JIWA-JIWA LAIN

JIWA-JIWA LAIN

monicamey

0

Nasehat Ibu


Pria itu masih sama seperti yang dulu. Seseorang yang aku kenal sejak belasan tahun silam tetap dengan sikapnya yang pemarah. Kali ini aku mendengar dia berteriak kencang bagaikan petir kepada istrinya. Perkataannya yang mengeluarkan umpatan seketika cocok dengan sifatnya yang tak bisa diubah. Berulangkali sang ibu menasehati tetap saja kelakuannya membuat warga resah. Aku ingin menolong wanita yang kini menjadi istrinya, tetapi hal itu bukanlah hakku untuk turut campur.


"Kau masih senang mengintip keributan mereka, Seruni?"


Pertanyaan ibu dengan suara beliau yang keras cukup membuatku terkejut.


"Dan ibu selalu senang mengejutkan Seruni dengan suara ibu," gerutuku yang masih terkejut.


"Kau saja yang tak mendengar kedatangan ibu." Ibu berucap sambil duduk di kursi kayu ruang tamu.


"Seruni terlalu fokus memperhatikan mereka, Bu." Aku berkilah sembari turut duduk di samping ibu.


"Setiap hari mereka bertengkar. Ibu dan tetangga sampai bosan mendengarnya." 


"Apa tetangga tidak melaporkan kekerasan rumah tangga tersebut, Bu?" tanyaku seraya menatap ibu yang sedang melihat hampa rumah di depan.


"Semua sudah dilakukan, Nak. Namun, uang membuat bungkam mulut-mulut pelapor." Ibu mendesah berat.


"Lukman tidak pernah berubah, ya, Bu?"


Aku berdiri melihat lagi rumah di depan kami. Maklum jarak rumah kami dengan tetangga terbilang cukup dekat sehingga memungkinkan untuk mendengar suara keributan atau teriakan para ibu kepada anaknya di sore hari.


"Apa kau menyesal dengan keputusan yang kamu ambil dulu, Nak?"


Aku bisa menangkap maksud pertanyaan ibu dengan tersenyum kepada beliau dan menggeleng. Aku bersyukur dengan keputusan yang kuambil belasan tahun silam. Mata ini masih memandang rumah Lukman yang ada di depan dari balik jendela dengan tirai tipis. Suara gaduh dan umpatan kotor sudah tak terdengar lagi. 


Tepat saat itu juga, aku melihatnya. Dia melangkah keluar dengan tatapan kejamnya. Mata kami saling beradu. Aku dan Lukman saling terdiam sejenak. Dia melihatku sekilas dengan mimik wajah terlihat bingung dan pergi melesat begitu saja.


"Selesai melempar benda dan memukul Mina, dia akan pergi begitu saja tanpa perasaan bersalah," ujar ibu yang juga melihat Lukman.


Aku hanya bisa menatap iba dengan yang dialami Mina selama ini. 


"Kau tahu, Nak? Ibu bersyukur kamu tidak jadi menikah dengannya meski saat itu kamu sempat mengakhiri hidupmu."


Aku melihat wajah ibu dan tubuh beliau yang sudah ringkih dimakan usia. Benar kata ibu, andai saat ini aku bersamanya kemungkinan besar yang berada di posisi Mina sekarang adalah tubuh ini.


Lukman Yunas Wijanto adalah pria idaman gadis desa dan anak aparat setempat. Dia memiliki wajah tampan, tubuh atletis dan kaya, tetapi sayang sifatnya buruk. Pemabuk dan malas. Usia tujuh belas tahun hatiku jatuh cinta dengan pria penyuka minuman beralkohol itu. Gayung bersambut dengan sukacita. Cintaku diterima oleh Lukman. Gadis manapun akan iri dengan kedekatan kami. 


"Nduk, putuskan hubunganmu dengan Lukman sekarang." Bapak berpesan kepadaku sebelum bapak berpulang ke rumah Allah.


"Seruni cinta sama Lukman, Pak. Seruni tidak mau putus." Aku marah kepada bapak waktu itu.


"Dia bukan lelaki yang baik dan bisa menjaga kehormatanmu, Nak." Ibu juga ikut bicara dengan keras.


"Seruni bisa menjaga diri, kok, Bu." Aku membela diri tak terima dengan perkataan bapak dan ibu.


