Jujuran

Jujuran

arinynurulhaq91

0

Aku memandangi kalender. Hari ini tanggal 5 April 2024, lima hari lagi Idulfitri sekaligus hari anniversary dengan Alfian ke 10 tahun. Hatiku mulai resah, terbayang lebaran nanti bakal banjir pertanyaan ‘Kapan nikah?’ terlebih usiaku sudah matang 33 tahun.


Siapa yang tidak ingin menikah? Namun, menikah bukan perkara yang mudah. Banyak hal harus disiapkan. Apalagi sebagai gadis Banjar, Kalimantan Selatan, ada tradisi jujuran atau biasa disebut mahar. Nilai jujuran setiap tahun terus naik mengikuti perkembangan zaman dan tentunya tergantung nasab si perempuan.


Delapan tahun lalu, Alfian pernah melamarku dan Abah meminta jujuran ke Alfian senilai sepuluh juta. Bisa jadi sekarang naik menjadi dua puluh lima juta, sesuai pasaran jujuran pada umumnya. Terakhir, anak sulung kakak pertamaku jujurannya sudah mencapai dua puluh lima juta.


Masalahnya Alfian orang Jawa, yang masih asing dengan tradisi Jujuran dan bukan orang berada. Dia merantau ke Kalsel untuk bekerja sebagai di perusahaan baru bara. Gajinya pas-pasan untuk makan sehari-hari dan membiayai adiknya kuliah di Yogyakarta. 


Tiba-tiba pintu terbuka, Mama muncul di samping pintu. 


“Husna, kakak-kakakmu sudah pada datang tuh. Ayo keluar, bentar lagi magrib.”


Aku hampir saja lupa kalau hari ini ada buka puasa bersama dengan keluarga. Aku memiliki empat kakak. Mereka sudah menikah semua.


“Oke, Ma. Ulun ke toilet dulu. Nanti ulun nyusul.”


Mama keluar. Aku ke toilet sebentar. Lalu, keluar dari kamar. Di ruang makan sudah ramai dengan keluarga kakak-kakakku. Ternyata yang datang hanya Kak Aliyah, Kakak pertama dan Kak Nuriah, kakak kedua. Sedangkan Kak Sariful, kakak ketiga bekerja di Samarinda, Kak Aris sebagai kakak keempat melanjutkan kuliah S2 di luar negeri. Mungkin mereka bakal pulang pas lebaran. Melihat keluarga mereka, jujur aku juga ingin seperti itu. 


Aku duduk di kursi yang masih kosong. 


Acil Husna kok pucat? Garing, kah?” celetuk Airin, anak kakak pertamaku.


“Biasa, dia begadang terus sampai subuh main HP dan laptop,” ujar mamaku.


Sedikit informasi, aku bekerja di kantor Pemda sebagai admin sosial media. Namun, sejak Abah sakit stroke, aku cari job tambahan jadi konten kreator penerbitan. Di mata mamaku itu pengangguran yang kerjaannya main HP saja. Padahal pekerjaanku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya berobat Abah yang sedang sakit stroke.


“Makanya lajui nikah, jangan kebanyakan begadang. Kada baik buat kesehatan nyawa,” sambung Kak Aliyah, sok memperhatikanku. Padahal aslinya julid.


“Betul itu Husna. Usia ikam sudah matang, Abah sudah sakit-sakitan. Abah kada tau namanya umur. Selagi Abah masih hidup, Abah ingin melihat anak bungsu Abah menikah biar Abah bisa pergi dengan tenang.”


Abah yang sedari tadi diam ikut menimpali. 


“Nah, bujur tuh. Apalagi ikam sudah pacaran lawas sama Alfian. Mintalah kejelasan dia, ikam bakal dinikahi atau kada?” sahut Mama.


“Kalau kada dinikahi, nyaman kami carikan jodoh lain.” Kakak keduaku ikut-ikutan berbicara.


Hari ini kenapa keluargaku kompak menyerangku untuk desak nikah? Kalau sudah orang tuaku yang berpetuah, aku hanya bisa diam.


“Nah, sekarang waktunya berbuka puasa. Selamat berbuka puasa.” Terdengar informasi di langgar sebelah rumahku. Seketika menyelamatkanku dari kekikukan pembahasan menikah.


Kami berdoa buka puasa. Lalu, makan bersama-sama.


***


Aku mengendarai kendaraan hendak membeli lauk buka puasa serta takjil. Sepanjang jalan Pasayangan penuh orang jualan takjil. Ramadan tahun ini agak berbeda dari tahun-tahun lalu. Sosial media heboh war takjil antar kaum muslim dan non muslim. Namun, tidak berlaku di Martapura karena semua warga Martapura beragama Islam. 


Aku mampir ke Depot Pelangi. Ingin membeli gangan asam, iwak haruan dan es campur. Ternyata antre. Aku menunggu. Lalu, teringat Alfian. Aku langsung kirim pesan ke dia.


To: Alfian.

Sayang, bisa temui aku di Depot Pelangi? Ada yang ingin aku sampaikan. Penting.


Langsung centang biru. 


Ting!


Alfian membalas pesanku.


Wah, kebetulan. Aku juga lagi di Pasayangan. Okeh, aku ke sana.


Setelah lima menit menunggu, Alfian datang dengan motor buntutnya. Dia langsung melihat keberadaanku. 


“Maaf, lama. Tadi macet.” Alfian menarik kursi dan duduk di depanku. “Kamu mau mau menyampaikan apa?”


“Sebentar lagi kan kita sudah genap 10 tahun. Aku ingin minta kejelasan kapan kamu nikahi aku? Keluargaku sudah mendesakku agar segera menikah.”


Raut wajah Alfian berubah jadi murung. “Kamu kan tahu gimana ekonomiku. Kalau dalam waktu dekat, aku belum sanggup. Dana jujuran belum ada.”


“Tapi kan, delapan tahun lebih masa kamu sama sekali nggak nabung buat jujuran?”


“Ya elah, boro-boro nabung jujuran. Makan sehari-hari dan biaya kuliah adekku aja mesti nyicil sana-sini.”


“Sama sekali nggak ada?”


“Ada sih. Tapi baru lima juta. Kamu mau jujuran segitu?”


Jujur aku kecewa, sepuluh tahun berhubungan dia sama sekali nggak ada effort memperjuangkanku. Tabungan jujurannya aja jauh di bawah standar. 


“Aku bicarain dulu sama keluargaku. Nanti aku kabari keputusannya.”


Acil warung datang membawakan pesananku. Aku langsung membayar. “Ditukar.”


“Dijual.”


Begitulah akad jual beli tradisi di Martapura. Setelah itu aku pamitan ke Alfian untuk pulang duluan karena sudah ditunggu Mama.

***

Kamus Bahasa Banjar. *sori lebih nyaman make footnote di bawah daripada samping dialognya

Ulun: Aku (untuk berbicara ke orang lebih tua)

Ikam: Kamu (untuk berbicara ke orang lebih muda)

Nyawa: Kamu (Untuk berbicar ke orang lebih muda, tapi lebih kasar dari Ikam)

Acil: Tante

Garing: Sakit

Lajui: Cepat

Bujur: Benar