Jelema Tawah

Jelema Tawah

Geanna Kim

4.2

    Menyerahkan seluruh jatah liburanmu untuk memandu liburan anak-anak konglomengrat yang licik dan angkuh jelas adalah mimpi buruk. Tapi aku terpaksa melakukannya, apa lagi kalau bukan demi uang? Berstatus anak yatim yang terdampar sebagai mahasiswa blasteran di Pulau Bali sebetulnya sudah cukup menyulitkan. Dan tahun ini keadaan menjadi lebih sulit saat ibuku jatuh sakit akibat dihantui bayang-bayang kematian ayah di Busan. Konflik yang berujung ledakan bom di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan itu menewaskan ayahku, tentara yang menjadi kebanggaanku sejak kecil. Setelahnya hidup di Busan bagaikan neraka, sehingga ibu membawaku pulang ke Bali.

    “Kak Ye Dam, sehabis ini kita mau ke mana?” tanya anak laki-laki kurus berambut pirang di kursi belakangku. 

    “Aduh, bosan sekali.” Bocah bersurai merah terang yang duduk di sebelahku menggerutu. “Seharian ini kita cuma jalan-jalan di Pantai Sanur, lihat-lihat isi museum, menyicipi kuliner. Ah, selalu kegiatan itu yang dikasih semua tour guide. Kuno! Bosan!”

    Aku mengepalkan tangan yang masih menempel di kemudi. Tiga anak pengusaha keturunan Jepang dan Korea ini sangat menyebalkan. Terutama si rambut merah, Kim Do Young, dia seperti setan merah yang kerjanya hanya bisa protes dan menyombongkan isi dompet. Si rambut pirang, Kim Asahi, masih jauh lebih baik. Satu-satunya anak yang berparas dominan Jepang itu sangat pendiam dan hanya sesekali bertanya. Sedangkan kakak tertua mereka, Kim Jun Kyu, adalah yang paling normal. Sejauh ini pria karismatik dan berbusana necis bak eksekutif muda itu belum bertingkah di luar nalar seperti dua adiknya.

    “Sabar, Bang Ye Dam. Sabar.” Aku menepuk dada, mencoba menenangkan gemuruh amarah yang mengamuk di sana. 

    Keberuntungan yang kudapat kemarin rupanya berjalan beriringan dengan kesialan. Maksudku, menjadi tour guide tiga anak kaya yang tengil ini selama sebulan apa lagi namanya kalau bukan malapetaka? Jujur, aku dibayar mahal. Ibu mereka yang memiliki garis keturunan Bali sangat senang saat mengenal pegawai magang sepertiku yang juga anak blasteran. Pasalnya, tiga anak merepotkan ini akan tinggal menetap di Bali dan ibu mereka merasa pengalamanku tiga tahun tinggal di Bali akan sangat membantu anak-anaknya. Tapi maaf, sekarang baru hari pertama dan aku sudah mau menyerah.

    “Bagaimana kalau kita makan malam di Jimbaran?” usulku sambil tersenyum lebar yang nahasnya dibalas pandangan datar oleh mereka. 

    Jun Kyu bungkam. Asahi tenggelam dalam buku bacaan. Do Young sibuk melihat hasil rekaman kameranya. Anak berkaos branded dengan bawahan celana pendek itu selalu merekam tempat-tempat wisata yang kami kunjungi hari ini, mungkin hobinya.

    “Aku ingin ke tempat yang seru!” keluh Do Young sembari bersungut-sungut. “Merekam perjalanan tadi ternyata bukan konten yang menarik.”

    “Tentu saja,” sahut Asahi seraya menyilangkan kaki dan bersedekap. “Apa asyiknya menonton konten jalan-jalan? Lagi pula sekarang kita sudah jadi orang Indonesia. Kamu tahu konten apa yang paling diminati warga Indonesia?”

    Do Young mengerjapkan mata lalu menggeleng. Asahi terkekeh dan mengacungkan novel horor di tangannya. Merayap mendekatiku dan Do Young yang terperangah.

    “Konten horor!” katanya dramatis sembari menyinari wajahnya dengan senter ponsel. “Kalau kita pergi ke tempat mistis dan merekamnya. Wah, pasti kita akan terkenal!”

