Jangan Tolak Hatiku

Jangan Tolak Hatiku

Ninnanichi

0

Hari itu, aku memang berkata padamu, kalau aku tidak ingin menemui dirinya. Namun, takdir berkata lain, Armie. Aku akhirnya terbang ke Jakarta dan bertemu dengannya. 

Ternyata Bee aslinya jauh lebih cantik dari yang dilihat Gloria di foto. Selain kulit Bee yang terlihat begitu pucat, seperti tidak pernah terkena sinar matahari secara langsung, semua yang ada pada diri gadis itu sangat sempurna. 

Wajah Bee memang mirip dengan Gloria, tapi kalau diperhatikan, wajah Bee lebih terpahat sempurna, seperti lukisan malaikat. Bee memang agak judes dan susah untuk didekati, tapi entah kenapa sepertinya Gloria menyukainya. 

Sebenarnya itu tidaklah aneh, tanpa mengetahui keberadaannya sekali pun, Gloria pasti sudah menyukainya, karena Bee merupakan saudara kembarnya. 

Coba pikir, di dunia ini, mana ada saudara kembar yang saling membenci, kan?

Tadi, ketika Gloria sedang bermain biola, Bee pergi begitu saja meninggalkan dirinya di tempat parkir. Padahal Gloria sengaja memainkannya untuk menghibur Bee yang terlihat murung. 

Orang-orang masih bertepuk tangan ketika Gloria sudah selesai memainkan Moonlight Sonata. Setelah memberi penghormatan, dia memasukkan biola ke tasnya kembali. Tentu saja dia harus mencari Bee. 

“Hei, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Gloria berhasil menemukan Bee yang sedang duduk di salah satu kursi taman kampus. Dia pun langsung duduk di sebelahnya.

“Menurut lo?” jawab Bee cuek. 

“Pak Yadi sudah datang. Kita pulang sekarang, yuk!” ajak Gloria menyebutkan nama supir mereka.

Namun, bukannya menjawab, wajah Bee malah terlihat tegang. “Pulang? Memang rumah lo di mana?”

“Oh, ayolah, aku hanya akan mampir untuk menyapa Mama, setelah itu aku akan ke apartemenku sendiri,” jawab Gloria cepat. 

Namun Bee tetap saja mencebik. Suasana hatinya sepertinya sedang tidak baik. Gloria khawatir, jangan-jangan penyakitnya kumat? 

Ya, Gloria memang diberitahu oleh ayah dan ibu mereka tentang kondisi kesehatan Bee. Gloria diminta oleh mereka berdua untuk menjaga Bee.

“Kamu enggak apa-apa? Apa perlu aku antar ke rumah sakit?” tanya Gloria dengan hati-hati.

Alis Bee malah tambah berkerut, “Gue nggak selemah itu yang dikit-dikit harus dilarikan ke rumah sakit!” 

“Oh, maaf. Aku hanya jaga-jaga. Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang aja sekarang?” ajak Gloria lagi pantang menyerah.

Bee tidak menjawab. Ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Gloria memiliki insting yang kuat dan sepertinya dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh saudara kembarnya ini. 

Setelah beberapa saat, akhirnya Bee mengangguk dan mulai berjalan menuju parkiran mobil. Mereka berdua jalan bersisian dalam diam. Gloria merasa sangat gemas. Dia pikir, kalau memang ada sesuatu yang mengganggu gadis itu, kenapa tidak dikatakan saja langsung. Itu akan lebih baik. Dari pada seperti saat ini, suasana hati Bee terlihat buruk sekali. 

“Maaf, Non, kalau kelamaan,” ucap pak supir ketika mereka berdua sudah sampai. Pak Yadi membukakan pintu penumpang agar majikannya bisa masuk.

Bee tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam mobil. Kemudian memerintahkan Pak Yadi untuk menutupnya. Pria itu pun menurut.

“Hallo, Pak Yadi,” sapa Gloria.

Untuk sesaat, pria itu memandang heran padanya. Tapi kemudian dia tertawa. “Ah, nona pasti saudara kembar Non Glory yang diceritakan oleh Nyonya. Mari masuk, non!” ucapnya ramah. 

Pak Yadi bermaksud berputar ke sisi sebelah mobil untuk membukakan pintu penumpang yang satunya. Namun Gloria melarangnya.

“Nggak usah, Pak, saya duduk di depan aja,” kata Gloria cepat. 

