Kekasih Pilihan

Kekasih Pilihan

Hayatun_Sakinah

4.9

Pembuka Kisah

 

Ada dua insan yang sama-sama menaruh hati secara diam-diam. Rasa itu tumbuh sudah begitu lama. Namun, adakah itu awal dari rasa cinta? Jika iya. Maka, akan lebih afdhol didiskusikan pada DIA yang menumbuhkan rasa. Bertanya pada DIA yang memiliki dan menanamkan kasih sayang pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Sebab, terkadang rasa yang terlanjur ada bukanlah rasa yang akan dititipkan, bukan pula bentuk cinta yang di Ridhoi Tuhan.

Akhirnya, semua keputusan mereka serahkan atas dasar kehendakNya. Siapapun yang akan ditakdirkan, itulah yang terbaik menurut Allah. Allah lah yang Maha Tahu hal terbaik untuk hambanya. Sebab baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut pandangan Allah dan buruk menurut pandangan manusia belum tentu buruk menurut pandangan Allah. Apa yang manusia sukai, belum tentu baik untuknya dan apa yang manusia benci, belum tentu buruk untuknya. Allah mengetahui, sedang manusia tidak mengetahui. Sesuai dengan Firman-Nya :

وَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْــئًا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّـکُمْ ۚ وَعَسٰۤى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْــئًا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْـتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Pilihan manusia belum tentu menjadi pilihan Allah. Oleh karenanya, sebelum mengambil keputusan tentang perihal apapun, maka alangkah baiknya tanyakan dulu ke Allah, mohonlah petunjuk dan mintalah pertolongan-Nya. Manusia hanyalah makhluk ciptaan-Nya yang tidak mengetahui apa-apa akan takdir yang telah Allah tetapkan, tidak pula mengetahui kebaikan ataupun keburukan yang akan terjadi.

Kemudian, cara terbaiknya adalah dengan shalat. Shalat istikharah. Setelah perjalanan panjang, ikhtiar menjemput cinta diiringi dengan do'a yang selalu melangit, mereka lakukan tanpa sepengetahuan satu sama lain. Kedua insan tersebut bertanya pada Sang Pemilik hati, yang Maha membolak balikkan hati seorang hamba sesuai dengan kehendak-Nya.

Di mana diri merasa lemah untuk memutuskan sendiri. Bersimpuh dan merendah pada-Nya. Melapangkan hati, meletakkan sepenuhnya pengharapan hanya pada Allah. Mengembalikan rasa pada yang Satu, untuk mengambil keputusan. Siapa yang akan ditakdirkan menjadi jodoh. Peneman sisa usia.

Shalat istikharah tidak hanya dilakukan ketika memiliki pilihan, tapi juga untuk meyakinkan hati bahwa keputusan yang akan diambil bukanlah keputusan yang berdasarkan akal ataupun perasaan. Namun merupakan keputusan terbaik yang sudah melalui jalur konfirmasi kepada Sang Pencipta, Allah Ta'ala. Shalat istikharah bukan hanya sekedar meminta petunjuk kepada Allah, tapi menyerahkan segala-galanya kepada-Nya. Maka hasil dari Istikharah itulah pilihan Allah yang terbaik untuknya dan tidak akan menyesal dikemudian hari. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda :

ما خاب من استخار ، ولا ندم من استشار ...

"Takkan merugi orang yang (menentukan pilihannnya dengan melakukan) shalat istikharah dan takkan menyesal orang yang (menetapkan keputusannya dengan) bermusyawarah..." (HR. ath-Thabrani)

Shalat istikharah dilakukan tidak hanya tentang perkara jodoh, tapi juga segala perkara penting sebagai tanda bahwa manusia menyerahkan segala urusannya kepada Allah, setiap langkah , setiap nafas, setiap keputusan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa sahabat Jabir bin Abdullah berkata : " Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita agar mengerjakan shalat istikharah dalam menentukan pilihan yang penting. Beliau bersabda : "Apabila diantara kalian memilih sesuatu yang penting, maka shalatlah dua rakaat, kemudian berdoalah..." (HR. al-Bukhari).