    Aku terperanjat, melirik arloji di tangan dan pucuk matahari yang hampir lenyap termakan lautan. Pendar senja di Pantai Sanur akan lekas terenggut, tergantikan pekat malam.

    “Ide bagus!” sambut Do Young penuh antusias, lalu sejurus kemudian melirik tajam ke arahku. “Bawa kami ke tempat seram di pulau ini. Nggak ada penolakan. Kau sudah dibayar mahal sama ibuku. Dan aku ini anak kesayangan ibuku. Mau kuadukan, hah?”

    Aku tertegun. Menoleh pada Jun Kyu yang sialnya masih saja diam seperti patung.

    “Dan aku ini anak kesayangan ayahku.” Asahi menimpali dengan seringai lebar. “Mau kupesan mafia Jepang untuk menghajarmu?”

    Kepalan tanganku mengetuk kening yang berdenyut. Jarum arloji memang belum menyentuh angka enam, tapi sekejap lagi malam dan itu jelas petanda buruk. 

    “Mau ke mana? Kalian tahu kalau Bali adalah pulau yang terkenal mistis.”

    “Bagaimana kalau Taman Festival Bali?” Jun Kyu buka suara, paras bekunya mencair dan berubah antusias. “Banyak pemburu hantu yang menjelajahi tempat angker itu.”

    Do Young melompat-lompat di kursinya, membuat mobil dari perusahaanku bergetar. Asahi menjetikkan jari, mendukung usulan kakaknya. Jun Kyu memamerkan senyum lebar.

    “Baiklah, kita ke sana.” Aku mendengus pasrah. “Tapi hanya 30 menit. Oke? Aku beli canang dulu untuk memberi sesajen di sana agar penjelajahan kita berjalan lancar.”

    Ketiga anak menyebalkan itu mengangguk serempak. Aku keluar untuk membeli canang dan langsung mengemudikan mobil menuju daerah Pantai Padang Galak di dekat Desa Kesiman. 

Kawasan wisata seluas ratusan hektar itu dulunya adalah tempat wisata paling megah dan mewah di Bali. Sayangnya kebangkrutan di tahun 1999 dan kebakaran di tahun 2012 mengubah taman hiburan ini menjadi tempat mistis terbengkalai. 

Aroma malam langsung mengintai kami begitu aku menepikan mobil. Aku menghamburkan napas gusar, sungguh 18 menit perjalanan yang diselimuti rasa khawatir. Do Young yang sepertinya bercita-cita menjadi youtuber itu langsung berlari kegirangan disusul Asahi, tepat setelah aku membuka kunci otomatis mobil.

    “Hei, tunggu!” Aku kelimpungan mengejar mereka yang untungnya berhasil kucegat sebelum melewati gerbang. “Kita harus minta izin dulu sama masyarakat setempat. Ingat, kita cuma orang asing, jelema tawah.”

    Asahi manggut-manggut, sementara Do Young melengos sambil terus merekam. Aku mendesis, lantas beranjak menghadap seorang pria paruh baya berpakaian adat yang kuyakini bertugas menjaga kawasan angker ini. Kami diizinkan masuk untuk kepentingan perekaman konten horor dan langsung menyusuri taman dipandu pria tua tadi. Aku sedikit lega karena Pak Made, penjaga Pura Campuhan di dalam taman ini mau menemani kami. 

Mataku kemudian sibuk bermanuver mengawasi Do Young dan Asahi. Mereka berkali-kali hendak menerobos semak-semak tinggi. Oh Tuhan, dua anak itu nakal sekali. Apa mereka tak lihat betapa kawasan ini serupa hutan belantara dengan bangunan-bangunan lapuk yang menjadi sarang kelelawar? Aku memiringkan kepala, menghindari sabetan sayap kelelawar. Kulihat Asahi dan Do Young sedang menganggumi gambar grafiti di tembok sambil tertawa-tawa. Dan saat itulah aku teringat seseorang.

“Di mana Jun Kyu?” tanyaku gamang. Putaran netraku yang meraung panik mencoba membelah kegelapan untuk menemukan Jun Kyu, tapi yang aku temukan hanya raut heran Pak Made.

“Ada apa? Siapa Jun Kyu? Dari tadi kalian cuma bertiga, kok.”

