By: Yusnita Fatmala
Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 22.10. Aku sudah selesai membereskan barang-barangku, saatnya untuk pulang. Tidak hanya badanku yang terasa pegal namun juga mataku sudah berat rasanya, shift siang memang selalu melelahkan.
Satu-satunya alasan yang bisa membuatku melupakan lelahku saat ini adalah ketika melihat seorang pria yang sedang duduk di teras mini market. Pria yang sejak setengah jam yang lalu menungguku selesai bekerja.
Pria itu terlihat fokus pada layar ponselnya, sambil sesekali menghisap rokok yang terselip di jari-jari tangan kanannya. Aku sengaja tidak langsung menghampirinya, aku ingin memandangnya dari jarak ini sedikit lebih lama.
Aku rasa sudah cukup memandanginya dari jauh, perlahan aku menghampirinya.
“Mas, ayo aku sudah selesai.” Ucapku saat sudah berada di sampingnya.
Mas Jaebeom, pria itu, mengangkat wajahnya. Senyuman khasnya yang begitu lembut menyambutku seperti biasa. Aku otomatis ikut tersenyum.
“Bagaimana hari ini, ramai?” tanyanya saat sudah berdiri sejajar denganku.
“Iya mas, seperti biasa.” Jawabku.
“Capek banget ya pasti? Mau cari makan dulu?”
Aku menggeleng.
“Tidak usah mas, aku ingin cepat-cepat ketemu kasur saja rasanya.”
Mas Jaebeom terkekeh sambil mengusap-usap kepalaku. Sebenarnya aku paling benci jika ada orang yang memegang kepalaku dengan alasan apapun, tapi pengecualian untuk Mas Jaebeom.
Kami pun masuk ke mobil untuk segera pulang karena malam semakin larut. Hening, Mas Jaebeom fokus menyetir mobilnya, sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sesekali aku melirik Mas Jaebeom yang sejak tadi diam, tidak seperti biasanya yang cerewet.
“Rintan?” Mas Jaebeom bersuara.
“Iya, mas?” balasku menoleh sepenuhnya ke arahnya.
“Kamu tahu kan, bulan depan aku wisuda?”
“Iya mas, Rintan tahu.”
“Emm... aku berencana untuk melamarmu setelah wisuda nanti.”
DEG!
Jantungku seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Harusnya aku bahagia kalimat itu keluar dari mulut pria yang aku cintai, namun aku justru merasa takut. Mas Jaebeom menatapku yang masih diam.
“Kenapa Rin? Kok kamu seperti kaget begitu? Kita kan sudah pernah membicarakan hal ini, Rin, aku akan menikahi kamu setelah lulus kuliah. Apa kamu masih ragu denganku?”
“Tidak mas, sekalipun Rintan tidak pernah meragukan Mas Jaebeom. Tapi…” ucapanku terpotong.
“Apa karena ibu?” potong Mas Jaebeom.
Aku mengangguk ragu-ragu. Ibu dari Mas Jaebeom memang sejak dulu tidak suka hubungan kami. Alasannya sudah jelas, karena aku tidak sederajat dengan keluarga mereka. Keluarga Mas Jaebeom adalah keluarga terpandang dan sangat dihormati di kampung kami, sedangkan aku hanyalah seorang anak buruh tani biasa.
“Kamu tidak usah khawatir, nanti aku akan coba bicara lagi dengan ibu.” Ucap Mas Jaebeom sambil memegang tanganku lembut.
Aku berusaha untuk tersenyum. Sungguh aku tidak ingin melepaskan pria ini, aku tidak mau kehilangannya. Tapi di sisi lain seperti ada tembok pembatas yang sangat tinggi, yang mustahil untuk aku seberangi. Meski begitu, bagaimana mungkin aku sanggup untuk menolak lamaran Mas Jaebeom?
Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti tepat di depan rumahku. Aku pun turun dari mobil setelah berterima kasih kepada Mas Jaebeom karena sudah mengantarkan aku pulang. Suara klakson terdengar saat mobil Mas Jaebeom kembali melaju.
