Jalan Ironi

Jalan Ironi

Celestilla

5

Hanya ada dua studio latihan tari di gedung ini. Ruang luas berdinding cermin yang nihil furnitur, selain pengatur udara dan pelantang suara. Saksi bisu kerasnya tempaan menanjaki tangga-tangga mimpi.

Studio yang lebih lapang berada di lantai dua. Di sinilah para trainee melakukan latihan koreografi bersama. Sisanya, studio yang lebih privat, menempati lantai tiga khusus digunakan oleh GOOM, senior kami yang debut dua tahun lalu. 

Tanggal debut kami sendiri telah ditetapkan, pekan kedua bulan depan. Maka latihan kami sudah harus lebih jor-joran. Tak perlu lagi kami berbaur bersama belasan orang di studio besar, menyanyikan lagu-lagu yang telah ada, atau memeragakan gerakan acak yang dicontohkan pelatih. Yang harus kami hafalkan kini adalah nada dan tarian dari lagu kami sendiri. Karya seni yang setiap didengar atau dilihat orang, akan mengingatkan mereka pada wajah dan nama kami.

Praktis, studio privat tidak lagi privat bagi GOOM. Senior kami itu harus rela berbagi dengan juniornya yang kini memiliki hak akses yang sama.

GOOM tengah rehat sambil berbincang ketika kami tiba. Jian Seonbaenim, ketua GOOM, menghentikan alur kata-kata begitu refleksi eksistensi kami berempat pada cermin tertangkap atensinya. Tubuh mereka yang bermandikan peluh tampak bagai boneka satin yang bergerak ketika serempak bangkit.

“Mau latihan? Semangat, HONEY!” ia berbasa-basi sambal menyampirkan jaket ke pundak.

Mendengar nama bakal grup kami disebut, dadaku menggembung oleh buncahan haru dan antusiasme.

Gaeun Seonbaenim, visual GOOM, dan Celine Seonbaenim, vokalis utama berdarah blasteran Irlandia, menepuk lengan atas kami satu per satu sebelum melewati pintu.

Kami berempat menunduk sopan berkali-kali. Hani Eonni yang didapuk jadi leader kami, membalas, “Rasanya batere semangatku langsung terisi penuh. Gamsahamnida, Seonbaenimdeul

Anggota GOOM yang tersisa beranjak usai turut memberi kami semangat yang sama. Namun, di antara keenam gadis itu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu dari seseorang.

Kekusutan dan mendung menyapu wajah Baram Seonbaenim. Kulitnya yang memang sudah pucat alami terlihat jauh lebih pias. Senyumnya hanya mengembang sebentar kala mata kami saling berserobok, sebelum lesap bersama tubuhnya yang ditelan pintu mengatup.

Yang kutahu, seorang Choi Baram tersenyum tanpa disertai lengkung matanya adalah sebuah anomali.

“Haneul-ah! Kenapa bengong? Ayo, cepat pemanasan!”

Suara lantang Hani Eonni menghentakku kembali. Menyadarkanku akan alasanku ada di sini, serta tanggung jawab dan kewajibanku untuk menjalankan latihan setotalitas mungkin. 

***

Perkenalan perdanaku dengan Baram Seonbaenim secara pribadi berlangsung dua tahun lalu. Tepat dua pekan usai aku bergabung dengan agensi ini. Sebulan sebelum GOOM resmi didebutkan di sebuah acara musik.

Berdiri di depan mesin penjual kopi, sapaannya yang tiba-tiba dari sisi kiri membuatku nyaris terlonjak. 

“Kamu trainee baru itu, ya? Yang katanya punya jangkauan vokal empat oktaf?”

Responsku cuma terkekeh malu. Frasa ‘si empat oktaf’ yang belakangan jadi kerap kudengar, masih saja membuatku tak nyaman. Jangkauan nadaku memang segitu. Akan tetapi, bukan berarti harus terus diungkit, ‘kan? Rasanya seolah ada massa yang diletakkan ke atas kedua pundakku dengan semena-mena. 

“Begitu.” Kekehannya mencelat. Kemudian, ia menunduk. Derit mesin kopi menginterupsi sesaat. “Biar kutraktir. Hitung-hitung sambutan.”

Aku tak diberinya kesempatan menolak. Sekaleng kopi sekonyong-konyong tersodor ke hadapanku, yang akhirnya kuterima sambil berterima kasih. 

