"Baru pulang Ran?" Ucap mama dengan menyeruput secangkir teh.
"Iya ma, lagi banyak-banyaknya kerjaan di kantor. Aku beres-beres dulu ya ma pah." Sambil mencium punggung tangan mama papa, aku langsung pergi ke kamar untuk merebahkan badan yang sudah remuk rasanya.
Belum sempat aku membuka pintu kamar, mama tiba-tiba teriak memanggil namaku.
“Rania, sini deh. Ada yang mau mama omongin nih. Penting!" Teriak mama dengan suara yang nyaring.
Dengan Langkah gontai, aku kembali mengayunkan kaki yang sudah lemas ini menuruni anak tangga.
"Ada apa sih ma?”
Tak ada jawaban yang kuterima, mama dan papa saling menatap secara bergantian tanpa mengucapkan secara gamblang maksud tujuan mereka.
"Ada apa sih ini? Kok malah diam. Ma pah, ayo dong aku capek banget nih. Mau ngomong apa sih?” desakku.
Tak ada jawaban dari orang tuaku. Langsung saja aku berbalik arah ke kamar, sudah tak sabar rasanya berbaring di kasurku yang empuk itu.
Baru beberapa Langkah berjalan, aku kaget tiba-tiba mama bicara hal yang sudah lama sekali tak disinggung dalam keluargaku.
"Mama sudah menyiapkan jodoh untukmu." Terang mama.
Deghh....
Jantungku rasanya berhenti berdetak. Sontak saja aku kaget keheranan, kenapa mama mendadak mengutarakan hal seperti ini.
Jelas saja aku tak setuju dengan perjodohan yang baru saja di ucapkan mama.
"Untuk apa mama jodohin aku, ma. Aku masih bisa kok cari jodoh sendiri. Kayak zaman Siti Nurbaya aja sih main jodoh-jodohan."
Lain yang aku tanya, lain juga yang menjawabnya. Dea langsung saja menentang kata-kataku di depan mama dan papa.
“Alah, lu selalu ngasih alasan begitu. Udah berapa lama lu janji ke mama papa buat bawa calon ke sini? Nyatanya sampe sekarang lu tetap jomblo aja. Gue juga kepingin nikah, lu jangan egois dong.” Celetuk Dea.
"Kalau lu mau nikah ya udah nikah aja, ngapain mesti nunggu Gue. Gue gak pernah larang lu buat nikah duluan."
Mama dan papa mendukung keputusan Dea untuk segera membina rumah tangga.
Namun dengan catatan aku yang harus lebih dulu melangkah ke pelaminan.
"Benar yang dikatakan adikmu, Rania. Umurmu udah pantes banget buat nikah. Gak bagus juga kalau menunda-nunda hal yang baik. Apalagi sih yang kamu tunggu?" Ujar mama.
“Yaudah sih kalau Dea mau nikah, yaudah nikah aja duluan. Aku izinin kok ma, pa. Gak usah mempersulit keadaan lagi deh. Lagian aku masih muda, masih mau berkarir." Jelasku pada mama.
Posisiku sangat tersudut pada saat ini, tak ada satupun yang membelaku. Aku harus benar-benar berjuang sendiri untuk bisa menghindari perjodohan dadakan ini.
"Wanita usia 32 tahun dengan status belum menikah, kamu bilang masih muda? Rania, mama juga pengen banget gendong cucu." Tegas mama lagi
Aku harus benar-benar memutar otak demi bisa keluar dari obrolan membosankan ini. Aku bahkan tak punya alasan apa pun untuk bisa kabur.
Jalan satu-satunya adalah mengarang cerita, supaya mama dan papa tak terlalu khawatir dengan anak gadisnya yang masih betah melajang ini.
"Walaupun udah kepala tiga, aku kan masih cantik ma. Masih banyak yang mau sama aku. Ini Cuma masalah waktu ma, aku janji bakalan bawa calonku ke sini."
Harapanku dengan alasan ini mama akan luluh dan mengurungkan niat untuk menjodohkanku dengan laki-laki pilihannya.
Sejenak mama meresapi alasanku yang masih masuk akal, sampai mama beberapa kali menatapku dengan pandangan yang kurang yakin.
