka tidak mengingat diriku karena aku hanya bayangan yang selalu di-bully dengan segala kekurangan. Itulah mengapa aku merasa tidak punya teman. Namun, pada akhirnya rasa malu membawaku datang ke tempat ini.
"An ...." Indra hampir mengingatku. Matanya menyipit sambil menuding ke arahku.
"Andre," sambutku kemudian, membantunya mengingat.
"Andre?! Oh my God! Kamu Andre yang sering kami bully dulu itu, kan?" Bembi yang gempal tampak kaget tak percaya.
"Iya, bener, deh. Aku Andre yang dulu selalu kamu rampas makan siangnya," balasku sambil terkekeh, lalu duduk. Aku melirik ke arah Nina, memberikan kedipan sebagai perintah agar duduk di sampingku.
"Astaga. Nggak nyangka kamu banyak berubah, Ndre. Dulu kamu itu dekil and the kumel. Sekarang putih dan ... kuakui cakep, sih. Tapi, kayak masih ada yang kurang aja, gitu. Entahlah."
Perempuan itu Lisa. Aku tak menyangka dia berubah menjadi perempuan feminim. Anggun sekali, sebab dulu ia adalah salah satu preman di sekolah yang menjadi langganan keluar-masuk ruang BP.
"Lalu, itu siapa? Cewekmu?" Indra menunjuk Nina.
"Ah, iya. Kenalin, dia Nina, pacarku."
"Hai, semuanya. Aku Nina dan ...." Nina melirikku sekejap. "Aku pacar Andre."
“Kalian udah berapa lama pacaran?” tanya Bembi, dengan sudut bibir tertarik ke kanan.
“Lumayan, sih. Udah beberapa bulan, gitu,” kataku sambil manggut-manggut. Aku berusaha tetap tenang menghadapi setiap pertanyaan yang masuk. Yah—semoga saja aku berhasil melewati segala jenis pertanyaan.
Tidak dimungkiri, semua mata tertuju pada paras Nina yang kuakui tak biasa. Dia betul-betul wanita sempurna idaman setiap lelaki. Bahkan tidak hanya kaum laki-laki yang memperhatikan, tetapi juga para perempuan di restoran tersebut seolah-olah iri dengan kecantikan alaminya itu.
Mengenyampingkan soal itu, yang penting misiku berhasil. Tidak ada yang mem-bully-ku di acara reuni tersebut seperti yang kuharapkan. Dan itu semua berkat Nina yang setuju pura-pura menjadi pacarku. Meskipun benar, sih, kalau teman-temanku itu mungkin pada akhirnya tidak berniat mem-bully-ku lagi. Selain itu, mereka juga sudah banyak berubah. Dan kuyakin, mereka tak ingin menghabiskan waktu untuk menghina orang lain.
Akan tetapi, cerita tidak berakhir sampai di situ. Setelah malam itu, aku jadi lebih sering keluar bersama Nina. Ke mana pun itu. Jika Aldi tak sempat mengantarnya ke suatu tempat, maka aku bersedia menjadi pengganti. Aku selalu menuruti ke mana Nina ingin pergi.
Semua orang pun tampak menyangka bahwa aku dan Nina adalah sepasang kekasih. Orang-orang yang kukenal di tempat kerja mulai mencocok-cocokkan kami. Aku tersipu ketika itu terjadi dan selalu menyangkal tuduhan yang datang dari mereka.
*
“Aku nggak cinta sama Aldi, Ndre,” tandas Nina, lirih. "Aku nggak pernah bisa mencintai dia selama bertahun-tahun pacaran. Aku cinta sama kamu."
Bukan khayal ataupun mimpi. Namun, ini merupakan nyata dan fakta. Aku baru saja mendapatkan surprise yang membuat hati dilanda kecemasan di tingkat paling tinggi. Kenapa aku tidak senang? Tentu, itu karena Nina adalah kekasih sahabatku sendiri.
"Aku ... aku sama sekali nggak ngerti—"
"Kamu nggak sadar selama ini kalau aku nyimpen perasaan cinta buat kamu. Dulu saat aku mau nyatain perasaan ke kamu, Aldi tiba-tiba datang dan lebih dulu nembak aku. Dan kamu? Kamu nggak ngelakuin apa-apa waktu itu, Ndre. Kita terjebak friendzone yang nggak ada akhir.
“Aku ngerasa kecewa. Padahal aku udah ngasih sinyal biar kamu tahu kalau aku suka sama kamu. Nyatanya kamu sama sekali nggak peka sama semua yang aku lakuin. Aku selalu berjuang sendirian.
“Tapi karena takut bakal ngerusak persahabatan kalian, aku terpaksa nerima Aldi dan mendam perasaan aku buat kamu. Sampai kapan kita bakal terjebak di zona pertemanan ini, Ndre?"
Tatapan serius Nina mengandung kesedihan yang sangat dalam, bercampur harapan yang sedikit lagi tanggal karena duka. Sendu, bahwa ia cemas perasaannya tidak terbalas. Harapan, bahwa aku akan melakukan sesuatu untuknya.
Nina bergeser secara perlahan. Dia meraih tanganku, lalu mengelus dengan lembut. Sekilas itu, aku menelan ludah kasar, memperhatikan sikapnya yang penuh perhatian. Sesekali aku menatap bola matanya. Dia memberikanku senyuman merekah yang menumpahkan segala harapan. Bagiku sendiri, kami tidak akan bisa menjadi sepasang kekasih. Itulah mengapa aku dengan cepat memisahkan tangan kami.
"Maaf, Nin. Aku nggak bisa. Kamu cuma kekasih pinjaman bagi aku. Sekali lagi, maaf, Aldi sahabatku. Kamu pacarnya. Kita nggak bakal bisa. Dari awal, kamu nggak pernah jadi tujuan utamaku." Aku mengatakan kalimat kejam itu dengan lirih. Nina makin menahan kesedihan, tetapi gagal. Setitik cairan bening muncul di manik indahnya.
"Kenapa, Ndre? Ke ... kenapa?" Nina berusaha menahan tangis. Rasanya pasti sakit sekali. Meskipun aku tak pernah merasakan ditolak, setidaknya aku sering membaca novel romansa dan mengerti apa yang tokoh-tokoh dalam novel itu rasakan ketika cinta bertepuk sebelah tangan.
"Kamu cuma bisa jadi kekasih pinjaman aku. Cuma itu, Nin. Kita nggak bakalan pernah bisa sama-sama."
Aku memberikannya senyuman palsu. Tepat ketika mentari tenggelam di ufuk barat, Nina terisak, mengiringi sunyi yang melantunkan ayat-ayat kesedihan.
“Maafin aku.”
*