Jodoh Di Tangan Marga

Jodoh Di Tangan Marga

Mei Shin Manalu

5

Apa yang paling menjadi kegelisahan bagi kaum wanita ketika menginjak usia hampir 30 tahun? Menikah. Ya, pernikahan. Sama seperti wanita lain, Mora Rodearni Sinaga juga mengalami masa-masa sulit karena belum membina bahtera rumah tangga dengan seorang pria pada usianya yang sudah 29 tahun. Usia yang dinilai sangat matang bagi seorang wanita Indonesia untuk menikah, bahkan untuk memiliki anak.

Tak peduli seberapa cemerlangnya karier Mora. Tak peduli bahwa tahun ini, Mora telah berhasil meraih posisi sebagai manajer di perusahaan perhotelan tempat kerjanya, dan juga berhasil mendapatkan gaji dua digit. Jika Mora belum menyandang status sebagai seorang istri, segala kesuksesannya itu seperti tampak tidak terlalu berharga.

“Kapan kamu menikah?”

Bak sesosok hantu gentayangan, Mora selalu merasa dikejar-kejar oleh pertanyaan semacam itu. Di mana pun. Kapan pun. Mora merasa pertanyaan tentang pernikahannya merupakan momok menakutkan yang ingin ia hindari. Terlebih ketika pertemuan keluarga terjadi. Pertemuan yang seharusnya menghasilkan kebahagian, tapi tak ubah hanya sebuah mimpi buruk bagi Mora.

Bagaimana tidak? Pada kesempatan itulah Mora menjadi bulan-bulanan saudara-saudaranya yang telah menikah. Memang, hampir seluruh anak di keluarga besar sang ayah sudah memiliki pasangan hidup. Hanya Mora sendirilah anak di usia lebih dari 20 tahun yang belum menikah sehingga kata perawan tua menjadi label yang tersematkan di belakang namanya. Mora Si Perawan Tua.

“Besok adikmu si Rida datang ke rumah Ompung. Katanya dia tidak bisa datang hari ini karena mertuanya masih sakit,” seru ibu Mora yang duduk di kursi belakang. Ia baru selesai berbicara dengan sepupu Mora dan menyampaikan isi perbincangannya ke semua orang di dalam mobil, dan secara khusus ditujukan kepada Mora.

Mora menengok ke belakang, ke arah tempat duduk ibu dan adik perempuannya berada. “Rida siapa, Ma? Anaknya Uda nomor dua ya?” balasnya. Mora memang tidak terlalu ingat semua nama saudara sepupunya, tapi ia cukup mengingat Rida. Pasalnya, wanita itu sempat mengundang Mora untuk hadir di acara pernikahannya yang diadakan awal tahun ini. Sayangnya saat itu, Mora tidak bisa hadir karena kesibukan mengurus promosi jabatannya. Alhasil, Mora hanya menyerahkan kado pernikahan kepada sang adik sepupu sebagai tanda permintaan maaf.

“Iya, anaknya Uda-mu nomor dua. Katanya dia juga sudah hamil empat bulan,” timpal sang ibu.

“Wow, cepat juga ya.” Mora berdecak kagum dan sama sekali tidak ada tendensi mengejek. Mora benar-benar menganggap Rida sebagai wanita yang hebat karena tidak mudah memutuskan untuk memiliki anak tak lama setelah menikah, apalagi Rida dan suaminya tinggal di rumah keluarga sang suami. Ditambah Rida menikah di usia 23 tahun. Wanita itu bahkan hanya sempat bekerja enam bulan setelah lulus kuliah, kemudian memutuskan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga seperti saat ini.

“Iya, Inang Uda-mu sering Whatsapp Mama. Dia tanya-tanya tentang nama untuk anaknya si Rida.”

Ayah Mora yang sejak tadi sibuk menyetir, menanggapi ucapan istrinya, “Memangnya sudah tahu jenis kelaminnya? Kok sudah sibuk cari nama anak?”

“Namanya juga cucu pertama. Wajar mereka antusias,” sahut Ibu Mora.

