Januari 2020, di Kepulauan Auri.
Mataku masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan singkat yang kubaca saat ini, sukses membuat jantungku mendadak sesak.
Pesan: 089xxxx
Eir, apa kabar? Selamat ulang tahun, ya. Aku boleh nelpon sebentar nggak? Janji, ini yang terakhir dan aku nggak bakalan ganggu hidup kamu lagi.
Pesan itu tak sengaja kubaca saat tengah bebersih penyimpanan ponsel yang hampir penuh. Iya. Aku tahu, ini terlambat. Pesan singkat yang terkirimkan padaku sejak Juli tahun lalu itu baru sempat kubuka sekarang. Tentu, bukan salahku. Siapa suruh dia selalu mengingkari janji? Aku sudah berulang kali memberinya kesempatan, tapi selalu saja disia-siakan.
Semenjak aku menyusulnya ke Kota Gerawang tempat di mana dia bekerja, lelaki itu juga tak pernah sekalipun muncul dihadapanku. Ah, biar kuperjelas dulu. Maksudku menyusulnya ke Gerawang bukan semata-mata melanglang buana hanya demi bertemu lelaki. Kebetulan saat itu aku diterima bekerja di salah satu rumah sakit di sana. Kebetulan yang benar-benar Tuhan rencanakan, bukan?
Namun, sampai aku kembali ke Pulau Auri lagi, tempat orang tuaku tinggal, dia juga masih belum berani memunculkan diri. Hanya janji-janji surga yang ia sematkan selama berpacaran denganku. Bodohnya, aku selalu saja percaya padanya. Dua kali kesempatan, masih disia-siakan. Aku belum jera. Tiga kali kesempatan, sudahlah aku menyerah saja. Buat apa berjuang untuk seseorang yang tak ingin diperjuangkan?
Lagipula, bukan aku sosok yang jahat di sini, tapi dia. Ngomong-ngomong, dia apa kabar, ya? Walau sesak di dada masih ada, tapi aku juga penasaran. Dia sibuk apa sekarang? Setahun berlalu, ada perkembangan apa?
Jemariku bergerak membuka aplikasi di authogram. Kubuka blokirannya dan mataku semakin terpaku menatap foto-foto yang terpampang di profilnya.
Dia sudah menikah.
Hallo?
Menikah?
Dia benar-benar menikah dan perempuan itu bukan aku?
Sumpah. Ada rasa tercekat di dada hingga ke ulu hati. Perasaan sesak itu kembali mencuat setelah beberapa waktu hati ini merasa tenang tanpa gangguan. Namanya juga perempuan. Sudah wataknya mencari kesakitan. Hati yang selama ini seakan berada di air tenang, mendadak berubah menjadi badai bercampur hujan yang begitu deras.
Dasar si aku, selalu mencari penyakit sendiri. Padahal bilangnya selama ini sudah move on. Ternyata tidak. Masalahnya, dia sudah menikah selama lima bulan dan aku baru tau? Istrinya sudah hamil pula.
Ha-ha.
Hari itu, aku menangis sambil tertawa. Beberapa saat, aku menangis sejadi-jadinya. Menenggelamkan kepala di atas bantal. Duniaku seakan hancur begitu saja. Kenapa aku bisa menangisi dia yang bahkan wajahnya pun tak pernah kulihat dalam bentuk nyata? Bisa saja dia mencuri foto orang lain lagi. Tapi, sepertinya tidak. Itu benar-benar dia. Dia sudah menikah dengan perempuan yang ada di foto mesranya waktu itu. Bersender bahu. Ngakunya, sih cuma sahabatan. Cuma.
Nyatanya, mereka adalah sepasang sahabat yang menikahi sahabatnya sendiri. Hebat, ya! Hebatnya lagi, mereka menikah di bulan Agustus. Tepat sebulan setelah ulang tahunku dan itu artinya ... pesan singkat yang kubaca tadi adalah waktu di mana dia sudah mempersiapkan semua terkait pernikahannya bersama wanita itu.
Lucu sekali. Dasar laki-laki brengsek! Kenapa masih berani menghubungiku di saat dia mau menikah? Pamit ceritanya?
Badanku lemas tak berdaya. Seakan tak percaya bahwa aku benar-benar ditinggal mantan nikah lagi. Lagi. Ya, lagi. Setidaknya sakitnya tidak seperti saat ditinggal Bagas menikah. Mantanku sebelum dia. Pacarku sejak kelas dua SMA hingga kuliah tingkat dua. Selama itu dan kami pun tidak berjodoh. Kau tahu kenapa? Perselingkuhan lagi. Dia menikah setelah berselingkuh dariku.