Deg. Dentuman keras bertalu-talu di dadaku. Mustahil. Ini salahku karena berpikir Jun Kyu cukup dewasa dan waras untuk tidak diawasi.

“Kak Ye Dam!” panggil Do Young. “Katanya tempat yang menyimpan aura negatif paling banyak di taman ini adalah gedung teater, ya?”

Aku masih tercenung memikirkan Jun Kyu. Sehingga Pak Made mengangguk. “Tapi lebih baik jangan ke sana,” larangnya dengan mimik serius.

Do Young memberangut. Terang yang semula redup kini sirna, mengusir arakan awan, dan menyisakan bercak-bercak hitam yang agak mendung. Bibir keringku merapalkan kutukan atas hilangnya Jun Kyu. 

Aku berbalik badan setelah memastikan dua anak begundal itu tak pergi terlalu jauh. Tadinya aku ingin meminta bantuan Pak Made menjaga mereka, tapi pria tua beruban lebat itu luput dari pandanganku. Tidak ada siapa-siapa di sekelilingku, hanya ada semilir angin dingin dan kegelapan tak berujung. 

“Jun Kyu dan Pak Made hilang!” Aku menjerit panik, mengagetkan Do Young dan Asahi yang langsung terbirit-birit keluar dari bangunan bekas cafetaria. 

“Bagus!” Do Young malah bersorak, mukaku merah padam mendengarnya.

Anak tengil itu cepat-cepat menggandeng tangan Asahi yang terheran-heran melihatku panik bukan main. Mereka berlari memasuki bangunan berkerangka besi yang menjulang tinggi. Bangunan ikonik yang atap-atapnya sudah hancur termakan usia itu menyimpan aura yang membuatku merinding. Tapi Do Young dan Asahi terlihat menikmati.

“Kami mau mencari kolam penangkaran buaya. Katanya masih ada buaya kanibal yang hidup.” Asahi berseru sembari menyoroti setiap sudut taman dengan senter ponsel.

Seruan yang terlalu percaya diri itu menyambarku bagai petir. Aku tak memikirkan Jun Kyu lagi, mungkin ia enggan bermain-main di tempat angker dan sekarang sedang duduk di warung kopi. Aku harap benar seperti itu karena aku harus menghentikan rencana Asahi. Kuakui memang ada rumor tentang buaya kanibal yang lolos saat hendak dibawa ke kebun binatang dan masih berkeliaran di sini. Sialnya kolam itu berada di pelosok taman, yang artinya adalah rencana bunuh diri. Aku belum sempat survei dan Pak Made hilang, Ya Tuhan, rasanya aku akan sinting.

“Do Young! Asahi!” Aku memanggil-manggil, sorot senter ponselku melubangi julai tumbuhan yang merambati dinding penuh coretan, sulur-sulur akar pohon, dan siluet sekawanan kelelawar. 

Udara pengap merasukiku saat menebas keruh warna malam, sekaligus mengalirkan keringat deras. Hanya ada bilik-bilik ruangan yang dulunya entah untuk apa. Bangunan besar ini cukup berliku dan terlampau hening, aku bahkan bisa mendengar suara batuk Asahi dan derap sepatu kets Do Young yang bergema. Ketika berhasil menyusul aku mendapati dua bocah itu termangu menatap bagian bawah. Aku menghampiri dengan terengah-engah setelah berlari menaiki tangga. 

“Hei, jangan masuk terlalu jauh!” Suara serakku menegur dengan nada marah.

Tapi dua bocah itu malah mundur perlahan. Aku tersentak, baru kusadari tercium bau anyir dari kubangan besar berlumut di bawah. Cahaya ponselku menerobos kolam besar itu dan membingkai moncong seekor buaya. 


Do Young memekik, aku segera membekap mulutnya dan menarik lengan Asahi. Kami berlari menuruni tangga tanpa pegangan dan nyaris selamat kalau saja kegugupan Do Young tak membuatnya menjatuhkan kamera. Benda hitam itu berguling di tangga yang menuju kolam. Aku menelan ludah.

“Aku harus mengambilnya.” Do Young bertekad lalu tertatih-tatih merayapi tangga. 