Maka, apapun yang terjadi setelah Istikharah itulah yang terbaik menurut Allah untuk manusia. Shalat istikharah mengajarkan manusia arti tawakkal yang cukup tinggi.

Akhirnya, setelah kedua insan melakukan istikharah panjang. Mereka benar-benar pasrah, Tawakkal akan ketetapan Allah. Maka ternyata rasa yang pernah ada diantara mereka berdua, meski satu sama lain namanya selalu melangit diheningnya subuh. Tidak berakhir pada kisah yang diharapkan. Rasa yang hadir diantara kedua insan tersebut hanyalah sekedar ujian sepanjang perjalanan pencarian makna cinta yang hakiki. Meski telah diikhtiarkan untuk menjemputnya, ternyata mereka tidaklah menjadi pilihan Tuhan untuk ditakdirkan bersama.

Lantas, bagaimanakah kedua insan tersebut menemukan kekasih yang dipilihkan Tuhan untuknya? 

Bagaimanakah cara mereka mengatasi rasa yang kian merekah sebelum tiba waktunya ?

Apakah itu Cinta? 

Bukankah cinta hanyalah untuk dia yang sudah menjadi hak atas izinNya ?

Di penghujung lembar, wanita dalam kisah ini akhirnya dengan segala kepasrahan jiwa, jatuhlah hatinya pada pilihan itu. Yakni setelah di mantapkan dengan ikrar AKAD oleh seorang pemuda pilihan Tuhan yang belum pernah ditemuinya dikehidupan nyata, namun hadir dalam mimpi ketika Istikharah akan diakhiri sebelum pertemuan terjadi.

Maka, dengan sadar, dirinya mengakui bahwa seseorang itulah yang ditakdirkan Allah untuk melabuhkan rindu yang lama terpendam, amanah untuk dijaga, dan penyempurna agama. Iapun menyadari bahwa inilah bentuk Cinta yang hakiki, yang diRidhoi Tuhan untuknya, menyatu dalam ikatan suci PERNIKAHAN. Dalam satu kata "CINTA ILAHI". Dialah kekasih pilihan, yang diridhoi Tuhan.


1.    Harus Bagaimana ?

 

Selasa, 4 Oktober 2011.

"Kring...kring...kring..."

Ricuh suara bel berbunyi dari ruang OSIS yang berjarak 10 meter dari kelas Dzakiyah. Wajah bahagia terlihat dari senyuman para siswa yang memandang satu sama lain seperti memberi kode tak sabar ingin keluar menyantap jajanan di kantin sekolah. 

"Yuhu...... istirahat guys"  teriak Dico yang duduk di bangku paling sudut sebelah kanan barisan nomor dua didekat jendela sambil menepuk tangan ke meja. Spontan, semua mata melihat kearahnya sambil tertawa.

Bapak Fariz guru Agama muda, tampan nan berwibawa, sedikit kocak, masih single pula adalah idola para siswi di Sekolah Menengah Kejuruan Nurul Hikmah 2 Bekasi, Jawa Barat. Beliaupun akhirnya menutup pelajaran.

" Oke , jangan lupa hafalannya ya. Selasa depan akan bapak tes satu persatu. Marilah kita tutup pelajaran dengan mengucapkan lafaz hamdallah".

"Alhamdulillahirobbil'alamin" semua siswa bersuara. 

Rahmah Nadia sahabat terdekat Dzakiyah, melirik kearah Pak Fariz sambil senyum-senyum sendiri. Terlihat sekali dari pupil matanya kalau Rahmah memiliki rasa kagum yang tidak mampu disembunyikannya dan Dzakiyah tahu akan hal itu.

