Di sudut ruangan sebuah kafe dengan cahaya lampu yang temaram, seorang laki-laki bertubuh tinggi, gagah dan berwajah tampan tengah duduk sendirian. Ia tampak gelisah, sesekali ditengoknya benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, serasa waktu berjalan begitu lama. Setiap ada pelanggan yang datang dengan cepat-cepat ia menoleh dan memastikan siapa yang datang, entah sudah berapa kaum hawa yang melintas namun bukan orang yang diharapkannya. Bara Mahendra Subrata seorang bos muda berusia 27 tahun, yang sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan wanita yang sangat dicintainya.
Sesekali Bara menyeruput minuman yang tersaji di meja, sudah hampir 2 jam ia menunggu hingga membuatnya terkantuk dan mulai jenuh. Namun semua itu bisa dilawan olehnya karena demi bertemu pujaan hatinya. Tak berselang lama akhirnya seorang wanita cantik dengan gaun merah muda serta tas kecil ditangannya membuat ia tampak lebih anggun dan mempesona datang menghampirinya. Sebut saja Nadia Patrisia, seorang model cantik yang kariernya tengah beranjak naik. Ia langsung menyapa Bara yang tengah duduk menunggunya.
“ Sayang aku minta maaf ya, sudah buat kamu menunggu lama,” ucap Nadia dengan manja sambil memeluk Bara dari belakang.
“ Enggak apa-apa, santai saja,” jawab Bara.
Meski waktu terbuang begitu lama saat menunggu kehadiran Nadia, namun Bara tak bisa marah kepada pujaan hatinya itu. Memang hatinya sudah ditutup oleh cintanya kepada Nadia.
Bara segera memesankan makanan dan minuman kesukaan Nadia. Ia tahu betul Nadia sangat menjaga pola dan porsi makannya. Bara dan Nadia tampak bahagia menikmati kebersamaan mereka.
Memang akhir-akhir ini Nadia sangat sibuk menekuni profesinya sebagai seorang model, berbagai jadwal pemotretan dan membintangi berbagai iklan produk kecantikan membuat ia tak punya waktu untuk bersama Bara. Hal ini membuat Bara merasa kesulitan untuk sekedar bertemu dengan Nadia. Bara tidak ingin hubungannya dengan Nadia akan semakin renggang, karena ia benar-benar mencintai Nadia dan tidak ingin kehilangan dia.
Bara memutuskan untuk melamar dan akan segera menikahi Nadia, ia telah mempersiapkan cincin untuk melamar Nadia. Setelah menunggu saat yang tepat, Bara mengutarakan keinginannya untuk melamar Nadia. Bak pujangga ia merangkai kata untuk mengungkapkan maksud dan keinginannya. Tapi rupanya Nadia belum siap jika harus menikah dengan Bara. Ia beralasan masih ingin fokus dengan kariernya.
“ Maafkan aku Bara, aku belum siap menjadi seorang istri, aku tidak ingin karierku hancur hanya gara-gara aku menikah denganmu. Belum lagi kalau nanti kita punya anak pasti tubuhku tidak akan sebagus sekarang ini, aku akan menjadi gendut. Pasti aku sudah tidak laku menjadi seorang model lagi, aku tidak mau hal itu terjadi padaku,” kata Nadia.
“Tapi Nad, semua itu bisa diatur nanti bila kita sudah menikah!”
“Aku tidak bisa Bara, aku tidak mau terikat oleh pernikahan, aku masih ingin mengejar mimpiku menjadi seorang model terkenal, masa depanku masih panjang. Tidak ada yang bisa menghentikan langkahku, termasuk kamu Bara."
Suasana yang tadinya romantis dan penuh bahagia kini berubah dingin dan menegangkan karena penolakan Nadia.
