JENGGALA

JENGGALA

Shine Kawarti

0




Aku masih berpikir tentang masa-masa indah yang penuh dengan peluh dan keringat. Riuh sahutan semangat yang mungkin juga akan sulit untuk kulupakan meski nanti tubuhku mulai menua. Dulu aku berpikir ini tidak akan berakhir dengan cepat karena aku masih merasakan euphorianya sampai detik ini. 




Mataku nyalang menatap bola berbulu putih yang terbang ke sana ke mari mengikuti arah pukulan. Dari baris ke tiga tribun di sayap kanan aku bisa melihat gelagat kelelahan salah satu atlet yang sedang bertanding. Itu seperti diriku beberapa tahun lalu, saat sinarku belum redup, saat punggungku masih kokoh. 




Aku terhenyak kala jemariku diremat sedikit kencang oleh seseorang. Kutatap lamat tangan kami yang bertaut. 




"Bukan salahmu." ucapnya pelan sambil memberikan usapan ringan di buku jariku yang memucat. 




Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Kulihat ke dalam matanya. Ketulusan yang begitu murni di sana. Bibirnya tersungging senyum kecil. Membuatku ikut tersenyum. 



Mungkin mimpiku yang satu itu telah padam, tetapi bukan tak mungkin aku masih bisa bermimpi lagi saat masih bisa tidur dan terbangun kembali. 

•••


Menjadi mahasiswa sungguhan membuatku sibuk membaca banyak buku dimana-mana. Sudah lama semenjak aku masih maba dulu. Rasanya baru baru ini aku seperti mahasiswa yang mahasiswa. Yeah... U know what I mean. Selama ini aku hanya sibuk berlatih dan sakit hingga tertinggal 2 semester dari teman-teman seangkatanku. 


Pagi ini mama marah-marah lagi di rumah perihal paket kaca mata yang datang kemarin sore. Padahal aku sudah berusaha menyembunyikan sampah bekas paket itu, tapi mama adalah mama. Ia bahkan bisa menemukan satu kancing baju yang hilang. Sulit bermain rahasia dengannya. 


Hari ini setelah makan sarapan dan kultum perihal kacamata dengan mama aku berangkat ke kampus naik transportasi umum. Agak memakan waktu memang, tapi aku bosan naik mobil pribadi atau motor. Dan juga malas mengompakan ban sepedaku yang kempes sejak beberapa hari lalu. Toh nanti aku akan pulang bersama abang Nathan dan Rere. 


Berbicara tentang abang Nathan dan Rere, mereka adalah saudaraku. Rere adalah kembarku sedangkan abang Nathan tujuh tahun lebih tua dari kami. Semenjak mama dan papa berpisah, abang Nathan dan Rere ikut serta dengan papa. Tinggal di rumah papa bersama istri baru dan anak-anak mereka. 


Singkat cerita, aku tidak pernah baik-baik saja dengan perpisahan kedua orang tuaku. Pun ketika aku telah menemukan alasan untuk tetap menerima kenyataan bahwa mereka tidak dapat bersama lagi. Namun lagi-lagi, perpisahan mereka menjadi hal yang patut aku syukuri mengingat kejadian sepuluh tahun lalu saat mama dan papa bertengkar hampir setiap hari di hadapanku. Sayangnya hanya aku, mama, papa, dan tuhan yang tahu, yang lain tidak. 


Kenyataan itu membuat abang Nathan dan Rere ikut serta dengan papa. Yang aku tahu, mereka menganggap semua ini kesalahan mama. Papa yang jarang pulang karena mama tidak pandai memasak, papa yang sering ingkar janji kepada kami karena mama tidak pandai membujuk mama, dan yang lebih parah papa yang memilih wanita lain karena mama selalu menuntut mama. 

Padahal mereka tidak pernah tahu setiap tetes ketingat dan air mata yang telah mama habiskan untuk papa. 


Lagi-lagi aku tidan tahu mengapa hanya aku yang tahu itu semua. Oleh karenanya aku menolak tinggal bersama papa dan memilih menemani mama saja. Di rumah baru mama yang kecil dan hanya ada dua kamar, berbeda dengan rumah papa yang besar seperti istana. 


Semenjak kembali tinggal dengan mama aku aktif ikut serta dalam salah satu club olahraga badminton. Dan oleh karena ketekutanan dan semangat yang terus dipacu pelatihku aku dapat mengijuti berbagai perlombaan sampai tingkat nasional, mewakili negara. Namun itu semua telah berakhir. 


Tahun lalu saat kejuaraan bulu tangkis di Canada sebuah peristiwa harus menghentikan segala rencana yang telah kususun. Usiaku dua puluh tiga. Semangatku masih berkobar. Namun peristiwa itu memadamkan kobaran api semangatku. Menggantikannya dengan tangisan malang ya setiap malam kugaungkan keras-keras dalam hening kepada Dia Yang Mencipta. 


"Kenapa Tuhan memberiku mimpi jika kini semuanya harus sirna?" 


"Kenapa Tuhan mengirimku ke Canada jika aku harus pulang dalam keadaan cacat?" 


"Kenapa Tuhan mengirimkanku ke dunia jika aku tidak bisa bahagia seperti saudaraku yang lainnya."


"Kenapa saat aku terjatuh, tidak ada yang membantuku selain mama?" 


Dan banyak kenapa-kenapa lainnya yang selalu berkeliaran di kepalaku, meminta protes kepada Tuhan. Bahkan hingga sekarang aku masih beberapa kali mempertanyakan ribuan alasan yang mendasari mengapa aku bisa seperti sekarang.