Setelah Pak Fariz keluar dari kelas, semua siswa beranjak dari tempat duduknya. Kebanyakan siswa menuju kantin sekolah. Ada juga sebagian kecil yang menghabiskan waktu istirahatnya di Perpustakaan dan beberapa siswa lainnya pergi ke ruang ibadah untuk menunaikan sholat Dhuha. Seperti hari-hari biasa setiap jam istirahat Dzakiyah dan Rahmah pergi ke ruang ibadah terlebih dahulu, barulah setelah Dhuha mereka menuju kantin sekolah.

Yap, mereka sering berdua. Guru-guru menyebut mereka kembar ibarat saudara seperti Upin dan Ipin. Padahal enggak, dari segi wajah mirippun enggak juga. Tinggi apalagi, Dzakiyah lebih tinggi 8 centimeter dibandingkan Rahmah. Mungkin karena memiliki karakter yang hampir sama ditambah lagi sering bersama, jadi terlihat seperti saudara kembar. Tepatnya, guru-guru menyebut mereka kembar tapi beda. Meski sering berdua, sekali-kali ada juga teman yang mau ikut ketika diajak barengan sholat Dhuha.

Hari itu, tak seperti biasanya. Mata Dzakiyah terlihat sembab, wajah lesu seperti baru menangis semalaman. Rahmah tahu ada sesuatu yang terjadi pada Dzakiyah. Dalam hati Ia menerka kemungkinan ada sangkut paut dengan jilbab berantakan kusut yang dipakainya hari ini. Keluar dari kelas mereka berdua berwudhu lalu menunaikan sholat Dhuha empat roka'at. Usai berdo'a, Rahmah yang lebih dulu selesai melipat mukenah mengusap bahu Dzakiyah.

" Kiyah, kamu kenapa? Mata sembab, jilbab berantakan kusut, kenapa sahabatku?" 

Dzakiyah hanya terdiam sambil melipat mukenah, matanya menunduk menyembunyikan sesuatu. 

"Ibuk ya?" tanya Rahmah penasaran akan permasalahan yang sedang dihadapi Dzakiyah.

Namun Dzakiyah tetap terdiam kemudian Ia berdiri meletakkan mukenah kedalam lemari kaca. Kepalanya menoleh menghadap Rahmah.

"Aku ceritakan nanti ya Mah, pulang sekolah aku main bentar kerumahmu. Sekarang kita ke kantin dulu yuk, lapar..."  ajak Dzakiyah mengalihkan pertanyaan. 

"Yuk..." berdiri Rahmah kemudian merangkul Dzakiyah sambil berjalan menuju kantin.

 

* * * * *

 

Sampai di kantin, suasana tampak begitu ramai, suara ribut sahut-sahutan sana sini.

"Bu... beli ini bu... bu beli bu..bu....bu ni duitnya bu..."  para siswa berebutan mengantri mengambil jajanan tak sabaran ingin cepat-cepat membungkus makanan yang kemudian dibawa kebawah pohon untuk dimakan duduk bersama teman-teman sambilan mengobrol bercanda. Ibu kantin sibuk kewalahan menerima uang bayaran yang mereka berikan.

Dari belakang, terlihat Dico sedang memegang sendok goreng punya Ibu kantin . Ia sedang memasak mie rebus dengan telur setengah matang kesukaannya. Tak ingin menunggu lama agar ibu kantin membuatkannya, Dico pun cusss memasak sendiri pesanannya. Sementara yang lain, ada yang ambil lontong dan miso karena tidak ribet harus dimasak lagi, sebab hanya tinggal dituangi kuah. Rahmah dan Dzakiyah mengambil gorengan pisang, bakwan dan risoles yang diletakkan kedalam satu piring, tak lupa juga Dzakiyah menuangkan saus tomat kedalamnya. Mereka duduk berdua bak adik kakak di meja tengah.

Datang Dico dari belakang menghampiri mereka berdua sembari membawa mie telur masakannya.

"Eh Kalian para ukhti. Hihihi Assalamu'alaikum"  sapaan usil Dico pada Rahmah dan Dzakiyah sambil senyum meletakkan makanannya diatas meja.