Tanpa menunggu, dia membuka pintu dan duduk di dalamnya. Pak Yadi pun masuk, kemudian melajukan mobil keluar menuju jalan raya. 

“Pak Yadi, nanti lewat kampus kedokteran Salemba ya?” tanya Gloria.

“Oh, ada apa, Non? Arahnya berlawanan, kan?” 

“Aku ada perlu di sana, please,” Gloria memelas.

“Tapi ….”

“Sebentar aja, kok!” jawab Gloria masih memelas. 

Pak Yadi terlihat ragu, tapi kemudian menyanggupi. Gloria bersorak dalam hati. Dia menoleh ke belakang, dan melihat Bee hanya sibuk melihat ponsel dengan headphone di kepalanya. Padahal di mobil ada radio. Kenapa susah-susah mendengarkan musik dari ponsel? 

“Oh, mungkin lagu kesukaannya jarang diputar di radio,” gumam Gloria.

“Apa, Non?” tanya Pak Yadi salah sangka.

“Oh, bukan apa-apa, kok!” balas Gloria cepat.

Gloria kembali menatap jendela depan. Dia juga mengeluarkan ponsel dan menghubungi pemuda itu, mengatakan kalau mereka akan mampir ke kampusnya.

***

“Lho, kok kita ke sini, Pak?” tanya Bee. Kelihatannya gadis itu baru menyadari situasi setelah mobil terparkir.

“Iya, aku yang meminta,” jawab Gloria. 

“Tapi, siapa yang ngizinin!?” ucap Bee terdengar tidak suka dan agak marah. 

“Hei, lihat! Gavin lagi jalan ke sini.” Gloria menunjuk keluar jendela, bermaksud mengalihkan situasi. 

Untung saja cowok itu memang sudah bersiap di dekat parkiran. Benar saja, secara refleks kepala Bee langsung menoleh mencari sosok cowok itu. Tapi anehnya bukannya senang, wajahnya malah bertambah pucat. Bee terpekik pelan dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Aku pikir suasana hatimu akan membaik kalau melihatnya. Jadi tadi aku menghubungi Gavin dan mengatakan kalau kita akan main ke kampusnya,” ucap Gloria merasa bangga dengan ide brilliant-nya ini. 

Gloria pikir, Bee akan merasa luar biasa senang telah bertemu dengan cowok yang disukainya. Walaupun tidak ada yang mengatakannya, siapa pun akan bisa menebak kalau Bee memiliki perasaan pada cowok itu. Terlihat dari cara Bee memandang dan berbicara dengan Gavin.

 “Kenapa lo membawa kita ke sini?” desis Bee kesal.

Gloria terheran-heran mendengar pertanyaannya. Bukannya tadi aku sudah mengatakan sebabnya? Batinnya.

Tiba-tiba saja Bee terlihat sibuk merapikan rambutnya yang sudah sempurna. Dia juga sempat mengeluarkan cermin dari tas sebelum Gavin tiba di dekat mobil.

“Hei,” sapa cowok itu. Kepalanya sedikit menunduk untuk menyamakan posisi dengan jendela mobil.

“Halo, Gavin,” balas Gloria tersenyum miring.

“Bee,” sapa Gavin tersenyum.

Seketika wajah Bee langsung bersemu merah dan tidak sanggup membalas. Untung saja Gavin tidak terlalu memperhatikannya, karena dia sedang membukakan pintu untuk Gloria.

“Bee, ayo turun,” ajak Gloria sudah turun dari dalam mobil. Tangannya terentang ke atas, sekedar meluruskan otot-otot tubuhnya kembali. Perjalanan dari kampus seni ke Salemba memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja membuat tubuhnya pegal.

“Kamu masih ada jam kuliah?” tanya Gloria pada Gavin.

“Baru aja selesai,” jawab cowok bertinggi 178 cm ini, merasa lucu karena Gloria menyapanya dengan aku-kamu. Ah iya, Gloria memang belum lama ini baru kembali dari Tennesse.

Gloria manggut-manggut. Dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore.

“Kalian kenapa baru pulang?” tanya Gavin.

“Oh, tadi ada seminar,” balas Gloria.

Gavin mengangguk, “Lalu, setelah ini ada rencana apa?” tanyanya lagi.

“Aku sih, mau ke pantai. Tapi Bee nggak mau.” 

“Siapa yang bilang nggak mau!” sahut Bee ketika dia baru saja menutup pintu.

“Oh, jadi kamu mau?” balas Gloria antusias.

