Jurnal Masa Lalu

Jurnal Masa Lalu

Dya Ragil

4.4

Aku baik-baik saja.

Serius.

Kecuali keberadaan sosok merah bermata manyala yang menatapku nanar di kejauhan, aku baik-baik saja. Sosok itu berkaki empat, juga berbadan besar. Terlalu besar untuk ukuran anjing dan terlalu kecil untuk ukuran kuda. Bukan kuda poni, karena kesan yang kudapatkan dari kuda mini itu selalu hangat, bukan kejam dan beringas seperti sosok di depan sana. Seharusnya aku lari, tapi kakiku mati langkah.

Oh, omong-omong, aku tidak yakin ini mimpi karena otakku tak punya cukup imajinasi untuk membayangkan sesuatu seperti itu. Namun lenganku mati rasa ketika kucubit. Jadi, ini pasti mimpi, kan? Pasti mimpi.

Belum selesai aku menganalisis keadaan di depanku, sosok itu bergerak mendekat. Tunggu, itu terlalu halus. Maksudku, sosok itu berlari mendekat. Kakiku yang sepertinya sudah tertanam di tanah, menggagalkan usahaku untuk melarikan diri. Hasilnya, aku terjengkang. Pada lompatan terakhir sosok itu, aku melindungi wajahku dengan tangan. Mataku memejam keras. Siap diterkam.

Namun aku tidak merasakan taring yang menancap di lengan. Tidak ada beban berat yang menubrukku atau semacamnya. Hanya sebuah sentuhan lembut.

Lamat-lamat aku membuka mata. Sosok merah itu sudah tidak ada lagi. Sosok lain kini berdiri di hadapanku. Manusia. Seorang gadis dengan rambut panjang selutut. Memangnya normal, ya, punya rambut sepanjang itu? Pasti sudah bertahun-tahun tak dipotong. Aku menyipitkan mata untuk memperhatikan wajahnya. Cahaya yang berasal dari belakang tubuh gadis itu membuatku hanya memandangi siluet.

Waktunya sudah tiba. Siapkan dirimu.”

Suara merdu—yang sepertinya berasal dari siluet di depan—menggema di telingaku. Sesaat kemudian, gadis itu hilang. Gelap, bersamaan dengan lenyapnya tanah tempatku berpijak. Aku terjatuh dan berteriak. Namun tak ada suara yang keluar.

Saat kupikir aku jatuh ke lubang tak berdasar, sekujur badanku membentur permukaan keras. Sakit. Aku tidak lagi mati rasa.

Aku membuka mata perlahan. Masih gelap. Kemudian lambat laun cahaya mulai memasuki mataku. Begitu sadar, aku sedang menatap kolong tempat tidur. Aku bergegas mendudukkan diri di lantai, sembari memijat setiap inci tubuhku yang sakit karena terjatuh dari dipan.

Aku merangkak menuju meja belajar dan meraih ponsel—dengan susah payah—untuk memeriksa waktu. Begitu tahu jam ponsel menunjuk pada pukul tiga pagi, aku mengumpat.

Mimpi sialan!


***

Kantung hitam di bawah mataku pasti sangat tebal hari ini. Tak perlu melihat cermin, kedua alis Sandi yang terangkat tinggi-tinggi sudah menjelaskan semuanya.

Tumben matamu ngenes gitu, Rul. Nggak bisa tidur, Bro?”

Jangan tanya,” tandasku. Aku tahu jika kusebutkan tentang mimpi anehku semalam, dia pasti cuma akan tertawa lalu menambah-nambahi kesialanku dengan menceritakan kisah horor untuk menakutiku. Begitu-begitu, cowok berambut cepak yang sudah jadi teman sebangkuku sejak kelas X itu tahu banyak soal cerita-cerita aneh. Jadi, meskipun dia berniat bercanda, aku tidak bisa menganggap remeh ceritanya. Setiap kali dia menceritakan kisah horor, malamnya aku selalu mimpi buruk.

Sandi melirik tas plastik yang kutaruh di laci, berjejalan dengan tas ransel. “Bawa baju ganti?”

Iya lah, aku nggak mau ngotorin seragamku. Besok masih dipakai. Malas nyuci,” kataku sambil melirik ke arah depan kelas di mana Pak Nanto sedang mengabsen kelas. Baru nama-nama berawalan huruf "d" yang dipanggil, jadi aku kembali menoleh pada Sandi. “Tegar sama Ratih datang kan, nanti? Kita harus beres-beres ruangan nggak kepakai di belakang laboratorium yang dikasih sekolah buat ruangan kita.”

Iya. Sebentar lagi class meeting mulai dan dua bocah itu mungkin akan sibuk di kepanitiaan, tapi pas tadi ku-WhatsApp, mereka bilang mau datang.”

Class meeting. Sialan, aku nyaris lupa kalau sebentar lagi akan ada Dies Natalis sekolah. Dua minggu penuh sebelum acara puncak, semua kelas akan diadu satu sama lain dalam berbagai kegiatan konyol hanya untuk memperebutkan gelar juara dan hadiah sepele. Aku selalu membenci kegiatan fisik. Badanku tidak didesain untuk itu. Namun semua anggota kelas diharuskan ikut.