Bara berusaha memberi pengertian kepada Nadia, namun Nadia tidak mau mendengar penjelasan Bara. Bara memohon-mohon hingga berlutut di hadapan Nadia, namun ia tak menghiraukan usaha Bara. Nadia tetap bersikukuh tidak mau menikah dengannya, Nadia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, lalu ia pergi meninggalkan Bara. Berbagai cara dilakukan Bara agar Nadia tidak meninggalkannya, tetapi hati Nadia sudah tertutup untuk Bara.
Hati dan perasaan Bara terasa sakit bagai tersayat sembilu, ia tidak menyangka bahwa wanita yang sangat dicintainya telah menolak lamarannya. Ia masih tak percaya dengan apa yang telah dilakukan Nadia kepadanya. Bara mengamati cincin yang sedari tadi dipegangnya, lalu ia berteriak dan membuang cincin tersebut.
Dengan pikiran yang kalut, Bara melampiaskan kesedihannya dengan minum alkohol, entah berapa botol minuman yang telah dihabiskannya. Dengan cara itu dia berharap bisa melupakan Nadia yang telah menyakitinya. Bara yang tengah mabuk tidak bisa mengontrol dirinya, ia berteriak memanggil-manggil nama Nadia. Ia menganggap setiap pengunjung wanita adalah Nadia, para pengunjung pun resah, akhirnya Bara dibawa keluar dari kafe tersebut.
Pak Jaja sang sopir pribadi Bara melihat kondisi sang bos yang tengah mabuk berat segera memapahnya menuju ke dalam mobil lalu mengajaknya pulang. Sepanjang perjalanan Bara tak henti-hentinya memanggil nama Nadia.
“Nadia sayang, kenapa kamu tega meninggalkanku, padahal aku sangat mencintaimu. Jangan pergi dariku, aku tak bisa hidup tanpa kamu!”
Setelah sampai di rumah, pak Subrata ayahnya Bara kaget melihat kondisi anaknya yang tengah mabuk berat. Beliau tidak suka dengan apa yang dilakukan Bara, namun ia tak lantas memarahi sang anak. Beliau hanya berpikir bahwa sang anak mungkin tengah menghadapi masalah besar. Pak Subrata menyuruh pak Jaja untuk mengantarkan Bara ke kamarnya untuk beristirahat.
Pak Subrata bertanya kepada pak Jaja dengan apa yang terjadi pada Bara anaknya. Beliau hanya tersenyum dengan apa yang diceritakan oleh sang sopir. Ia berharap Bara bisa segera mengatasi masalah yang dihadapinya.
Keesokan harinya Bara masih bermalas-malasan di tempat tidurnya, tubuhnya terasa lemas sepertinya ia tak punya kekuatan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Semangat hidupnya terasa hilang, ia tak ingin berbuat apa-apa, di dalam pikirannya hanya ada Nadia. Terdengar suara pintu kamarnya diketuk berkali-kali sambil memanggil namanya, dengan langkah yang berat Bara membukakan pintu, rupanya pak Subrata dan istrinya ingin melihat kondisi sang anak.
“Ada apa Pa?” Tanya Bara sambil berdiri memegangi gagang pintu.
“Bagaimana kondisi kamu sayang ? Apa kamu baik-baik saja?” Tanya sang mama.
“Seperti yang mama lihat, hati Bara sakit Ma,” ucap Bara sambil memeluk mamanya.
Bara mulai menangis dalam pelukan mamanya, sang mama berusaha menenangkan dan menguatkan hatinya Bara.
“Boleh kami masuk?” Tanya sang ayah.
“Iya Pa,” jawab Bara.
Pak Subrata melangkahkan kakinya ke dalam kamar diikuti sang istri dan Bara dari belakang, kemudian beliau duduk dan mulai menasihati Bara. Beliau hanya berpesan agar Bara tidak terlalu larut dalam kesedihan, mungkin Nadia memang bukan jodohnya, masih banyak wanita lain yang lebih baik dari Nadia. Tapi Bara tidak bisa melupakan Nadia, ia masih berharap Nadia mau kembali kepadanya. Bara bertekad untuk mendapatkan kembali cinta Nadia, karena ia sudah terlanjur mencintai Nadia.