"Apaan sih Dic, ukhti....ukhti.... haha" Sambut Rahmah.

"Wa'alaikumussalam Warohmatullah" jawab Dzakiyah lirih pelan namun masih sedikit kedengaran.

"Kiyah, boleh ane duduk disini?" tanya Dico melihat Dzakiyah yang terlihat diam saja sejak masuk kelas tadi pagi. Tanpa berucap, Dzakiyah melihat Rahmah seakan-akan berbicara menggunakan bahasa isyarat mata.

" Ya udah Dic,duduk aja kali... tapi kursinya nggak ada, ambil dulu deh" jawab Rahmah menanggapi isyarat dari Dzakiyah.

Dicopun mengambil kursi. Karena ia tak melihat minuman diatas mejanya tadi, dengan baik hati Dico mengambil minuman air putih untuk mereka bertiga. 

"Eh, Syukron Dic bawain minum segala" 

"Afwan Mah" senyum Dico sambil duduk.

Dico dan Rahmah adalah saudara sepupuan yang dulunya ketika Madratsah Tsanawiyah pernah nyantri di Pondok Pesantren yang sama. Wajar saja kalau mereka bertemu bicaranya menggunakan bahasa arab meskipun hanya sedikit.  Merekapun menyantap makanan dengan segera, sebab waktu istirahat hanya tinggal sepuluh menit.

Terik matahari begitu panas menembus ke celah-celah pakaian sekolah yang sudah bercampur keringat. Kendaraan bising ditepian jalan. Rahmah dan Dzakiyah menutupi wajah mereka dengan buku bawaan yang cukup tebal melawan silaunya cahaya matahari, mereka berjalan kaki pulang kerumahnya Rahmah yang tidak jauh dari sekolah.

"Kiyah, kamu dah izinkan? "

"Udah Mah, tapi cuma sebentar"

"Trus, gimana ceritanya jilbab kusut gitu?"

"Jilbab ni tadi pagi aku cari nggak dapat-dapat, rasanya udah disetrika tapi rupanya terselip di lemari adik. Dah la, takut terlambat tadi, ya nggak aku setrika"

"Oalah ndok...ndok... kirain apa toh" sambung Rahmah dengan suara medok.

Sepanjang perjalanan, Rahmah Sholawatan dengan suara merdunya. Mereka berdua memberi senyuman pada sesama pejalan kaki. Kebanyakan adalah para Ibu menjemput anak-anaknya yang baru saja pulang dari Sekolah Dasar.

Sampai dirumah, diruang  TV mereka duduk ber-empat  bersama  adik dan ibunya Rahmah. Dzakiyah membuka tas dan mengeluarkan barang bawaannya.

"Mah, aku titip ini ya ke kamu" Dzakiyah menyodorkan barang tersebut ke tangannya Rahmah.

Rahmah kebingungan mencoba memahami maksud Dzakiyah.

"Kiyah, inikan yang kamu beli dari Ibu Susi minggu kemarin. Kok mau dititip ke aku, nggak jadi kamu pakai?"

Baru saja dua hari yang lalu Dzakiyah membeli sepasang pakaian syar'i, gamis dan jilbab panjang berwarna biru dari hasil uang tabungan mengajarnya. Dalam tiga kali seminggu Dzakiyah mengajar les anak-anak di sekitar rumahnya sebagai kegiatan tambahan sepulang sekolah. Sebab amanah dari beberapa Ibu-ibu tetangga yang mempercayai Dzakiyah untuk menyisihkan sebagian waktu dan ilmunya kepada anak-anak mereka untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur'an bersamanya. Maka dengan senang hati Dzakiyah menerima amanah itu. Setiap akhir bulan Ibu-ibu tersebut memberikan tambahan uang saku pada Dzakiyah sebagai tanda terimakasih mereka padanya. Dari situlah Dzakiyah bisa menabung untuk membeli pakaian syar'i.

