Kayla And The Untold Story

Kayla And The Untold Story

Anggraeni Permata

0

Jadi disinilah aku sekarang. Berjalan sempoyongan tanpa arah menyusuri lorong panjang dan gelap. Pandanganku menyapu bersih ke seluruh ruangan memanjang ini. Pemiliknya bahkan tidak sanggup membayar tagihan listrik gedung ini lagi. Beberapa lampu di berbagai sudut telah padam sepenuhnya, namun ada pula yang masih berkedip-kedip mencoba untuk tetap bercahaya. Lantai keramik yang aku tebak dulunya sangat rutin dipel, kini berganti warna usang dan terdapat bercak noda di sepanjang lantai. Mungkin bercak darah mengering. Mengingatkanku pada lorong sepi dan tidak terpakai di film-film apocalypse. Tak kusangka aku berada di scene itu sekarang.


Aku tertawa. Ruangan ini berhasil mengantarkan gema tawaku yang jika didengar lebih mirip seperti cekikikan hantu perempuan yang sering mengganggu tidurku. 


Lorong ini seperti tidak memiliki ujung. Panjang sekali. Kakiku mulai kelelahan dan mati rasa. Kelelahan, kelaparan, dan kekhawatiranku bercampur menjadi satu. Tiba-tiba aku teringat pada sosok perempuan yang beberapa tahun terakhir ini telah menemaniku. Berbicara padaku seenaknya dan tidak memikirkan perasaanku. Ia tidak berpikir perkataannya bisa saja menyakiti hati orang yang mendengarnya. Mungkin, jika ia berada di sampingku saat ini ia akan merutuki diriku yang mulai patah semangat dan berpikir untuk bunuh diri.


Bunuh diri?


Ya. Sudah berapa lama aku tidak memikirkan tindakan tidak terpuji itu? Dahulu aku memikirkan 1000 macam cara untuk meninggalkan dunia terkutuk ini. Kupikirkan di setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Kutuliskan di buku bersampul coklat muda milikku setiap malam. Kulakukan di tiap-tiap kesempatan yang bisa aku gunakan dan sayangnya adalah kegagalan konyol yang kudapat. Hal itu tidak akan terjadi jika ibuku yang kolot tidak membuka dan membaca isi buku itu. Meski ia menangis kala itu, tetap saja itu menyebalkan. Ia tidak mengerti betapa inginnya aku meninggalkan dunia yang lebih mirip perangkap tikus ketimbang peradaban manusia.


Aku berhenti di bawah lampu yang menjadi satu-satunya lampu yang bersinar terang benderang dibandingkan lampu-lampu lainnya. Aku tebak lampu ini tidak akan bertahan lama lagi sebab cahayanya yang mulai meremang. Aku memutar kepalaku ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ruangan gelap, lembab, dan mungkin berhantu. Aku kemudian memandang kedua telapak tanganku. Jari kurus dan tidak terawat mengisi penuh pandanganku. Tidak lupa pada bercak darah Aiden yang telah mengering mewarnai kulit tanganku sepenuhnya.


Warna merah yang cantik. Mengapa aku tidak terlahir dengan kulit merah saja?


“Di sini kau rupanya.”


Aku mengangkat kepalaku. Mencari sumber suara yang muncul dalam kegelapan. Bola mataku bergerak-gerak seakan berupaya menangkap jelas bayangan siapapun yang bisa saja muncul di hadapanku. Itu suara seorang pria. Jelas sekali. Suaranya begitu berat khas milik pria. Aku berani bertaruh, wanita mana lagi yang berani berjalan sendirian di lorong gelap begini jika bukan wanita gila sepertiku. Aku mematung sesaat. Memastikan bahwa pendengaranku tidak salah menangkap suara itu tadi.


Drap! Drap! Drap!


Aku mundur perlahan. Derap langkah yang bersumber dari sepatu pantofel milik seseorang mengisi ruang hampa di telingaku. Langkahnya begitu tegas dan tanpa keraguan. Seakan bersiap menghampiri dan mengeluarkan isi perutku. Keringat dingin mulai membanjiri punggungku. Bayangan malaikat pencabut nyawa berjubah hitam dengan tongkatnya di komik komedi yang biasa kubaca menghantui pikiranku. Apakah mungkin dia adalah sang malaikat yang akan mengantarkanku menuju gerbang neraka? Tunggu- aku sudah mati?


Kemudian, muncullah dia, sebagai penanda bahwa seorang gadis bodoh dan gila pernah berjalan tanpa arah di bangunan ini.