“Tentu saja mau. Tapi nggak sekarang!” jawab Bee cepat.

“Kalau mau kenapa nggak sekarang aja?” tanya Gloria lagi terlihat keras kepala.

Bee menatap Gloria terheran-heran, seolah Gloria merupakan cewek alien yang keras kepala.

Gavin terkekeh pelan. “Gue nggak keberatan mengantar kalian berdua ke pantai. Tapi, bisa tunggu satu jam lagi? Karena gue ada urusan dulu sama dosen,” ucap cowok berambut sebahu dan dicat warna platinum ini. 

Yang tentu saja langsung disambut antusias oleh Gloria, “Okay, no problem!” 

Untuk mahasiswa kedokteran, sebenarnya Gavin lebih cocok jadi mahasiswa seni dengan style rambut seperti itu.

“Tunggu-tunggu! Bukannya tadi lo bilang kalau Mama ngundang lo makan malam?” potong Bee.

“Ya ampun, Bee, makan malam bisa kita lakukan lain hari. Lagi pula kemarin aku baru makan malam sama Mama dan kalian semua. Kali ini saatnya kita pergi ke pantai!”

“Terus bagaimana dengan Pak Yadi?” cecar Bee masih keberatan harus pergi tanpa perencanaan terlebih dahulu.

“Hei, dengar!” 

Sebelum Gloria menjawab, Gavin memotong pembicaraan.

“Kalian atur dulu masalah ini. Gue harus balik ke kelas dulu. Oke? Oh ya, kita bisa naik mobil gue.” Tanpa menunggu jawaban, Gavin sudah pergi meninggalkan mereka.

“Tuh, dengar kan? Pak Yadi suruh pulang aja duluan. Kita naik mobil Gavin. Pasti akan lebih seru,” ucap Gloria tersenyum lebar.

Bee tidak menjawab. Dan mengetahui karakternya, tidak menjawab berarti menyetujui.

“Oh ya, sambil menunggu, bagaimana kalau kita undang Lina juga? Jam segini dia juga pasti sudah pulang,” kata Gloria menyebutkan nama sepupunya yang manis dan imut-imut. 

Awal mereka bertemu, Gloria mendapat kesan kalau Lina itu gadis yang penuh perhatian dan agak gampang panik. Lina kuliah di kampus yang sama dengan mereka berdua di kampus seni, namun berbeda jurusan. Gadis bertubuh mungil itu mengambil jurusan Seni Kriya.

“Nggak usah repot-repot. Paling juga dia sudah dijemput sama Leo,” jawab Bee menyebutkan nama saudara kembar Lina. 

Saudara sepupu mereka pun kembar. Kalau Lina suka sekali seni, Leo kuliah jurusan hukum. Wajar sih, Leo mengambil jurusan itu, karena ayah mereka, Lukas Kusuma Pradja, merupakan salah satu pengacara ternama.

“Nah, kalau begitu kita suruh aja Leo segera ke sini. Lagian masih ada satu jam lagi sampai Gavin selesai dengan urusannya. Oh, ayolah, pasti menyenangkan.” Tanpa menunggu jawaban Bee, Gloria sudah mengeluarkan ponselnya kembali.

“Lo punya nomor hape Leo? Ah ya, setelah gue pikir lagi, dari mana lo tahu nomor telepon Gavin? Apa lo mengetahui semua nomor kami?”

Kali ini Gloria memandang saudara kembarnya terheran-heran, “Bee, apa kamu lupa? Aku pernah bertemu dengan kalian semua. Tentu saja aku sudah mencatat nomor telepon kalian semua.” 

 ***

“Aaah … akhirnya sampai juga!” teriak Lina antusias begitu dia sudah keluar dari dalam mobil.

Setelah dua jam lebih perjalanan, membelah kemacetan di jam pulang kerja, mereka tiba di pantai Ancol. Gloria masih bisa melihat kekesalan di wajah Bee. Bee tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, tapi sering banget menarik napas dalam-dalam. 

Sedangkan Gavin terlihat santai dan asyik-asyik saja. Tapi memang Gavin merupakan cowok yang tidak banyak bicara. Mau tidak mau, akhirnya Gloria yang banyak bicara sepanjang perjalanan. Kebanyakan membahas sesuatu yang sedang menjadi topik DJ di radio. 

“Yang ngasih ide ke pantai pulang kantor gini siapa, sih?” omel Lina. 

