“Budhe, aku tumbas wortel karo manisa, yo.” (Budhe, aku beli wortel dan labu siam, ya.)
“Budhe, kok Mbak Santi disek, seh? Aku lho wis milih kaet maeng.” (Budhe, kok Mbak Santi dulu, sih? Aku lho sudah milih dari tadi.)
“Eh, Mbak Juni.”
Juni tersenyum kecil mendengar namanya disebut. Tampak Budhe Mlijo—begitu panggilan dari tetangganya—tengah sibuk membungkus sayuran yang dipilih oleh ibu-ibu pembelinya. Dia tersenyum lebar melihat stok sayuran yang masih cukup banyak. Di otaknya menari-nari jenis makanan apa saja yang bisa dia masak hari ini. (mlijo = penjual sayur eceran)
“Sampean sing pindah winginane, toh?” tanya seorang perempuan dengan rambut dicepol asal. Tangannya sibuk merogoh kantung, mencari uang untuk membayar, sementara tatapannya lurus kepada Juni. (Kamu yang pindah kemarin itu, kan?)
“Inggih, Bu,” balas Juni apa adanya. Ralat, dia tidak terlalu pandai Bahasa Jawa meskipun orang tuanya masih berdarah Jawa. Bisa menjawab begini saja dia sudah merasa pintar sekali. (Iya, Bu)
“Owalah, aku pas gak ndek omah. Aku Bu Endah. Omahku pas sebelah sampean.” Juni mengikuti arah yang ditunjuk wanita berambut bergelombang itu. (aku pas nggak di rumah. Aku Bu Endah. Rumahku pas sebelahmu.)
“Oh, inggih, Bu,” balas Juni lagi, merasa tidak enak untuk tidak menjawab.
Melihat Bu Endah sudah sibuk dengan belanjaannya, Juni mendekat ke gerobak sayur. Dengan teliti diamati satu-persatu sayuran yang ada. Sepertinya menarik membuat bobor bayam. Anaknya dan suaminya sama-sama penggemar makanan bersantan.
“Sampean ‘te nggawe opo, Mbak?” (Kamu mau membuat apa, Mbak?)
“Oh, mau bikin bobor bayam, Bu.”
“Nek aku yo Mbak, bayam itu dioseng sreng… wes penak iku. Sedep,” seloroh Bu Endah dengan diselingi menirukan suara wajan. Tangannya pun turut bergerak, seolah tengah memasak. (Kalau aku ya Mbak, bayam itu dioseng sreng… sudah enak itu. Sedap.”
“Walah Mbak Endah. Mending dijangan bening, toh. Bayam lek kesuwen kenek panas engko ilang vitamine. Jare malah dadi racun, lho.” (Walah Mbak Endah. Mending disayur bening. Bayam kalau terlalu lama kena panas nanti hilang vitaminnya. Katanya malah jadi racun, lho.)
“Lha piye, Mbak. Bojoku seneng masakan dike'i kecap. Yo tak oseng toh.” (Lha gimana, Mbak. Suamiku suka makanan dikasih kecap. Ya aku oseng toh.)
“Yo ngono ancen wong lanang iku. Angel wes, angel!” (Ya begitu memang laki-laki itu. Susah sudah, susah!)
Juni tersenyum kecil sebelum melanjutkan memilih bahan yang akan dibeli. Diabaikannya orang-orang yang kini sibuk berbisik, membicarakan banyak hal, mulai dari tetangga yang tengah menjemur burung hingga seragam sekolah anak mereka yang telah menghitam di bagian sikunya.
“Mbak yang baru pindahan, ya?” Juni menoleh dan menemukan seorang perempuan berjilbab lebar tengah tersenyum teduh. “Saya jarang belanja pagi, jadi baru ini ketemu. Saya Yuli. Anak kecil-kecil tapi sering manggil 'Bu Ustazah'. Sampean siapa namanya, Mbak?”
“Saya Juni, Bu,” balas Juni sopan.
“Wah, kok mirip Mbak, namanya,” balas Bu Yuli sembari terkekeh ringan. Dengan santai perempuan berjilbab lebar itu memilih bahan masakan. “Budhe itu jualannya lengkap, Mbak. Lha ini,” Bu Yuli meraih susu kedelai serta jajanan yang digantung di sisi gerobak, “mlijo motor lainnya sekitar sini jarang yang jual gini.”
“Oh, inggih…”
“Pagi Mbak Zahra. Mambengi lapo kok onok perang dunia? Panci iso diwalik kabeh, lho,” seloroh si ibu-ibu berambut cepol. (Semalam ngapain kok ada perang dunia? Panci bisa dibalik semua, lho.)
“Bu Santi iki, senengane lak KEPO karo urusane tonggone,” balas Bu Endah. (Bu Santi ini, sukanya KEPO sama urusan tetangganya)
Bu Santi—akhirnya Juni tahu namanya—berdecak pelan. “Gayane Bu Endah. Metesek! Padahal yo pingin weruh.” (Gayanya Bu Endah. Belagu! Padahal ya pingin tahu.)
