Senja semakin hilang tergantikan gelapnya malam. Dari kejauhan, terlihat seorang gadis tengah berjalan di trotoar. Gadis pemilik nama Maira Zahra Faiha yang sering dipanggil dengan nama Maira.
Tampilannya membuat ia terlihat berbeda di antara sekeliling orang yang dominan menampakkan rambut indah mereka. Dengan jilbab yang sesekali diterpa angin serta ransel yang digendong, ia terus berjalan sembari menunduk menatap benda pipih yang sedaritadi membuatnya terlihat gelisah. Entah apa yang tengah dilakukannya dengan benda pipih tersebut. Namun, tiba-tiba ia menurunkan kedua tangannya yang salah satunya membawa gawai dengan menampilkan wajah cemberut.
Tak lama, Maira segera memasukkan gawainya ke ransel dan melangkah dengan lesu. Sepertinya gawai tersebut kehabisan daya. Kepalanya celingak celinguk seperti mencari sesuatu. Kini, terlihat kakinya yang menendang sebuah kerikil hingga terlempar tak jauh dari tempatnya. Tenaganya tak cukup kuat hanya untuk menendang kerikil yang bahkan anak kecil pun bisa menendangnya lebih jauh dari yang ia lakukan.
Pergerakannya terhenti, lalu menghadap ke arah jalan. Tunggu, tangan kanannya melambai-lambai ke atas lalu ke bawah terlihat seperti hendak menghentikan kendaraan yang lalu lalang. Namun, sepertinya tak seorang pengendara pun menghiraukannya. Mereka terus melajukan kendaraan mereka tanpa merespon lambaian tangan Maira. Mungkin para pengendara itu hanya menganggap Maira sebagai orang asing yang tak perlu mereka hiraukan.
Terlihat Maira menghembuskan napasnya gusar. Lelah karena tak ada satu pun orang yang menghiraukannya. Ia pun mengambil gawainya kembali dan terlihat dari gerak-geriknya mencoba untuk menyalakannya. Namun, nihil, benda pipih itu tak menunjukkan reaksi apa-apa karena memang telah kehabisan daya.
Maira mencoba menghentikan kendaraan yang lewat kembali. Kali ini, ada seorang lelaki paruh baya yang berhenti tepat di depan Maira. Dalam hati, ia merasa senang, lega akhirnya ada juga yang memedulikannya.
"Maaf, Pak. Bisa tolong antar saya ke-" Belum sempat Maira melanjutkan kalimatnya. Lelaki tersebut malah bersiap ingin melajukan motornya kembali.
"Maaf, Mbak, saya bukan tukang ojek," ucapnya sesaat sebelum berlalu.
"Kenapa berhenti kalau bukan mau nolongin," gerutu Maira dengan nada memelas. "Astaghfirullahaladzim, sabar Maira, sabar," ucapnya memperingati diri sendiri.
Hari sudah semakin gelap, adzan Maghrib pun sudah berkumandang dari beberapa menit yang lalu. Lutut Maira semakin terasa pegal. Lelah pun dirasakannya akibat terus berjalan, sedangkan untuk menuju ke rumahnya masih cukup jauh, rumah saudaranya lebih tepatnya. Daerah ini memang lingkungan yang baru untuknya.
Terdengar gumaman Maira yang tak terlalu jelas. Ia merutuki dirinya yang lupa membawa powerbank. Jika saja ia membawanya, tak akan terjadi gawainya kehabisan daya dan ia pun bisa memesan ojek online. Atau ia juga bisa meminta kakak sepupunya untuk menjemput. Ini semua karena sifat pelupanya yang kadang tak sejalan dengan keinginannya. Namun, Maira tak menyerah. Ia mencoba menarik perhatian pengendara yang melintas di dekatnya untuk berhenti dengan melambai-lambai seperti tadi. Setidaknya, ia harus mendapat pertolongan agar bisa sampai rumah.
Satu pengendara motor berhenti. Maira tak langsung merasa senang. Pengendara itu bisa saja menolaknya seperti pengendara sebelumnya.
"Mas, bisa tolong antar saya pulang?" tanya Maira sambil menampilkan ekspresi memelasnya, berharap pengendara motor kali ini mau membantunya dan mengantarnya pulang sampai ke rumah. Namun, Maira tak menempatkan ekspektasinya terlalu tinggi.
"Maaf, Mbak, saya nggak bisa."
Hembusan napas kecewa sedikit terdengar dari Maira. Pengendara itu menolak Maira dengan kalimat singkat, padat, dan jelas. Dari intonasinya, mungkin ia takut kalau Maira hanya mengada-ada alasan untuk modus padanya.
"Mas, nanti saya bayar, kok," bujuk Maira kali ini dengan kedua telapak tangannya ia katupkan, tanda memohon agar lelaki di depannya mau mengantarnya pulang.
"Maaf, Mbak, tapi saya bukan tukang ojek. Mbak pesan ojek online aja," saran lelaki yang ternyata masih muda, terlihat ketika ia sekilas menatap Maira di balik kaca helm yang menutupi wajahnya sebagian.