Air amis kolam merembes sampai menggenangi ruang pusat kendali. Aku menggigit jari, pusat kendali berarti berdekatan dengan gunung berapi buatan, danau buatan, dan gedung teater, dan itu artinya kami masuk terlalu jauh dengan persiapan minim. Beruntung misi Do Young berhasil, aku hampir meraih tangannya yang gemetar sampai raupan mulut buaya meledakkan situasi yang sudah genting. Do Young terhempas ke sisi tangga, bergelantungan satu tangan sambil menangis. Uluran tanganku untungnya tidak sia-sia. Buaya itu menggelepar sesaat lalu kembali turun ke kolam. 

“Ini gila!” teriak Do Young saat kami berlari ketar-ketir keluar dari bangunan. “Lupakan gedung teater dan konten! Aku mau pulang!”

Kami berhenti di tengah-tengah pohon rimbun, daun-daunnya yang saling mencumbu menyembunyikan terang bulan. Posisi kami belum aman. Malah kian terperosok lebih dalam, dan tersesat. 

“Ah, itu Pak Made!” Tangis Do Young pecah saat menuding sesuatu di belakangku.

Sesuatu itu bukan manusia, aku tertipu oleh wujud Pak Made. 

Netraku menangkap segumpal bola api yang menyala-nyala dan perlahan membentuk sosok manusia yang tadi mengenalkan diri sebagai penjaga Pura Campuhan. Kekalutan menyergap wajah berkeringat Do Young dan Asahi. Bau dupa merebak dan sosok asing itu berubah menjadi makhluk aneh berlidah sangat panjang dan bergigi taring. 

Aku membeku, mengingat kembali apa hari ini.

“Area Taman Festival sangat disakralkan oleh penduduk Desa Kesiman. Sebab letaknya berada di bibir Pantai Padang Galak, tempat cerita mistis yang banyak menghanyutkan orang. Dulu itu tempat kencan pertama ayah dan ibu. Tapi sekarang semuanya berubah. Taman itu sangat sunyi, cocok dijadikan tempat pertemuan dan perkumpulan Leak. Jadi, kamu harus memperhitungkan hari apa kalau mau ke sana.”

Deg. Hantaman keras memalu dadaku. 

Cerita ibuku saat pertama kali sampai di Bali menyeruak tiba-tiba. Aku mundur perlahan dengan Do Young dan Asahi yang berlindung di belakangku, mencoba berpikir normal. Kendati Leak berwajah menyeramkan itu terus mendekat perlahan. 


“Hari Kajeng Kliwon dikenal angker bagi umat Hindu di Bali. Hari yang sangat keramat ini diyakini sebagai hari pertemuan para Leak untuk mengasah keilmuannya. Leak adalah manusia biasa yang menjadi penganut Aji Pangliyakan dan belajar ilmunya. Waktu siang mereka bisa menjelma jadi hewan atau manusia, dan saat malam menjadi Leak.”

Aku tercekat. Kenyataan itu menamparku, hari ini malam Kajeng Kliwon. Seketika lidah panjang itu menyapu tanah berumput di depan kami. Do Young berteriak panik dan melarikan diri bersama Asahi. Aku juga tak punya pilihan selain lari kendati Leak itu mengejar kami. Meski tersendat-sendat, kami secara ajaib mampu mencapai pintu masuk. Aku langsung menjejalkan Do Young yang lemas ke dalam mobil dan tancap gas tanpa memikirkan Jun Kyu. Tiba di depan rumah besar pengusaha blasteran Jepang, Korea, dan Indonesia itu membuatku menangis karena senang. Asahi memapah Do Young yang hampir pingsan. Tapi kemudian sosok mengejutkan membukakan pintu dan mencekik leherku, sunyinya perumahan elite Sanur terkotori oleh teriakan kami bertiga.

“Kak Jun Kyu!” Asahi terbelalak. “Bukannya tadi Kakak ikut sama kami?”

Laki-laki berpakaian setelan jas hitam itu mengerutkan dahi. “Hah? Do Young, kamu nggak baca pesan kakak, ya? Hari ini kakak menggantikan ayah rapat bisnis sama investor. Ini baru saja sampai.”

“Ponselku hilang tadi pagi dan aku abaikan,” jawab Do Young panik.

“La-lalu, Kim Jun Kyu yang seharian bersama kita itu siapa?” tanyaku getir.

“Leak?” Asahi mencetuskan satu kata yang membangkitkan bulu kuduk kami bertiga.

***