Juni menatap perempuan seusia dirinya yang kini tengah menundukan setengah badan sembari menyapa pelan kelompok ibu-ibu yang masih sibuk menggosip. Meskipun ada raut risih yang tak berhasil ditutupi, tetapi perempuan itu tetap berusaha bersikap sopan. Juni terus mengamati perempuan itu hingga menghilang di tikungan, keluar dari area perumahan.
“Mbak Juni,” panggil Bu Yuli mengalihkan perhatiannya. “Nanti malam jangan lupa datang tahlil di rumah saya, Ya.” Juni mengangguk. Dengan seksama dia mendengar penjelasan posisi rumah Bu Yuli. “Saya duluan dulu. Monggo Bu Santi, Bu Endah.” (Mari Bu Santi, Bu Endah)
***
“Lama banget, Dik?”
Juni melangkah cepat, menghampiri suaminya yang tengah menggendong Aldi, anak semata wayang mereka. Anak lima tahun itu tampak sudah segar, bahkan sudah selesai mandi. Lihat saja rambutnya yang basah dan acak-acakan akibat dikeringkan menggunakan handuk itu.
Diraihnya Aldi sebelum mendudukan sang anak di depannya. “Tadi lama gara-gara ibu-ibu yang sibuk gosip,” jawab Juni sambil cemberut. Tangannya sibuk merapikan rambut Aldi. “Mas Fariz nggak tahu sih, ini nih, sebelah rumah, sama orang nggak tahu itu rumahnya mana. Semua … aja diomongin. Aku capek Mas, dengerinnya.”
“Ya jangan didengerin lah, Dik,” balas Fariz santai. Dia merapikan kemejanya sebelum melangkah untuk mengambil nasi goreng yang telah dimasak Juni sejak subuh tadi. “Kita tinggal di sini kan mau cari tenang, Dik. Nggak usah ikut rasan-rasan sama orang-orang gitu. Cukup fokus aja, yang penting hidup tenang.”
“Ih, Mas Fariz kan nggak di sana,” rajuk Juni. Dia menepuk puncak kepala Aldi pelan sebelum melangkah ke dapur. “Aku ya nggak merhatikan, Mas. Tapi diajak ngomong, lho. Bingung kan? Kalau Mas Fariz gimana coba?”
“Ya berarti besok-besok langsung pamit aja kalau kelihatan sudah mau mulai gosip. Kan mlijo-nya di depan rumah, tuh.”
Percakapan Fariz dan Juni terhenti ketika mendengar suara ribut di depan rumah. Bu Endah kini tengah bercanda dengan suara yang cukup keras. Sepertinya lawan bicaranya cukup jauh dari posisi Bu Endah, mengingat begitulah kebiasaan di perumahan ini. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain tanpa keluar rumah, melainkan saling berteriak dari teras masing-masing.
“Sabar, Dik. Masih baru seminggu di sini. Semoga dapat baiknya aja, ya,” hibur Fariz sambil mengusap kepala Juni.
Juni menggumam tanpa menghentikan kesibukannya menyiapkan sarapan untuk Aldi dan dirinya sendiri. Dia baru mulai menyuap makanan ketika teringat suatu hal. “Oh iya, Mas. Nanti malam ada tahlil rutin di rumah Bu Yuli. Aku bawa Aldi ke sana, ya?”
“Iya. Mas berangkat dulu. Doakan hari ini lancar ya, Dik. Assalamualaikum!”
***
“Gimana seminggu di Malang, Nduk? Betah?”
Juni tersenyum melihat wajah kalem ibunya dari layar ponsel. “Alhamdulillah belum ada yang bikin nggak betah kok, Bu.”
“Aldi juga bisa adaptasi, kan?”
Juni menoleh ke anaknya yang tengah sibuk bermain mobil-mobilan di teras rumah. Baru seminggu, tetapi Aldi sudah memiliki teman bermain. Setiap sore, Juni harus membawanya bermain ke taman perumahan untuk bertemu teman-temannya. Sebagian bersekolah di TK sekitar sini. Sebagian lagi—termasuk anaknya—hanya di rumah setiap hari.
“Alhamdulillah. Malah kayaknya Aldi lebih cepat adaptasinya, Bu,” balas Juni apa adanya. “Dia setiap sore nongkrong. Malah bundanya yang belum dapat teman.”
“Alhamdulillah, Nduk. Kamu sudah mikirkan rencana nanti Aldi sekolah di mana? Cepat tanya-tanya, lho. Tahun depan Aldi sudah bisa daftar SD, kan?”
Juni terdiam sejenak. Senyumnya sedikit luntur, meskipun dia berusaha tetap menutupi kegundahannya. “Inggih, Bu.”
Juni tidak terlalu mendengarkan ucapan ibu selanjutnya. Pikirannya sibuk bergelut dengan pertanyaan ibu tadi. Persiapan sekolah. Sesuatu yang membuatnya harus pindah ke Malang, alih-alih berusaha bertahan di Jakarta.
Hidupnya di Jakarta selama ini serba minus. Bukannya menabung, mereka bahkan harus berhutang setiap harinya. Juni bersyukur suaminya bisa mendapat pekerjaan di Malang, daerah yang lebih memungkinkan untuk dia menyekolahkan anaknya.
“Jun, jangan lupa dipikirkan omongan Ibu, lho. Anak itu investasi. Jangan sampai kamu gagal ndidik anakmu.”