Jalan Setan

Jalan Setan

Apsarasswatama

0

"Pak, serius ada yang mau beli benda ini?"

"Ada, besok orangnya mau datang ambil barang. Lihat, tiga juta, loh. Lumayan." Lelaki baya menunjukkan saldo m-bankingnya pada sang putri.

"Kata bapak waktu itu, ini benda terkutuk, kenapa malah dijual?" Tanya sang putri dengan ekspresi tidak senang. "Kalau ada apa-apa sama pembelinya gimana?"

"Peduli setan," bapak mendengus. "Kita disini jualan barang. Jadi jangan peduliin hal-hal lain selain jualan. Sudah, sana tidur!"

Cermin itu sangat besar, tersimpan sendirian diruang terpencil di gudang belakang toko antik itu. Tidak pernah dipajang di etalase depan karena pemiliknya sendiri takut untuk menyentuhnya. Kebetulan kemarin ada yang bertanya soal cermin antik, langsung saja ia tawarkan dan setuju ketika mendengar penawaran yang sepadan.

Tepat tengah malam, cermin itu bergetar. Makin lama semakin kencang, seolah-olah tertawa senang. Mungkin tahu, jika sebentar lagi ada keluarga baru yang mengadopsinya menjadi anak kesayangan.

***

Aruma berterima kasih kepada tetangganya yang membantu memasang cermin berukuran 1 meter lebar dan 2 meter panjang ini. Ukiran disetiap sisinya terlihat sangat indah dan rumit. Ada tulisan jawa 'ꦧꦪꦾꦁ ꦱꦼꦪꦠꦾ' yang memiliki arti Bayang Serataya.

Karena yang membeli adalah ibunya, maka sudah pasti cermin ini diletakkan di dalam kamar sang ibu. Aruma berkaca sebentar, kemudian mengernyitkan alis ketika melihat ada yang aneh dengan wajahnya.

"Perasaan tadi pagi nggak ada jerawat, deh." Aruma mendekatkan wajahnya pada permukaan cermin. Jerawat batu berukuran kecil tumbuh di keningnya.

"Aruma?"

"Eh, kaget!" Aruma tersentak dan mendelik pada sang ibu. "Ibuk, nih!"

Sang ibu malah tertawa kencang. "Kurang aqua, neng? Minum sana."

"Ini kacanya sudah pas, kan?" Tanya Aruma.

Sang ibu mendekat dan berkaca dengan narsis. "Pas banget. Btw, muka ibuk jadi bercahaya banget ya pakek kaca ini."

Aruma mencibir, kemudian berdiri bersandingan dengan sang ibu sambil melihat ke cermin. Melihat wajahnya yang terlihat sangat kusam, ia kesal. "Iya, deh. Terserah."

Ibu melihat kepergian sang putri dengan ekspresi geli, Kemudian, dia terkejut ketika melihat wajahnya lagi di cermin itu.

"Loh, bekas lukanya udah hilang, ya? Kayaknya kemaren masih ada, deh." Ibu menyentuh keningnya yang mulus. Seharusnya ada bekas luka bakar yang menghitam disana.

"Berarti krim dokternya manjur, ya." Ibu tertawa senang, kemudian bergegas memilih baju dari dalam lemari untuk menghadiri arisan ibu-ibu siang ini.

Aruma masuk kedalam kamar, buru-buru mencari obat totol jerawat dan memakainya secepat kilat. Wajahnya mulus, tidak pernah kena jerawat bahkan saat teman-teman SMA-nya pada jerawatan.

"Semoga besok kempes." Aruma menghela napas dan memutuskan untuk tidur siang. Ketika ia bangun dua jam kemudian, Aruma pergi ke toilet untuk cuci muka. Tetapi, dia langsung berteriak kencang ketika melihat jerawat jagung di dahinya itu malah membesar seukuran kacang tanah.

Tidak hanya itu, dari benjolan kecil itu terlihat sesuatu bergerak-gerak. Dengan ekspresi ketakutan, Aruma mendekatkan wajahnya ke cermin dan memutuskan untuk mencubitnya dengan dua jari. Benjolan mulai mengerucut, sebuah retakan kecil muncul di permukaan benjolan tersebut diikuti daging gemuk yang mencuat keluar.

Itu benar-benar cacing, yang keluar dari kulitnya.

"AAAAAHHH!" Aruma menjerit sejadi-jadinya. Ia berlari ke kamar ibu sambil menangis keras.

"Kenapa, nak?!" Ibu langsung memeluk Aruma.

"Sudah, sudah. Tidak usah takut begitu. Wong cuma cacing aja, kok."

Aruma mencoba menenangkan diri, tetapi kemudian menyadari sesuatu. "Kok ibuk tau, Aruma takut karena cacing?"

Ibu diam, hanya berkedip-kedip dan menatap polos wajah putrinya. Aruma merinding, seketika melepas pelukan ibu dan langsung berlari ke kamarnya sendiri.

Dia masih berpikir keras tentang apa yang barusan terjadi, tetapi ponsel di nakas berdering, membuyarkan lamunannya. Aruma membuka pesan dari sang ibu yang mengatakan baru akan pulang arisan sehabis maghrib.