“Rul.... ”

Nasib paling parah tentu dialami oleh anak laki-laki. Lomba-lomba berbau olahraga pasti akan dipasrahkan pada kami. Kalau aku bisa ikut dalam lomba yang tidak harus membuatku menggerakkan badan, aku bersedia melakukan apa saja. Dan tentu saja—

Hairul Yudhiaksa!”

Seruan itu—ditambah senggolan ganas dan tak berperasaan dari Sandi sehingga lenganku jadi korban—membuatku langsung terperanjat dan membalas seruan itu dengan suara lebih keras dari yang kurencanakan. “Ya, Pak!”

Pak Nanto mengerutkan dahi dengan sebelah alis terangkat. “Sudah dipanggil, ndak ngejawab. Kamu tidur atau ngelamun?”

Dengan satu pertanyaan itu, seluruh kelas pecah dalam kasak-kusuk menahan tawa. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain berkata, “Maaf, Pak.”

Setelah Pak Nanto menggeleng-gelengkan kepala dan kembali fokus memanggil pemilik nomor absen di bawahku, aku mendelik pada Sandi sambil mengusap-usap lenganku yang masih sakit. Cowok itu membuang muka sembari masih menahan tawa. Berengsek, lihat saja nanti! Meskipun aku bukan ketua ekstra kurikuler astronomi, akan kubuat bocah satu ini membereskan pekerjaan merepotkan di calon markas kami!

 

***

Ruangan di belakang laboratorium ini jauh lebih pantas disebut gudang. Ukuran markas ekskul 3x5 meter ini memang tergolong luas, tapi dengan banyaknya meja-kursi rusak yang memenuhi ruangan, membereskannya akan butuh waktu seharian.

Aku menyeret kursi keluar ruangan dengan langkah yang juga terseret, sambil beberapa kali mengembuskan napas panjang. Tentu saja segera kusesali karena hal berikutnya yang kudapatkan adalah dampratan. Aku menoleh enggan kepada cewek berambut sebahu yang sedang mengangkat meja seorang diri. Di atas mata cokelatnya yang menatapku galak, kedua alis tebalnya bertaut secara menyebalkan.

Berisik, Rul! Lagian itu cuma kursi. Diangkat, dong, jangan diseret!”

Ya,” jawabku tanpa antusias. Di belakangku, seorang cowok tinggi menjulang dengan rambut hitam dipapak tengah—nyaris menyentuh telinga—terbahak sambil memegangi perut.

Sabar, Ratih,” sahut cowok tinggi itu, segera setelah berhasil mengendalikan tawanya sendiri. “Kayak nggak tahu aja Irul itu semalas apa.”

Ratih menghela napas cepat, lalu meletakkan meja dengan suara keras. “Rul, mending kamu ikut Sandi aja deh ke Shopping. Daripada di sini, cuma nambahi kerjaan. Biar yang beresin ini, aku sama Tegar aja.”

Aku membulatkan mata dan menjauhkan tangan dari kursi. Menoleh pada Tegar, cowok tinggi menjulang itu mengedikkan bahu, pertanda setuju dengan ide itu. Aku berpaling kembali ke arah Ratih. “Ke Shopping? Mau nyari buku-bukunya sekarang?”

Iya. Kamu lebih berguna kalau buat urusan nyari buku astronomi yang bagus. Ekskul kita ini ekskul baru, jadi harus mulai ngumpulin inventaris. Sandi harusnya udah kelar ngurus pencairan dana ekskul. Lebih efektif kalau kita bagi tugas.”

Aku mengernyit tidak suka pada ide itu. Shopping, gedung tiga lantai yang merupakan lokalisasi puluhan toko buku, berada di sudut selatan kawasan Malioboro. Meski jaraknya tak terlalu jauh dari sekolah, lalu lintas menuju arah Malioboro selalu macet. Aku tidak mau repot-repot ke sana, tapi harus angkut-angkut barang juga bukan kegiatan favoritku. Aku memutar otak dan gagal menemukan jalan keluar. Akhirnya kuputuskan untuk menuju ruang guru daripada harus mengangkat meja-kursi. Sandi baru saja keluar dengan muka semringah. Kusimpulkan dana ekskul sudah cair dan aman berada dalam tasnya.

Setelah penjelasan singkat soal urusan bagi tugas yang diusulkan Ratih, dalam sepuluh menit, aku sudah membonceng motor Sandi yang sedang melaju menuju arah selatan.

Mengingat jalanan cukup macet, sungguh ajaib kami sudah berada di bangunan tiga lantai—yang penuh dengan buku sepanjang mata memandang—hanya dalam waktu setengah jam. Tak buang-buang waktu lagi, Sandi langsung memberiku dua pilihan; menjelajahi seluruh toko buku kecil di lantai satu sendirian, atau naik tangga ke lantai dua bersamanya—juga untuk menjelajahi toko-toko buku. Jika aku memilih pilihan pertama, aku harus memilih buku-buku itu sendiri dan direpotkan oleh kegiatan tawar-menawar dengan penjual. Jika aku memilih pilihan kedua, aku harus menaiki anak tangga curam. Dua-duanya sama-sama melelahkan.