Gadis di hadapanku tersenyum hingga matanya menyipit menjadi selengkung sabit. Wajahnya memang tidak sebegitu cantik, tapi dia punya eyesmile yang menarik, dan senyum yang menular.

Selama beberapa menit, kami bergumul dalam keheningan. Aku tengah menimbang-nimbang apakah harus pamit masuk duluan, atau bagaimana. Ia pun diam. Hingga akhirnya ia memberiku isyarat untuk mengikutinya, yang lantas kuturuti dengan kikuk.

Kami mendarat pada kursi panjang di tepi jalan. Memandangi lalu-lalang pejalan kaki dalam balutan mantel yang beragam model dan warna.

“Kau punya bakat. Menjadi idola adalah pilihan yang tepat.” Suaranya terdengar kembali dengan topik yang aneh, mengundangku menoleh. Ia tengah menengadah, memandangi lampu gedung agensi di seberang jalan. Uap tipis meruap dari mulutnya kala ia mendesahkan karbondioksida ke udara yang mulai mendingin. 

“Menjadi idola…” lanjutnya, “adalah jalan ironi. Kaupilih jalan ini untuk bahagia. Tapi setelah setengah jalan, yang berikutnya perlu kaulakukan justru berusaha membahagiakan orang lain. Orang yang tak peduli kau bahagia, atau tidak.”

Senyum di wajahnya yang pucat itu masih belum lesap. Namun, kali ini rasanya sepat. 

Bagaimana aku harus menimpali? Rasa bingung membuatku gagu. Lagi-lagi, hanya kebungkaman yang membungkus kami. Kusesap kopiku sebagai alibi untuk tidak menjawab.

Untungnya, ia tak membutuhkan balasanku. Mungkin ketiadaan jawaban dariku dianggapnya lucu, hingga ia tertawa kecil dan membahas hal lain, “Bintang malam ini tidak muncul, ya?”

***

GOOM debut saat musim dingin. Momen yang dianggap strategis, sebab menjadi masa paling minim comeback, meminimalisir persaingan dalam memburu kemenangan di peringkat musik mingguan. 

Sayangnya, waktu yang strategis bukan satu-satunya syarat untuk membuahkan hasil seindah ekspektasi. Realitanya, GOOM tidak begitu laku di pasaran. Dan Baram Seonbaenim menjadi sosok yang paling banyak menerima komentar kebencian. Aku ingat dengan jelas isi komentar warganet ketika nekat kuulik respons publik di media sosial atas debut senior seagensiku. Choi Baram dikatakan tidak pantas debut karena disebut tak berbakat.

Di antara mereka berenam, ia memang biasa saja. Bukan anggota tercantik atau penari terbaik. Bukan pula yang memiliki vokal paling epik. Bukan juga ketua tim, rapper utama, atau anggota termuda yang biasanya mendapatkan sorotan khusus. 

Sewaktu membaca komentar-komentar jahat itu, pemahaman merambatiku. Barangkali inilah yang mendasari celetukan Baram Seonbaenim dahulu. Barangkali, ia sendiri merasa minder dan tidak yakin akan posisinya dalam GOOM. Barangkali. Aku tak tahu hal yang pasti. Yang terpendam dalam pemikiran orang lain hanya bisa kuperkirakan.

Namun, Baram Seonbaenim hebat. Ia tetap mampu menjalankan hari-hari promosinya dengan tegar. Maka, mendapati tubuh dan wajahnya sekuyu yang ia tampakkan saat di ruang latihan kemarin itu, terang saja membuatku kepikiran. Hingga kesibukan pra dan pasca-debut kami yang padat dan tumpat lantas menggeser topik ini dari ruang benakku.

Tidak seperti GOOM, penampilan dan lagu perdana HONEY disambut positif. Tawaran tampil membanjir. Dua bulan kemudian, Jihan, visual kelompok kami, ditawari main drama, dan aku diminta mengisi lagu temanya. Sebuah rekor debut solo tercepat bagi anggota grup pemula wanita. Kesibukan demi kesibukan saling susul, menggempur kami dari berbagai sudut, membuatku tak punya cukup waktu untuk sekadar tahu kabar grup lain.

Hingga hari itu bertandang. Sepertinya aku baru memejamkan mata ketika tiba-tiba, asrama HONEY digemparkan oleh Hani Eonni. Pagi-pagi sekali, sang ketua membangunkan seisi bangunan dengan panik.