Setelah mobil Mas Jaebeom menghilang dari pandanganku, baru aku merasakan sepi yang sedikit membuatku merinding. Aku segera masuk ke dalam rumah. Aku selalu membawa kunci rumah agar saat aku pulang tidak perlu membangunkan ibu yang mungkin sudah tidur.
Aku langsung menuju kamar karena sepertinya ibu memang sudah tidur. Aku menjatuhkan diri ke kasur yang sudah aku rindukan sejak tadi. Mataku menatap genting kamar yang dihiasi sarang laba-laba di beberapa bagiannya. Kata-kata Mas Jaebeom tadi masih memenuhi pikiranku.
Kuraih ponselku, lalu membuka aplikasi WhatsApp di sana. Aku membuka daftar pesan yang aku bintangi. Hanya ada satu pesan di sana, pesan dari ibu Mas Jaebeom bulan lalu. Aku membaca kembali pesan yang sangat panjang itu entah untuk keberapa kalinya.
“Saya tidak menyangka ada gadis yang begitu keras kepala seperti dirimu, Rintan. Entah sudah berapa kali saya menyuruhmu menjauhi anak saya, tapi sampai sekarang tidak pernah kamu melakukannya. Kalian sudah terlalu jauh, Jaebeom berkali-kali bilang ingin menikahimu. Apa kamu pikir saya akan menyetujuinya? Tentu saja TIDAK! Sampai kapan pun saya tidak akan merestui hubungan kalian. Kamu tidak mau kan Jaebeom menjadi anak durhaka hanya karena wanita seperti dirimu? Kalau kamu memang wanita yang baik, jauhi anak saya. Kamu wanita yang harusnya punya harga diri, jangan memaksakan sesuatu yang tidak pantas untuk kamu. Carilah seseorang yang sederajat dengan dirimu, jangan egois.”
Aku sudah membaca pesan itu puluhan kali, dan rasa sakitnya seperti semakin bertambah saat aku membacanya lagi dan lagi. Pada awalnya aku menangis karena merasa sedih, namun semakin lama sedih itu berubah menjadi marah. Bukan marah pada ibu Mas Jaebeom, tapi marah pada keadaan. Sebenernya apa salahku? Aku tidak bisa memilih untuk terlahir di keluarga seperti apa. Aku juga tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa.
***
Hari ini mungkin bisa menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupku. Hari di mana satu-satunya pria yang aku cintai datang bersama ayahnya dengan niat untuk melamarku. Mas Jaebeom terlihat tampan dan gagah dengan balutan kemeja merahnya. Setelah menyuguhkan minuman, aku pun masuk ke kamar, membiarkan ibu yang menemui mereka.
Aku duduk di lantai, mengintip ke ruang tamu melalui lubang yang ada pada dinding kayu kamarku. Aku tersenyum miris melihat Mas Jaebeom yang duduk sambil menyatukan kedua tangannya, wajahnya terlihat gugup.
“Mbak, itu Mas Jaebeom ke sini dengan Pak Haji Sodiq mau melamar mbak ya?”
Rani, adikku, ikut duduk bersila di sampingku.
“Ya Allah Rani tidak menyangka, Mbak Rintan dan Mas Jaebeom akan menikah juga.” Ucap Rani lagi.
“Aku dan Mas Jaebeom tidak akan menikah, Rani.” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari Mas Jaebeom.
“Lho kenapa mbak?”
“Sssttt!”
Aku memberi isyarat agar Rani diam. Di ruang tamu, Pak Sodiq mulai mengutarakan maksudnya datang ke rumahku. Ibu mendengarkan dengan tenang, walaupun aku tahu ibu sedang memendam keresahan karena diriku.
“Jadi Bu Marni, weton Rintan apa ya? Kita hitung dulu semoga saja cocok dengan Jaebeom.” Ucap Pak Sodiq pada inti pembicaraan.
“Rintan itu wetonnya Jum'at Wage, Pak Sodiq. Lha Mas Jaebeom wetonnya apa?”
“Astaghfirullah! Jaebeom ini wetonnya Jum'at Pahing, bu. Ya jelas tidak cocok dengan wetonnya Rintan.” Balas Pak Sodiq.