Hoi, Bro! Bukannya jalan, malah ngelamun.”

Aku menoleh dengan dahi mengerut. Sandi berdiri angkuh di hadapanku. Senyumnya juga sama-sama angkuh.

Apa boleh buat. Kalau pilihannya antara olahraga badan dan olahraga mulut, aku lebih memilih yang kedua.

Aku tetap di lantai satu,” putusku pada akhirnya. “Mana duitnya?”

Sandi berdecak lalu menyodorkan uang seratus ribu rupiah. “Keliling, Rul! Jangan cuma nangkring di satu toko buku! Oke?”

Aku bergumam kecil sebagai jawaban. Tentu saja, tepat itulah yang akan kulakukan. Jadi, setelah Sandi menghilang ke lantai dua, aku mengedarkan pandangan. Karena tidak mau berjalan terlalu jauh, aku hanya memperhatikan toko-toko yang berada di dekatku saja. Untungnya, di area pojok, kira-kira jaraknya cuma sepuluh langkah ke selatan, ada sebuah toko yang cukup luas dengan tumpukan buku yang lebih banyak dari toko-toko lain. Aku berasumsi kemungkinan menemukan referensi yang kucari di toko itu akan lebih besar daripada jika aku pergi ke toko-toko lain. Maka ke sanalah aku beranjak.

Sampai di depan toko, aku harus berjinjit untuk bisa melihat penjaga yang tertimbun di balik tumpukan buku. Begitu melihatku, seorang pria paruh baya bangkit dari duduknya dan menyapa ramah. Aku tidak terlalu menyimak apa yang dia katakan. Fokusku sudah teralih pada tumpukan buku di depanku. Sebisa mungkin, aku tidak mau menghabiskan waktu terlalu banyak di sini. Secara acak, aku mengambil tiga buah buku dengan topik astronomi. Setelah membaca judul, nama pengarang, blurb di cover belakang, dan label harga yang tertempel, aku segera menyodorkan ketiga buku itu untuk dikemas oleh penjaga toko. Uang seratus ribu rupiah kuserahkan. Sambil menunggu kembalian, mataku menangkap sebuah buku merah darah bersampul hardcover kusam di antara tumpukan. Aneh sekali buku setua itu ada di antara tumpukan buku-buku baru. Seperti sudah sejuta tahun berada di situ saja.

Namun hal yang lebih aneh, tanganku bergerak sendiri untuk mengambil buku tersebut. Aku yakin seribu persen, bahwa otakku tidak memerintahkan tindakan itu. Seperti refleks, badan bergerak lebih dulu sebelum otak memberi perintah. Ini benar-benar bukan diriku.

Sampul depan buku lebih kusam daripada punggung buku. Dengan latar belakang merah darah, ada gambar timbul bulan sabit berwarna emas. Judul buku juga tertera dengan tinta emas Jurnal Masa Lalu.

Omong-omong, ada apa dengan perpaduan merah dan emas? Tembok toko ini juga berwarna merah, dengan plang nama toko berwarna emas. Aku tidak suka kedua warna itu. Memangnya ini di mana? Asrama Gryffindor? Maaf saja. Aku ini Ravenclaw luar-dalam.

Aku membuka karet elastis merah yang mengikat buku, lalu memeriksa isinya. Buku itu tersusun dari kertas-kertas vintage. Usia kertasnya pasti lebih tua dari bapakku. Apalagi dengan noda menguning yang khas di pinggiran kertas. Aku membolak-balik kertas dan tidak menemukan tulisan apa pun. Sepertinya buku ini cuma jurnal kosong yang salah penempatan.

Ini memang tahun ajaran baru, tapi aku tidak tertarik membeli buku tulis baru. Lebih baik kukembalikan saja daripada membelinya dan memenuhi isi tas.

Belum sempat aku menutup buku, cairan merah darah merembes di permukaan kertas. Aku mendongak.

Aneh, tidak ada cairan apa pun yang menetes dari atas.

Begitu pandanganku kembali kepada buku itu, rembesan yang awalnya hanya satu titik kecil, sekarang bergerak sendiri membentuk huruf-huruf.

Aku terbelalak. Peganganku pada buku langsung terlepas. Sekarang, satu kalimat penuh tertulis di buku yang teronggok di lantai. Lalu kalimat baru, hingga tercetak empat baris kalimat utuh.

Aku menyambar plastik putih dari pria penjaga toko, tanpa mengambil kembalian. Tak peduli meskipun pria itu berseru mengingatkan tentang uang receh di tangannya. Aku mengambil langkah seribu.

 

***

Bulan membara, memerahkan langit oleh sebab cahaya yang hilang.

Keremangan datang, terlumur bumi oleh bayang-bayang gamang.

Pada saat itu, di tempat kala pertama kita bertemu….

Apa kamu mau menungguku?