Kau Adalah Takdirku

Kau Adalah Takdirku

arum faiza

5

Pesona rembulan penuh membelah kabut tebal yang mengelilingi gedung apartemen itu. Hana kecil masih terlelap dalam pelukan mimpi indahnya, tak menyadari bahwa hari itu akan menjadi hari yang berubah seketika dalam hidupnya.

Hana kecil melihat api yang membara. Begitu membara hingga membuat mata kecilnya terpesona oleh cahaya yang memercik. Dia masih menyangka bahwa dia berada di dalam mimpi. Namun, kekaguman itu segera berubah menjadi rasa takut yang mencekam, kakinya kaku, tangannya gemetar.

Apa yang ia lihat membuat bulu kuduknya merinding dan membuatnya ingin menjerit keras. Namun tak bisa, tersendat, Hana terbungkam dan mematung untuk beberapa detik saat melihat ayah dan ibunya, yang berusaha keluar dari pintu kamar apartemennya, terjebak di dalam kobaran api yang mengamuk. Hana bisa melihat jelas betapa mereka berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Api yang menjilat-jilat tubuh mereka membuat mereka berdansa tak tentu arah, saling menutup dengan kain yang mereka temukan di sana. Asap hitam itu membumbung memenuhi ruangan kamar mereka.

“Hana! Pergi!” teriak ibunya sambil terbatuk-batuk.

Sepertinya Hanna tidak mendengarnya karena suara ibunya terlalu pelan. Ditambah lagi, kamar tidurnya dan kamar orang tuanya bersekat kaca tebal. Dulu didesain seperti itu agar bisa melihat anaknya yang lucu sepanjang waktu. Dididik mandiri sejak kecil dengan memisahkan ruang anak dan kamar pribadi. 

Ayahnya berusaha menggedor-gedor kaca itu, tapi tetap saja, Hana seperti terhipnotis. Dia masih termenung, kakinya semakin kaku. Bibirnya menggigil. Ayahnya memberikan arahan dengan telunjuknya yang sudah hangus sebagian untuk Hanna bisa keluar. 

"Lompat, Hana! Lompat! Selamatkan dirimu!" teriak ayahnya dengan suara parau, yang terdengar seperti deru kobaran api di belakang mereka.

Hana tersadar. Ini bukan mimpi. Hana menggeleng keras. Dia tak ingin meninggalkan orang tuanya. Dia berlari ke arah pintu, menggenggam gagang pintu, tapi segera ditarik karena panas. Hana mencari selimut kemudian menutup gagang pintu itu. Naas, api yang berada di lorong malah menyambar kamar Hana.

Hana berlari ke jendela apartemennya dan berteriak meminta tolong sekuat tenaga. Namun, upaya itu terasa sia-sia karena api semakin membesar dan menghanguskan segala sesuatu yang dihadapannya. Hana merasa dirinya seperti sedang terkurung dalam neraka yang tak berujung.

Hana melihat arah kamar orang tuanya lagi, yang masih berjuang untuk bertahan hidup. Melihat orang tuanya berlari ke arah pintu kamar tapi pintu itu tak juga terbuka. Mendobrak dengan peralatan yang ditemukan, tapi tetap tidak terbuka. Ayahnya kemudian menempelkan ke jendela kaca dengan bahasa isyarat kalau Hana harus segera keluar dari kamarnya.

Hana melihat kedua orangtuanya dengan mata berkaca-kaca. Dia sadar kalau apa yang terjadi adalah ulahnya. Tapi, bagaimana memperbaikinya?

Dari luar apartemen, tampak banyak orang sudah berkerumun. Hana memandang lagi arah orang tuanya yang sudah mulai terduduk lemas. Hana melihat arah orang-orang yang sudah meneriakinya untuk turun. Sudah ada beberapa orang yang menggotong kasur dan meminta Hana untuk lompat dari lantai ke-5.

Papa, Mama, Maafkan Hana, batinnya. 

Hana mengikuti permintaan orangtuanya. Api mulai berkobar di kamarnya, membakar kasur, bantal, meja belajar, lemari. Dia merangkak menuju jendela, tangannya yang terbakar ia kibaskan, rambutnya terjebak di balik pintu. Hana merasakan panas menyengat, napasnya tersengal-sengal, tetapi dia tetap berjuang untuk menyelamatkan dirinya sendiri. 

Dalam sekali loncat, Hana keluar dari jendela apartemennya dan merasakan tubuhnya terjatuh. Hana melihat para pemadam kebakaran baru datang. 

Apakah orang tuaku bisa selamat? Ya Allah, selamatkan mereka.