Pertanyaan berbau penasaran mencuat dari mulut kami. Sebagai jawaban, ia menunjuk layar laptop yang tengah dipelototinya dari balik kacamata.

“Skandal … Baram Seonbaenim.”

Nama yang disebutkan seketika melungsurkan kantukku. Kugeser duduk mendekati Hani Eonni, saling berebutan posisi yang nyaman untuk menyimak piksel yang menyulam huruf di layar LCD. 

Berita itu menghentak kami semua. Seorang OP tiba-tiba saja mengaku bahwa Choi Baram pernah menjadi seorang perundung di masa sekolahnya dahulu. Pertanyaan kami bergaung: bagaimana bisa? Choi Baram yang kami kenal bahkan tak sanggup membunuh seekor lalat pun.

Kecemasan merambat. Sepertinya, bisa kuterka kelanjutannya: Baram Seonbaenim yang telah lama tidak disukai publik, akan semakin meraup kebencian. Saat itu juga, aku memahaminya dengan jelas: di mata publik, tidak memiliki bakat, tidak mampu mendulang simpati, dan memiliki dosa, entah sekecil apa pun di masa lalu, tidak dianggap pantas jadi idola. Saat itu pula, aku mengerti satu hukum mutlak: yang layak menjadi idola hanya sesosok dewi.

***

Benar. Baram Seonbaenim dikeluarkan. Dari GOOM, juga dari agensi. Itu keputusan agensi yang masih tidak mampu kumengerti.

Pertama, gadis itu telah mengonfirmasi bahwa kasus yang disinyalir sebagai perundungan itu berlangsung ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dan belum memahami dunia, moralitas, dan sebangsanya. Kedua, telah ia patuhi titah Direktur kami untuk menuliskan permohonan maaf kepada publik. Nyatanya, itu tidak cukup.

Respons publik memang kacau. Semakin banyak orang menghujat Choi Baram. Kebencian akan tetap menjadi kebencian tanpa disertai pemahaman. Setitik noda pun dijadikan pupuk untuk menyuburkan dan menyebarkan kebencian serupa kepada orang lain yang hanya tahu sebagian cerita.

Menurutku, ia dikeluarkan bukan karena kesalahannya. Melainkan karena ia telah menjadi musuh publik. 

Sesederhana itu. 

Kudengar, kepulangan Baram Seonbaenim ke rumah orang tuanya di Mokpo tak dibarengi prosesi pamit-pamitan yang mengharukan dalam lingkungan GOOM sendiri. Ia pergi pagi-pagi sekali, hanya diantar manajer tim mereka. Satu-satunya yang masih mengikat gadis itu dengan agensi hanyalah denda yang harus dicicil, lantaran menyeleweng dari kontrak yang mestinya masih berlaku hingga tiga tahun lagi.

Tiada kabar apa pun dari Baram Seonbaenim selama beberapa bulan kemudian. Ia seperti angin itu sendiri. Datang dalam wujud taifun, menciptakan kekacauan, kemudian pergi lagi tanpa memberi jejak selain kehancuran. Atmosfer internal agesnsi tak lagi sama seperti sebelum kasus itu timbul. Personil GOOM yang kini bersisa lima sudah jarang muncul di studio. Kim-ssi, manajer kami, melapor bahwa GOOM memang tak diberi aktivitas apa pun. Tiada pula karir solo anggota lainnya. GOOM memasuki masa hiatus.

Sebagai gantinya, agensi menggenjot kami sebagai satu-satunya ladang uang saat ini. 

Hingga suatu hari, komentar muram Jihan tiba-tiba terdengar dalam rehat kami usai latihan yang amat padat.

“Nomor Baram Seonbaenim tidak aktif lagi.”

Dengan lengan menyangga di belakang tubuh, kutengedahkan kepala, memandang pengatur suhu yang sibuk mendinginkan tubuh kami. Andai akulah pengatur suhu itu. Hanya perlu diam dan tak beranjak ke mana-mana. Toh, baik aku maupun ia hanyalah alat yang digunakan untuk memuaskan hati orang lain. Di saat kinerjaku tak memenuhi ekspektasi, orang-orang hanya akan menyalahkanku, bukan harapan mereka. 