Yap, memiliki pakaian syar'i adalah keinginan besar Dzakiyah yang lama tertunda. Sudah dalam lima tahun terakhir sejak Ia memasuki usia baligh, Ia meminta izin untuk mengenakan pakaian syar'i. Namun keinginan itu belum dapat respon baik dari kedua orangtuanya. Setiap kali pergi belanja sebelum hari lebaran, Dzakiyah selalu melirik pakaian gamis sepasang dengan jilbab panjang yang dipajang berjajaran di dinding toko muslim. Namun Ibunya selalu saja mengalihkannya dengan pakaian yang lain. Sungguh terlihat anggun ketika seorang muslimah menggunakannya. Dzakiyah seperti mendapat setitik cahaya bidadari surga dari pancaran senyuman oleh mereka yang menggunakannya. Hatinya tergerak penasaran ingin mencoba pakaian syar'i itu. Namun belum jua terwujud hingga saatnya Ia bisa mengumpulkan uang untuk membelinya.

Hari Ahad sepulang dari kajian, Dzakiyah dan Rahmah mampir ke toko Bu Susi .

"Huft...Akhirnya Ya Allah" gumam Dzakiyah sambil melihat-lihat pajangan pakaian syar'i didalam toko.

"Kiyah, ni kayaknya cocok deh sama tingimu, cantik warna biru" Rahmah menunjukkan sepasang baju pada Dzakiyah.

"Aku coba dulu ya Mah".

Kemudian Dzakiyah memakainya dan melihat ke cermin. Dengan senyuman kebahagiaan Ia berucap,

"MasyaAllah Mah, ini cantik banget".

Rahmah tersenyum berdiri disamping Dzakiyah yang berhadapan dengan cermin besar.

"Ya udah, beli yang ini aja Kiyah"

Akhirnya tanpa pilih-pilih lagi dan banyak basa-basi, pakaian syar'i berwarna biru itupun dibeli.

Sampai dirumah, Dzakiyah mengunci pintu kamar agar tidak ketahuan Ibunya sebab Ia ingin mencoba memakainya sekali lagi. Ia begitu bahagia setelah sekian lama akhirnya keinginan untuk membeli pakaian syar'i bisa terwujud. Menunggu orangtuanya mengizinkan, entah sampai kapan. Oleh sebab itu secara diam-diam Dzakiyah membelinya.

"Alhamdulillah Ya Robb" gumamnya dalam hati sambil melihat dirinya didepan cermin dekat jendela kamar. Rasanya ingin berlama-lama mengenakan pakaian itu. Tiba-tiba dari dapur Ibu memanggil, 

"Kiyah.... bantu Ibu sini, beli kecap dulu kekedai ".

"Iya buk.... sebentar..." Jawab Dzakiyah dari dalam kamar.

Dzakiyah sungguh kegirangan dengan pakaian syar'i yang masih digunakannya. Kemudian dengan sangat buru-buru karena takut ketahuan Ibu, Ia bergegas membuka pakaian itu, melipat, lalu meletakkannya kedalam lemari yang diselipkan diantara baju-baju sekolah.

Di Dapur, Ibunya sudah mengomel ngomel karena Dzakiyah tak muncul-muncul. Terburu-buru dan ingin cepat, tanpa berpikir panjang akhirnya Ibunya menyuruh Nina adik perempuan Dzakiyah yang baru kelas 5 SD. Nina yang sedang bermain bersama Rido si kecil bungsu langsung cusss pergi menggunakan sepeda. Satu menit kemudian setelah Nina Pergi, selesai menyimpan pakaian syar'inya, Dzakiyah ke Dapur.

"Apa Buk yang mau dibeli"

"Udah..nggak jadi. Adikmu Nina tu yang beli, kamu lama kali disuruh"

" Tadi Kiyah ada urusan Buk, sebentar. Maaf..."

"Nih... aduk dulu" sambung Ibu menyuruh Dzakiyah mengaduk bubur kacang hijau.

