JANGAN BAPER NTAR LAPER

JANGAN BAPER NTAR LAPER

sarah fransisca

5

"Saya kasih kamu waktu untuk pikir ulang keputusan ini. Saya yakin kamu enggak sungguh-sungguh dengan keputusan yang kamu buat sekarang." Lelaki itu menatap sejenak amplop putih di hadapannya, kemudian ia menggosok dagunya. Dengan tatapan kelaparan, dia berkata lagi, "kita belum jalan bareng, loh. Masa kamu mau gini aja?"


Kalimat terakhirnya membuat tekatku semakin bulat, sekaligus menarik ingatanku pada kejadian beberapa tahun lalu. Ingatan menyakitkan, paling kelam, paling menusuk, paling menjijikan, paling kubenci.


"Aku enggak maksud ngelakuin ini, Ji." Suara itu lagi kembali menyusup ke dalam kepala. "Aku cuma ... cuma ... cuma," sambung suara itu lagi. Suara yang mampu mendatangkan kengerian luar biasa meski tidak melihat sosoknya.


Jantungku memompa cepat, seiring dengan napasku yang juga memburu. Panik. Satu hal yang datangnya tidak pernah sendirian, ketika panik menguasaiku, dia dating bersama teman-temannya cemas, kehilangan akal sehat, ketakutan. Sebelum suara itu kembali mengambil alih kesadaranku, cepat-cepat aku kembalikan kesadaran pada lawan bicaraku.


"Ya, Ji," bujuk lelaki itu lagi dengan tatapan seperti anjing lapar. Dia menjulurkan tubuhnya mendekat ke arahku yang berada di seberang mejanya. "Saya yakin kamu bakal sukses di perusahaan ini." Dia membasahi bibirnya yang membuatku semakin mual. "Saya janji, kamu akan saya promosikan enam bulan mendatang."


Aku menatapnya, menahan keinginan untuk melempar buku laporan yang sejak tadi kuremas demi menjaga sopan santun yang nyaris pergi sejak satu menit pertama duduk di kursi ini. Dengan wajah datar seperti biasanya, kukatakan, "saya sudah memikirkannya baik-baik dan saya tidak akan berubah pikiran."


Beberapa detik tubuhnya membatu. Penolakanku sepertinya berhasil menghajar harga dirinya. Dengan Gerakan kaku, dia mengangguk. Kugunakan kesempatan itu untuk mengatakan, "saya permisi." Tanpa berbasa-basi lagi, aku langsung keluar dari ruangan yang membuatku nyaris gila beberapa bulan belakangan ini. Berjalan menjauh dari ruangan terkutuk itu selalu memberikan kelegaan.


Aku menyandarkan punggung ke kursi begitu sampai di ruang kerjaku. Kuabaikan tatapan memohon dari supervisorku agar dia tahu bahwa, tidak ada yang bisa menahan keputusanku meninggalkan neraka level tujuh ini. Aku pura-pura terlihat sibuk menatap layar computer demi mengusir supervisor dari hadapanku. Saat ini aku benar-benar enggak ingin bicara dengan siapa pun, terlebih perihal surat pengunduran diri yang membuatku dipanggil ke raja setan tadi.


Nyaris sepuluh menit tanpa berhasil membuatku buka mulut, supervisorku akhirnya menyerah. Dia berjalan meninggalkan ruang kubikel staff program pagi dengan rating tinggi di stasiun televisi ini. Aku mengembuskan napas perlahan ketika punggung supervisorku menghilang di balik pintu. Kupejamkan mata demi mengendalikan perasaan berkecamuk di benakku. Belum cukup membuat moodku kembali, suara dering telepon di meja kerja memecah usahaku. Dengan perasaan lelah setengah mati, kuangkat gagang telepon yang terus berdering-dering.


"Program pagi, dengan Jingga, ada yang bisa dibantu?" sapaku sesuai standard operasional prosedur perusahaan ini.


"Hai," sapa seseorang di seberang sana. Kepenatan yang raja setan timbulkan sukses membuatku selalu gagal mengingat nama lelaki ini. Ralat. Lebih tepatnya membuatku tidak memedulikan orang-orang di kantor ini. Energiku seolah terkuras habis hanya untuk bisa bersosialisasi dengan karyawan di devisi lain. "Gue udah kirim materi terbaru ya," sambungnya lagi yang memaksa fokusku kembali padanya.


"Ya," sahutku datar. Sadar aku bersikap enggak sopan, cepat-cepat kutambahkan, "Trims."


Aku menduga lelaki itu tersenyum dari suara embusan napasnya yang tertangkap indera pendengaranku. Setelahnya, sunyi sempat membelenggu kami. "Ji," panggilnya yang kujawab dengan menajamkan pendengaranku, tanda aku siap mendengarkan apa yang ingin ia katakana. Aku tahu dia enggak bisa melihatku, tapi aku enggak peduli. "Gue boleh minta lagi nomor telepon lo?" Diam. Hening kembali menggelayuti saluran telepon. "Sorry, nomor lo hilang," imbuhnya lagi dengan nada yang sarat penyesalan.


Sebenarnya, aku paling sebal dengan orang-orang yang teledor. Menghilangkan nomor telepon orang yang lo minta, yang katanya untuk urusan pekerjaan? Oh, man! Lo membuktikan betapa berantakannya cara kerja lo, dan gue benci orang yang kerjanya berantakan, enggak rapi, enggak teratur. Tapi, suaranya yang begitu berharap dan penuh rasa bersalah, membuatku berpikir ulang. Mungkin ini pengecualian. Toh, apa salahnya memberikan nomor ponsel, kan sebentar lagi aku juga enggak bakal ada di sini, berurusan dengan orang-orang di sini.


"Boleh," sahutku.


Aku bisa mendengar embusan napas leganya yang kental dengan semangat. Aku enggak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum tipis dibuatnya. Setelah menyebutkan nomor ponselku dan mendengar ucapan terima kasih dengan nada cerianya, kami sama-sama memutus sambungan telepon.


Percakapan singkat kami barusan berhasil menggelitik rasa penasaranku. Dengan cekatan tanganku berada di atas mouse computer, klik-klik lincah melompati satu jendela ke jendela lain di layar komputerku hingga sampai ke laman surel kantor. Kubuka surel yang lelaki tadi maksud, bukan untuk melihat isi materinya. Pandanganku langsung tertuju pada nama pengirimnya, Banyu Biru.