"Justru karena kamu cantik, mama semakin was-was membiarkanmu untuk kerja sampai malam begini. Coba kamu pikir deh, pasti bahaya seorang anak gadis keluar sampai malam begini, kan?" Tanya mama.
Sejenak aku terdiam dengan pernyataan mama. Benar adanya yang di katakan mamaku.
Terkadang aku merasa risih jika aku digoda Ketika pulang dari kantor. Walaupun mereka tak pernah menyentuhku atau melakukan hal yang kurang ajar aku tetap tak nyaman.
“Jadi gimana nih? kok lu malah diem aja sih? Gimana keputusan lu? Lagian lu juga sih, terlalu sibuk kerja sampe gak sempat nyari pacar. Udah bagus dikasih jodoh sama mama malah ditolak, Gimana sih!” Celoteh Dea seraya melirik tajam ke arahku.
Aku rasanya sudah kalah telak. Tak ada lagi alasan yang terlintas di benakku pada saat ini.
Sepertinya untuk kali ini aku harus mengalah. Aku ikuti saja dulu alur permainannya, selepas itu nanti aku atur lagi strateginya.
Berlahan aku menghela nafas berat. Menatap keluarga kecilku secara bergantian.
“Kasih Rani kesempatan !” aku berucap sambil menunduk.
“Kesempatan? Kesempatan apalagi yang kamu maksud, Rania? Udah berulang kali kamu di kasih kesempatan, tapi apa? Hasilnya nihil sampai sekarang.” Ucap mama kesal.
“Aku bakal cari calon suami secepatnya ma. Apa salah aku untuk menentukan jalan hidupku sendiri?”
Aku masih berusaha untuk membujuk mama supaya memberikan sedikit waktu.
Jujur saja aku sama sekali belum siap lahir batin untuk menikah apapun alasannya.
Sepertinya mama mempertimbangkan ucapanku. Beberapa kali mama memutar bola matanya untuk memikirkan keputusan yang akan diambil.
“Gimana pah?” colek mama pada papa yang tengah sibuk memainkan ponselnya.
Papa duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sambil mengangguk papa memberikan jawaban atas perdebatan gue dan mama.
“Kalau menurut papa semakin cepat akan semakin baik.” Ujar papa.
Dea dan mama tampak sembringah mendengar perserujuan dari papa. Sesekali Dea melompat kegirangan.
“Pahh… gak bisa gitu dong. Masa aku harus nikah dalam waktu dekat. Tolonglah pah, aku juga belum siap.” aku merengek dengan kedua bola mata memelas seperti bocah yang tak diberi permen.
Papa hanya mengangkat kedua bahunya diiringi dengan kedua alisnya yang serentak mengikuti arah bahunya.
"Kamu udah punya 2 pilihan. Sekarang semua Keputusan ada ditangan kamu Rania."
Papa meninggalkan kami bertiga di ruang keluarga itu.
Kini hanya kami bertiga yang terus berdebat untuk mempertahankan keputusan masing-masing.
Hingga pada akhirnya perdebatan panjang ini menemukan titik terang juga.
“Ya udah, mama turutin permintaan kamu. Mama akan kasih kamu kesempatan. kamu bawa pacar kamu kehadapan mama pada saat kamu ulang tahun yang ke 33. Gimana?” Ucap mama.
“Apa? Ma yang benar aja dong, bulan depan umur Rania ulang tahun, Ya kali nyari jodoh segampang itu.” Protesku dengan kaget.
Serentak mama dan Dea bangkit dari tempat duduknya untuk menyudahi perdebatan ini.
“Keputusan ada di tangan kamu Rania, mama udah tururtin kemauan kamu. Kalau kamu keberatan, kamu bisa ikuti saran mama untuk melakukan perjodohan ini.” Ungkap mama.
Mama dan Dea meninggalkanku sendirian di ruangan yang hening itu.
Aku amat sangat tertekan dengan keputusan mama yang memberikan kesempatan bagiku untuk mencari pasangan kurang dari tiga puluh hari.
Aku mengacak-acak rambutku secara frustasi sambil terus mengoceh.
“Haaah nyari jodoh dalam sebulan? Gimana caranya? Ya tuhan, cobaan apalagi ini?" Batinku seraya menggaruk kepalaku yang gak gatal.