Ekspresi terkejut Mas Jaebeom membuat dadaku terasa sangat sakit.
“Coba hitung lagi pak, mungkin ada yang salah. Atau kita bisa mencari syarat-syaratnya agar weton kami yang tidak cocok bisa dinetralkan.” Suara Mas Jaebeom bergetar.
“Ora iso, le (tidak bisa, nak). Resikonya terlalu besar. Bapak ora wani (tidak berani).”
“Bapakmu benar, mas. Ibu juga tidak berani menerima lamaranmu jika hitungannya seperti ini. Ibu tidak mau jika nantinya terjadi musibah pada keluargamu dan juga Rintan.”
Mas Jaebeom tertunduk lesu.
“Ya sudah Bu Marni, saya mohon pamit. Padahal Rintan adalah anak yang baik, almarhum ayahnya juga teman baik saya dulu, tapi apa mau dikata, ternyata anak kita tidak berjodoh.”
“Iya Pak Sodiq, sekali lagi saya mohon maaf.”
“Tidak perlu minta maaf, bu. Jodoh itu urusan Allah, kita manusia tidak bisa mencampurinya.”
Pak Sodiq keluar lebih dulu. Sedangkan Mas Jaebeom masih duduk di ruang tamu rumahku. Aku melihat bahunya mulai bergetar, lalu tak lama terdengar isakkan. Hatiku benar-benar hancur, ini pertama kalinya aku melihat Mas Jaebeom menangis.
“Sing sabar yo, le! (yang sabar ya, nak!) Jodoh itu sudah ada yang mengatur. Kamu dan Rintan memang ditakdirkan untuk menjadi teman, tidak lebih. Ibu yakin, Allah sudah menyiapkan pasangan yang terbaik untuk kalian berdua.”
Ibu terlihat memeluk Mas Jaebeom. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan agar suara tangisanku tidak terdengar. Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Betapa berdosanya aku melukai pria baik seperti Mas Jaebeom. Entah karma apa yang akan aku dapat nantinya.
“Iya bu, Jaebeom akan coba untuk ikhlas. Tapi Jaebeom masih boleh kan main ke sini, ketemu ibu, ketemu Rani?”
“Oalah ya jelas boleh. Kamu ini kan sudah ibu anggap seperti anak sendiri.”
“Ya sudah bu, Jaebeom pamit ya, kasihan bapak menunggu lama. Titip salam buat Rintan ya bu.”
Aku masih terus mengintip dari celah dinding, hingga Mas Jaebeom benar-benar pergi. Setelahnya aku meringkuk sambil menangis. Sakit sekali rasanya, aku seperti tidak bisa bernapas karena dadaku yang sangat sesak.
Aku merasakan seseorang memelukku. Dari aroma tubuhnya, aku tahu itu adalah ibu. Aku menangis semakin keras. Ibu memelukku sambil mengusap-usap punggungku. Namun bukannya merasa tenang, aku justru merasa semakin sakit.
“Kenapa kamu seperti ini, Rintan? Kamu sudah janji pada ibu, kalau kamu tidak akan menyesalinya. Tapi lihatlah dirimu sekarang.” Ucap ibu.
Aku hanya terus menangis.
“Ibu seharusnya tidak menuruti ide konyolmu. Memalsukan weton, ibu takut pamali, nduk (nak).”
“Memalsukan weton? Apa maksud ibu?” terdengar adikku menyahut perkataan ibu.
“Mbakmu ini, meminta ibu berbohong pada keluarga Jaebeom. Ibu terpaksa memalsukan weton Rintan agar tidak cocok dengan Jaebeom. Padahal weton mereka berdua sebenarnya sangat cocok.”
“Ya Allah, mbak. Kenapa mbak melakukan itu? Mbak itu menolak jodoh namanya, mbak.”
Menolak jodoh? Mungkin Rani benar, aku telah menolak jodoh yang dipersiapkan Tuhan untukku. Tapi mungkin itu juga salah, aku dan Mas Jaebeom mungkin memang tidak berjodoh. Kami mungkin hanyalah dua orang yang saling mencintai, namun tidak ditakdirkan untuk hidup bersama.
***