"Bapak akan mengijinkanmu menikah setelah bapak meninggal dan kamu tidak berhak tinggal lagi di rumah ini," ucap Bapak dengan nada emosi.


Aku terhenyak mendengar perkataan bapak. Aku yang masih usia belia harus pergi dari rumah jika masih bersikeras ingin menikah dengan Lukman. Nyaliku ciut seketika. 


Namun, sekali lagi cinta mengalahkan segalanya. Aku menentang bapak dan ibu dengan melakukan bunuh diri. Untung Allah menyelamatkan nyawa ini.


"Ini peringatan terakhir bapak. Jika kamu masih ingin bersama lelaki bejat itu maka angkat kaki dari rumah bapak," usir bapak mengacungkan jarinya ke arah depan rumah.


Aku tidak mau diusir oleh bapak karena gejolak mudaku terlalu takut untuk melangkah keluar bersama lelaki yang tak direstui kedua orang tua.


Mana ada orang yang mau mempekerjakan diriku yang masih duduk di bangku sekolah dan uang jajan minta kepada bapak. Saat aku meminta putus dengannya meski hati ini berat, Lukman dengan mudahnya mengatakan kalimat yang membuatku terluka.


"Aku masih bisa cari cewek lain. Untuk apa menunggu kamu?"


Jika mengingat hal itu aku tak pernah menyesalinya. Justru bangga kepada diri sendiri sudah bisa mengambil sebuah jalan yang indah pada akhirnya. 


"Dulu bukannya ibu dan bapak tidak menyukai hubunganmu dengan Lukman, Nak. Jika saja dia pria yang baik maka kami akan merestui kalian. Ingat apa yang terlihat di mata belum tentu baik di hati."


Dua bulan setelah aku memutuskan tali cinta kami, Lukman dipaksa menikahi Mina karena ketahuan hamil sebelum menikah. Mina sahabatku harus menanggung akibatnya dan melahirkan anak di usia yang muda bahkan sebelum lulus sekolah.


"Seruni tidak tahu apa yang akan terjadi jika Seruni bersamanya sekarang, Bu."


"Kami sebagai orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ibu hanya ingin kamu menikah dengan pria yang bisa menjaga kamu dan menjadi Imam dalam rumah tanggamu." Ibu mulai bernarasi panjang memberi nasehat.


Netraku kembali memandang arah depan dan melihat Mina keluar membawa tas. Mina menangis dengan wajah lebam. Aku memperhatikan sahabat lama itu dari balik jendela. Mina tidak mau menemuiku hingga kini karena masa lalu. Mata kami saling menatap dalam kebisuan. Mina menjatuhkan tasnya, mulutnya membentuk tanda O dan mata yang membulat memperhatikan aku serta ibu dari balik jendela rumah.


"Sudah lama Mina tidak melihat ibu," ucap ibu tiba-tiba.


Aku bisa memastikan jika Mina sekarang ketakutan. Dia mengambil tasnya yang terjatuh dan belari sekencangnya.


"Makanya ibu tidak suka melihat dari balik jendela, Nak."


"Tidak apa-apa, Bu. Mereka hanya takut saja," ujarku sambil mengambil tas yang aku letakkan di atas meja.


"Jangan terlalu sering ke rumah ini, Nak. Urusi suami dan anak-anakmu." 


"Ah, ibu. Seruni selalu ingin mendengar nasehat ibu dan bapak. Benar begitu, kan, Pak?" Aku melirik bapak yang duduk di kursi goyangnya sejak tadi dan tidak mau ikut berbicara.


"Kamu akan membuat orang ketakutan jika melihat kamu berbicara sendiri. Jadi jangan pernah ke sini lagi, ya, Nduk?" Bapak tersenyum hangat sebelum bunyi klakson mobil suamiku berada di depan. 


"Seruni akan mengunjungi kalian bulan depan," kataku sambil menutup pintu dan menguncinya.


"Sudah selesai bicara dengan bapak dan ibu, Yang?"


Aku melihat senyuman manis suami yang berada di dalam mobil. Sebuah senyuman tulus dan cinta yang ditujukan kepadaku. Istrinya yang dapat bercakap dan melihat makhluk tak kasat mata. 


=Selesai=