Perbedaannya: aku harus terus berlari. Sedang ia hanya perlu diam di sana sampai batas waktu yang dinanti. Tapi, bukankah ini pilihanku sendiri? Aku tertawa sinis.

“Kita masih punya waktu istirahat, 'kan?” tanyaku serak, pada siapa pun yang akan menjawab. 

Hani Eonni yang membenarkan. “Kalau mau tidur sebentar, tidak apa. Nanti kubangunkan.”

Kubalas dengan rangkulan karib sambil melirihkan kata “terima kasih”, sebelum merebahkan kepala di atas lantai yang dingin. 

Mungkin karena lelah, tiba-tiba saja aku merasa meloncati dimensi waktu. Yang terbayang di pelupuk mataku justru adegan beberapa tahun lalu. Ketika Baram Seonbaenim duduk di sampingku, memandangi langit malam dengan raut muram. Ketika kalimat itu tiba-tiba saja mencelat dari lisannya:

“Menjadi idola adalah jalan yang ironi.”

Kalimat yang saat ini terngiang kembali di tengah kesadaranku yang hilang timbul.

Menjadi idola adalah jalan ironi.

Menjadi idola … adalah … jalan …  ironi …

Menjadi idola … ironi.

Entah sudah berapa lama aku terlelap ketika kurasakan tepukan mengenai pipi. Ini seperti deja vu. Muka panik Hani Eonni adalah yang pertama kali membayang dalam kemunculan samar kesadaranku, sebelum disusul oleh isak tangis dan jeritan histeris.

Dua hal itu yang benar-benar membuka mataku. Kebingungan melandas begitu kudapati Jihan, Hani Eonni, dan Hana Eonni, tersengguk-sengguk di hadapan manajer kami yang tampak terpukul dan menyesal.

“Ada apa?”

Manajer Kim menatapku sayu. "Choi Baram ditemukan gantung diri." 

***

Menjadi idola adalah jalan ironi. Jalurnya riuh, tapi sunyi. Kami menjadi idola untuk menjalani mimpi dan cita-cita kami. Kami menjadi idola agar menjadi diri sendiri. Akan tetapi, begitu meniti jalan itu, berarti kami harus hidup berhujankan harapan dan ekspektasi. 

Menjadi idola berarti kami harus menjelma dewi. Padahal, kami bukan dewi. Kami hanya manusia yang ingin membahagiakan diri sendiri dengan bernyanyi dan menari.

Menjadi angin adalah jalan ironi. Katanya, “Ikuti ke mana pun angin membawamu pergi”, tapi faktanya, angin itu sendiri hidup dengan tekanan dari berbagai sisi. 

***

Busana hitam yang kukenakan cuma membuat hatiku tambah kelam. Isak tangis di sekitar pun hanya kian mengacak-acak isi otakku yang semrawutan. Di saat-saat begini, seharusnya aku pergi ke studio, bernyanyi dengan nada tinggi sampai tenggorokanku lelah dan kepalaku pusing. Atau menuliskan lirik lagu yang tidak akan pernah disetujui oleh agensi.

Usai menyembahyangi abu Baram Seonbaenim, bergegas aku menjauh dengan alasan ingin menenangkan diri. Beberapa hari belakangan, banyak mobil terparkir di pelataran rumah abu ini. Satu hal yang kusyukuri adalah, kamera wartawan tak diizinkan hadir di tengah kedukaan.

Aku berbelok ke belakang, tempat orang-orang merokok dan menepi. Duduk di atas batu yang mencuat pada permukaan tanah, kutatap langit yang kini cerah sekali. Kuhidu angin berbau asap tembakau yang sampai ke tempatku berdiri.

Ada banyak pembunuh, tapi tiada satu pun yang dihukum.

Dunia ini penuh oleh orang ironis. Mereka mendorong orang yang mereka hujat jahat karena menyakiti orang lain, tanpa menyadari bahwa mereka pun sama jahatnya karena menyakiti orang yang mereka dorong itu. Aku mengerti, mereka menyalahkan orang bukan karena mereka mencintai kebenaran. Melainkan karena mereka bisa merasa lebih benar dengan menyalahkan dan membenci orang lain yang berbuat salah. 

Di usiaku yang kedua puluh, telah kupahami satu hal krusial dalam hidup ini: betapa manusia sangat senang menjadi hakim berstandar ganda.


***