Esok harinya, sore Senin saat membaca buku diruang tamu, Ibunya tiba-tiba datang dari arah kamar Dzakiyah sedang membawa suatu barang. Kemudian duduk disamping kanannya sambil meletakkan barang tersebut didepan Dzakiyah. Seketika melihat barang itu Dzakiyah begitu kaget, Ia berhenti dari kegiatan membacanya.

" Loh...kok bisa. duhhh... gimana ni Ya Allah" gumamnya dalam hati.

Ia heran kenapa Ibunya bisa tau soal pakaian syar'i yang baru saja dibelinya sehari yang lalu.

" Kapan beli ini ? " tanya Ibu.

" Kemarin buk" jawab Kiyah sambil memegangi pakaian syar'inya.

" Di keluarga kita belum ada yang pakai seperti ini Kiyah, dilingkungan rumah kita juga belum ada yang pakai jilbab-jilbab panjang begini. Ibu sendiri saja masih pendek jilbabnya. Ibuk malu kalau kamu pakai yang seperti ini, nanti dibilang beda sendiri. sesatlah...inilah...itulah, apa kata orang nanti. Kamu harus kembalikan pakaian ini besok. Ibu nggak mau tau, Kiyah."

Dzakiyah terdiam, perlahan air matanya menetes. Kebahagiaannya yang baru saja dirasakan sehari sudah harus dikubur. Ia tidak menyangka bahwa Ibunya mengatakan hal demikian dan menyuruhnya untuk mengembalikan pakaian syar'i yang baru saja dibelinya. Keinginan besarnya untuk memiliki pakaian syar'i lagi-lagi tertunda. Dengan pelan, Kiyah berjalan ke kamar membawa buku bacaannya dan pakaian itu meninggalkan Ibunya diruang tamu.

Dzakiyah sangat teramat sedih. Baru saja sehari Ia menyimpannya namun sudah harus dikembalikan. Sore itu Ia mengurung dirinya didalam kamar dan hanya keluar diwaktu-waktu sholat. Ia menangis tanpa suara. Pertanyaan demi pertanyaan menghampirinya. Yang Ia tau, berpakaian syar'i itu adalah hal yang baik dan perintah Allah. Tapi kenapa Ibu masih belum mengizinkan. Dzakiyah tau akan perintah Allah dalam Al-Qur'an :

 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖوَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖوَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ  …

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka ….” (QS. An-Nuur: 31)

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. Al-Ahzab: 59)

 

Dzakiyah terus bertanya-tanya hingga malam akan tertidur. Ia tak berhenti menangis. "Harus bagaimana ?" pertanyaan ini menyambar hati menjadi dilema bagi dirinya. “Harus bagaimana Ia menghadapi sikap Ibunya”. Keinginan itu sudah sangat lama. Sangat tidak mungkin pakaian syar'i itu Ia kembalikan ke toko Buk Susi sebab Ia sudah membelinya. Lantas, harus bagaimana Ia menyembunyikan pakaian itu. Akhirnya, Dzakiyah memutuskan menitipkan pakaian syar'inya kepada Rahmah.

"O...owh jadi gitu ceritanya kenapa hari ini matamu sembab gitu, wajah lesu. Nggak apa-apa Kiyah. InsyaAllah suatu hari nanti Ibu akan ngizinin kok. Doain aja , Allah yang akan melunakkan hati Ibu"  sambung Rahmah setelah mendengar cerita Dzakiyah.

"Iya nak Kiyah, sabar... dan do'akan" sahut Ibunya Rahmah yang dari awal duduk bersama dan ikut menyimak cerita Dzakiyah. 

"InsyaAllah, makasih ya Mah, Buk... Dzakiyah titip ini dulu. Kapan waktunya kalau udah diizinkan, akan Kiyah ambil. Tolong disimpan ya Mah".

Rahmah tersenyum sambil mengambil barang berupa pakaian syar'i yang disodorkan Dzakiyah kepadanya.

"Oke deh, siip..." ucap Rahmah sambil merangkul pundak Dzakiyah.

 

* * * * *