Dan kali ini pun, orang itu juga bukan jodohku. Setidaknya penderitaanku selama ini berakhir. Hati yang seakan terkekang dan terpenjara oleh namanya kini akhirnya bebas. Aku tak perlu menunggunya datang lagi, bukan?
Tapi, kenapa mereka berdua bisa kompak menyakitiku dengan berselingkuh, ya? Apa yang salah dalam diriku ini?
***
Sepertinya, perayaan luka terbaik sepanjang aku hidup di bumi, adalah kehilangan dia. Mantanku yang berwujud fatamorgana. Hampir dua tahun berpacaran, sampai dia menikah dengan wanita itu pun aku belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Masih meraba-raba. Dia yang seperti apa? Tinggikah? Hitam maniskah? Sesuai sama yang difoto tidak?
Aku juga tidak tau. Yang jelas, selama berpacaran, selama itu pula dia berubah-ubah jati diri. Maksudku, dia berpura-pura menjadi orang lain. Mencuri foto orang lain dan mengakui foto yang dia ambil adalah dirinya. Lalu, dengan polos dan kebodohanku saat itu, aku percaya saja. Iya, aku memang bodoh.
Hubunganku dengan dia memang terbilang agak aneh. Tidak seklasik kisah cinta orang lain. Aku bertemu dengannya di tahun 2016 lewat dunia maya. Zaman masih aktif-aktifnya aku di authobook. Perkenalan itu berlanjut cukup lama sampai akhirnya aku dan dia resmi berpacaran. Yaps! Anda benar sekali. Tanpa ada tatap muka sekalipun. Aku jatuh cinta tanpa peduli bagaimana wajah dan bentuk pacarku. Sampai akhirnya, kebohongan itu terus berlanjut hingga membuat diriku muak. Aku tidak ingin membohongi diriku lagi. Aku butuh lelaki yang nyata bukan sekedar maya.
Aku ingat hari itu. Hari di mana kebohongannya benar-benar membuat seluruh kepercayaanku hancur berantakan. Kabar baiknya, aku jadi bisa bertemu dengan lelaki pemilik senyum bersimpul panah. Maksudku, Rivan yang asli. Rivan yang benar-benar si pemilik nama Rivan. Rivan yang selama ini kukira kekasihku, tapi nyatanya hanya halu.
***
Kota Gerawang, 2018.
Sumpah. Sampai detik ini jantungku masih saja bergetar. Ditambah lagi kedua telapak tanganku yang mulai basah dengan keringat dingin. Sebelumnya, tak pernah sekalipun melesat dalam pikiran, bahwa hari ini adalah saatnya. Aku memang menantikan pertemuan dengan dirinya. Lelaki yang kupikir adalah pacarku selama dua tahun.
Bingung?
Ya, aku pun sama.
Awalnya, kebingunganku sudah mulai menampakkan gejala sejak tiga bulan aku mengenal dirinya. Hal yang selama ini menjadi racun dalam hatiku adalah saat aku selalu menepis rasa curiga terhadap lelaki itu, karena saking tak ingin apa yang kupikirkan menjadi kenyataan. Ya. Kau benar. Aku belum siap mengetahui kebenaran yang benar-benar akan berpotensi menyakiti hatiku.
Kenyataan yang lebih pahit adalah saat dirinya benar-benar terbukti membohongiku berulang kali. Anehnya, sampai detik ini aku masih mempertahankan dia. Ya. Dia. Dia yang mengaku-ngaku menyukaiku, tertarik padaku, dan menyayangiku sebegitu hebatnya. Hingga akhirnya diri ini luluh dan kujadikan ia sebagai pacar alias kekasihku.
Lalu, bagaimana mungkin aku masih menyimpan rasa bersalah pada sosok ‘dia’ yang telah membohongiku berkali-kali, saat aku akan bertemu dengan sosok ‘dia’ yang ada di bayanganku selama ini di sini?
Dia bukan dia. Maksudku, dia yang akan kutemui sekarang bukanlah dia yang menjelma sebagai pacarku selama dua tahun. Namun, dia adalah sosok nyata yang ada di dalam hayalanku. Sosok yang selalu kuimpikan kehadirannya. Sosok yang selama setahun ini pun menjelma menjadi salah satu daftar dalam rencanaku di masa depan.
Ah, bagaimana caranya kujelaskan keadaan cintaku yang rumit ini pada kalian, ya? Nyatanya, aku jatuh cinta dengan sosok ‘dia’ yang kutemui sekarang. Bukan ‘dia’ yang selama ini menemaniku hampir dua tahun dalam jarak yang teramat tegas memisahkan antara aku dan dirinya. Gawatnya lagi, aku benar-benar dilema antara dua sosok ‘dia’. Si kekasih fatamorgana atau dengan dia si pemilik nama aslinya? Aku harus apa?
***