Mobil mereka diparkir bersebelahan. Dengan cepat telunjuk Bee mengarah ke muka Gloria.

“Emangnya lo belum pernah ke pantai? Di Amerika enggak ada pantai?” cecar Lina. Rupanya dia tipe yang kalau sudah kesal susah dialihkan. 

Gloria mengangguk, “Aku tinggal di peternakan,” balasnya, merasa sedikit ngeri menghadapi omelan gadis berpipi tembam itu, namun sebenarnya Lina sama sekali tidak gemuk. 

Padahal selama perjalanan, Gloria mempersiapkan diri menerima omelan dari Bee. Tapi ternyata Bee diam saja. 

“Seriusan?” pekik Lina terkejut mendengar jawaban saudara sepupu yang baru dikenalnya.

Gloria mengangguk-anggukkan kepalanya. Yah, dia tidak sepenuhnya bohong. Dia memang pernah ke pantai, tapi hanya lewat. Lagipula ceritanya kurang menarik, karena memang hanya melintasi garis pantai dari dalam mobil yang berjalan. 

 “Ya sudah, kita nikmati saja pantainya. gue lapar,” ucap Bee. 

“Gue juga,” timpal Leo

“Ke mana Gavin?” tanya Lina.

“Kukira tadi dia bersamamu,” jawab Gloria menatap wajah Leo. 

“Hei, jangan mentang-mentang kami laki-laki jadi harus barengan terus,” kilahnya. 

“Mungkin ke toilet,” jawab Bee memberikan jawaban yang paling masuk akal. 

“Aku setuju dengan dugaan itu,” ucap Gloria memberikan jempol padanya. 

“Gue nggak perlu persetujuan lo,” balas Bee cuek dan dingin. Oh, susah sekali mendekati dirinya. 

“Leo, lo beli ikan bakar gih. Di pantai gini paling enak makan ikan,” usul Lina tiba-tiba. 

“Kenapa gue yang harus beli?” 

“Karena lo satu-satunya cowok sekarang,” jawab Lina cuek. 

“Terus gue musti nyari di mana?” 

“Tadi kayaknya ada restoran seafood deh,” jawab Bee. 

“Kenapa nggak pesen mie rebus aja sih, lebih praktis," keluh Leo.

“Males lah, di kampus makan itu, masa di pantai masih makan itu juga!” omel Bee. 

Leo mengangguk menyetujui, “Oke, gue traktir kalian ikan bakar yang enak. Tapi gue belinya sama Gavin. Ah itu dia orangnya! Gavin!” 

“Yes?” jawab cowok itu seperti sedang mengeringkan tangannya dengan sapu tangan. Oh, jarang-jarang zaman sekarang ada cowok yang masih memakai sapu tangan. 

“Lo ikut bertugas beli makanan,” perintah Leo. 

“Beli makanan apa? Kenapa nggak sekalian aja kita semua ke sana?” tanya Gavin balik. 

“Kalau lagi di pantai lebih enak makan di pantai lah. Masa makan di dalam restoran. Sama aja bohong!” jawab Lina. 

“Ooh, terus mau makan apa? Kan ada warung tuh!” ucap Gavin polos. 

“Ih, ogah. Masa di kampus makan mie rebus di sini juga makan itu.” Kali ini Lina yang membalas. 

“Yah, itu sih derita lo. Gue ogah nyetir lagi, masih capek,” balas Gavin kalem. Cowok itu dengan santainya berjalan menuju tempat penyewaan tikar. 

Dan tiba-tiba, tawa Gloria menyembur keluar. “Hahahahahahaha!” 

Entah kenapa, walaupun hanya perselisihan masalah kecil, Gloria merasa hal itu sangat menggelikan. Semuanya juga pasti menganggap seperti itu. Karena setelahnya, Leo pun ikutan tertawa. Bee bahkan merasa kalau tadi sangat lucu, hanya saja dia terlalu jaim. Sebagai gantinya Bee hanya tersenyum tipis. 

Walau begitu, Gloria bisa menangkap segaris senyum itu. Dia merasa senang, karena jalan-jalan kali ini bisa membuat suasana hati Bee membaik. 

Gloria berjalan menuju mobil kembali untuk mengambil biolanya. Kemudian dia mengajak semuanya untuk mengikuti Gavin, di mana sekarang cowok itu sepertinya sedang terlihat tawar menawar harga yang cukup sengit dengan bapak-bapak penjaga rental tikar. 

***