"Kalo hp saya nyala, udah saya lakuin dari tadi, Mas. Tapi masalahnya hp saya mati. Atau saya pinjem hp mas buat pesen ojek online, boleh?"
"Nggak bisa, Mbak. Saya nggak punya aplikasinya dan saya lagi buru-buru," tutur laki-laki itu yang semakin membuat Maira kecewa.
"Yahh, Mas, tolong kali ini aja. Saya kan perempuan, nggak baik jalan sendirian, jauh dari rumah pula. Nanti kalau saya kenapa-kenapa gimana? Mas mau tanggung jawab?"
"Loh?" Sangat terlihat raut terkejut laki-laki tersebut atas kalimat yang Maira ucapkan. Mungkin dalam hati pemuda itu bertanya-tanya untuk apa ia bertanggung jawab. Tiba-tiba, ada perempuan yang menghentikannya di jalan dan menyuruhnya tanggung jawab.
Maira masih terus membujuk laki-laki itu agar mau mengantarnya pulang ke rumah. Namun, orang di hadapannya itu hanya bergeming sambil memerhatikan gawainya. Tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu, Maira langsung membonceng di belakang laki-laki itu yang sontak membuatnya berdiri dari duduknya.
"Udah, Mas, jalan aja nanti saya kasih tau alamatnya," ujar Maira dengan santai.
"Tapi, Mbak ...."
"Udah, nggak apa-apa, Mas. Nanti saya bayar, kok," ujar Maira tak ingin berdebat lagi.
"Tapi ... Mbak nggak pakai helm." Sepertinya laki-laki itu sedang menyuruh Maira turun dari motornya secara halus. Memang, Maira tak mengenakan helm dan itu bisa menjadi alasan yang tepat untuk menyuruh Maira turun dari motornya.
Bukannya menuruti keinginan tersebut, Maira malah berkata, "Ya udah, nanti kalau ada yang jual helm kita berhenti beli helm dulu." Sungguh jawaban yang tak terduga.
"Mbak nggak apa-apa deket-deket sama saya?" tanya lelaki itu lagi yang sepertinya bukan ditujukan untuk Maira. Dari intonasinya, pertanyaan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri karena jelas dari tadi Maira sudah duduk di jok belakang yang berarti Maira sama sekali tak keberatan dengan hal itu. Mungkin pemuda itu merasa tak nyaman berada di dekat orang yang belum ia kenal, bahkan sampai boncengan.
"Nggak apa-apa, Mas tenang aja," ucap Maira menenangkan.
Terdengar helaan napas gusar dari laki-laki itu. Jika diperhatikan, ia terlihat seperti merapalkan sesuatu, Maira pun menyadarinya. Namun, entah apa yang pemuda itu ucapkan, Maira tak ambil pusing. Tak lama, motor yang mereka naiki melaju dengan kecepatan sedang. Mereka menuju toko helm sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumah Maira.
━•⊰⊱•━
Maira turun dari motor yang ia naiki. Ia bergegas melepaskan helm yang dikenakan. Benar saja, mereka berhenti di toko helm pinggir jalan untuk membeli helm. "Makasih, Mas. Nama saya Maira, nama Mas siapa?" tanya Maira, bukan karena ingin modus, tetapi setidaknya ia tahu nama orang yang telah membantunya.
Dering panggilan berbunyi dari gawai laki-laki yang baru saja mengantar Maira dan belum ia ketahui namanya itu. Belum menjawab pertanyaan Maira, ia segera menerima panggilan yang masuk.
"Assalamu'alaikum."
"..."
"Maaf Mas, ada masalah di jalan."
"..."
"Iya, sekarang saya segera menuju ke sana."
Maira mendengarkan percakapan tersebut.
Tak lama, lelaki itu menutup sambungan teleponnya dan segera memasukkan gawainya ke dalam saku celana. Tanpa disangka, ia langsung melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Suasana jalan di depan rumah Maira saat itu memang sepi, jadi ia bisa melajukan motornya dengan kencang. Dirinya sama sekali tak menghiraukan Maira yang tengah menunggunya.
"Mas, ini uangnya ketinggalan!" teriak Maira sambil menyodorkan uang yang akan digunakannya untuk membayar laki-laki itu atas tumpangannya. Namun, laki-laki itu telah berada jauh dari Maira. Dikejar pun rasanya mustahil, membuat langkah Maira tertahan. Bagaimanapun, lelaki tersebut telah mengantarnya pulang dan Maira juga berkata akan membayarnya. Satu hal lagi, Maira tak tahu apa-apa tentang lelaki itu, siapa namanya, sekolah, kuliah, atau kerja di mana, juga di mana alamat rumahnya. Mungkin ia bisa menghampiri laki-laki itu suatu saat nanti untuk memberikan uang yang menjadi haknya karena Maira sangat tidak suka jika harus berutang budi. Kini, Maira merasa berutang budi pada lelaki tersebut.
━•⊰⊱•━