Mora hampir lupa kalau Rida sama dengannya. Sama-sama anak sulung dan otomatis menjadi boru panggoaran di dalam keluarga. Itu artinya anak yang sekarang di dalam rahim Rida, mau itu laki-laki atau perempuan akan memberikan nama atau gelar pada Rida dan suaminya sekaligus pada orang tua Rida. Sudah sepatutnya keluarga Rida sangat berhati-hati memilih nama bagi anak itu karena akan menjadi nama panggilan bagi keluarga mereka. Tentunya sampai Juan—adik laki-laki Rida menikah dan memiliki anak.

Mora berbicara, “Ya tunggu sampai tahu anaknya nanti perempuan atau laki-laki saja, Ma. Nanti Mama sudah pilih nama anak laki-laki, eh, anaknya malah perempuan. ‘Kan jadi kerja dua kali.”

“Ya tidak masalah. Namanya bisa Mama disimpan untuk anakmu nanti.”

“Lah, aku saja belum menikah, masa sudah dicari nama anak?”

“Makanya kamu cepat-cepat menikah biar Mama bisa cepat gendong cucu. Kamu tidak kasihan lihat Mama yang iri setiap dengar Inang Uda-mu cerita tentang si Rida? Mama juga mau pamer cucu Mama.”

Mora memutar bola matanya dengan jengah. “Cucu itu bukan untuk dipamer-pamer, Ma.”

“Kamu ini selalu begitu, Mora! Apa kamu tidak mau menikah? Memangnya kamu tidak sedih diejek adik-adikmu? Mama saja sedih mendengarnya.”

Kena lagi aku, keluh Mora di dalam hatinya. Sebenarnya Mora tahu tidak ada niatan buruk sang ibu saat mengutarakan kalimat barusan. Itu hanya sebatas harapan sekaligus permintaan dari seorang ibu agar putrinya cepat menikah dan memiliki keturunan. Hanya saja, Mora terlalu sering mendengarnya hingga ia pun pada akhirnya merasa lelah.

Bukannya Mora tidak ingin menikah. Mora tidaklah sehebat itu untuk hidup selibat. Ia ingin menikah dan sudah tiga kali merencanakan pernikahannya. Tapi semuanya gagal. Orang tuanya tahu betul apa penyebabnya. Mora butuh waktu, terlebih kekasihnya sekarang bukan berasal dari suku Batak.

“Mama tenang saja, aku pasti menikah,” imbuh Mora dengan tegas, berharap sang ibu berhenti memasang tampang sedihnya.

“Iya, Mama tahu. Mama juga punya firasat tahun depan pasti kamu menikah.”

“Ha? Kok Mama bisa seyakin itu?”

“Ya yakin saja. Namanya juga firasat seorang ibu.”

“Ya, ya, ya. Terserah Mama sajalah,” balas Mora malas. Asalkan sang ibu senang, Mora tidak akan membantahnya. Lagi pula, berdebat dengan ibunya jauh lebih melelahkan ketimbang menyetir mobil seharian. Terlebih perdebatan itu tentang pernikahan.

Mora kembali memandang ke depan, ke arah sebuah rumah yang berjarak tinggal puluhan meter dari mobilnya. Rumah sang nenek. Entah apakah Mora harus merasa senang atau sedih melihat rumah kayu bercat putih itu. Tapi satu hal yang pasti, Mora yakin ada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya saat berada di rumah itu.

*****

Glosarium:

Boru panggoaran: Putri sulung yang namanya digunakan sebagai nama panggilan orang tuanya.

Inang Uda/Nanguda: Panggilan kepada adik perempuan ibu, kepada istri dari adik laki-laki ayah, kepada istri dari laki-laki semarga yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah, tetapi usianya lebih muda, dan kepada istri dari Uda.

Ompung: Panggilan kepada kedua orang tua ayah dan ibu atau orang yang lebih tua yang usianya setara dengan orang tua ayah atau ibu.

Uda: Panggilan kepada adik laki-laki dari ayah atau kepada suami dari adik perempuan ibu, dan kepada laki-laki semarga yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah, tetapi usianya lebih muda.