Jagat Raya Semesta

Jagat Raya Semesta

romanceholic

4.7

“Silakan baca surat wasiatnya sekarang,” ujar Raya setelah duduk nyaman di ruang pertemuan kantor pengacara Freddy Alamsyah yang merupakan pengacara pribadi mendiang kakeknya, Rusdi Jaganegara. 

Raya menjentikkan jarinya pada titik-titik debu yang hampir tak terlihat di blazernya, lalu meluruskan rok selututnya―yang meski modelnya sangat konservatif, tetapi harganya tak main-main―lantas kembali memusatkan perhatian pada Freddy Alamsyah yang duduk di hadapannya dan didampingi empat pengacara lain.

“Beserta dengan surat wasiat ini, saya, Rusdi Jaganegara, menyatakan bahwa semua aset harta kekayaan saya berupa perusahaan properti Jaganegara Group, rumah besar Jaganegara beserta isinya, serta tabungan dan deposito atas nama Rusdi Jaganegara, saya percayakan semuanya pada putra saya, Jagat Semesta Al-Farabi Jaganegara, untuk diatur sebagaimana mestinya.

“Untuk putri kandung saya, Karissa Winata, dengan menyesal saya tidak bisa memberikan satu rupiah pun dari harta saya untuknya karena saya khawatir akan dijadikan taruhan judi oleh suaminya, Gemilang Winata. Namun, jika suatu saat putri saya memutuskan untuk kembali, maka dia akan diterima dengan tangan terbuka untuk tinggal di rumah besar Jaganegara tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun menyangkut materi seumur hidupnya, karena Jagat akan mengaturnya.

“Terakhir untuk cucu saya, Raya Kamelia Winata, saya menyesal karena kita tidak memiliki kesempatan untuk saling mengenal. Walaupun begitu, saya bangga dengan pencapaiannya menjadi seorang pengacara yang luar biasa. Untuk itu, sebagai tanda sayang yang tidak pernah sempat tersampaikan, saya akan memberikan warisan dengan ketentuan berikut: 

“Satu, Raya akan mendapat uang saku bulanan, hanya jika Jagat setuju memberikannya.

“Dua, Raya akan mendapatkan sebesar 30% saham perusahaan, jika mengambil peran di Jaganegara Group dan Jagat telah memutuskan kalau Raya memang layak mendapatkannya.

“Tiga, Raya akan mendapatkan separuh dari total keseluruhan harta saya, jika nanti Raya menikah dengan pria yang telah disetujui Jagat.

“Empat, Semua ketentuan di atas―"

“Tunggu!” Raya menyela, raut kesalnya yang tidak ramah membuat beberapa orang dalam ruangan tampak gelisah. “Kenapa semua ketentuan itu harus bergantung pada keputusan ... siapa tadi?”

“Jagat.”

“Ya, Jagat.” Raya mengerutkan keningnya tanda tidak suka. “Siapa dia? Setahu saya ibu saya anak tunggal. Dia tidak memiliki saudara bernama Jagat.”

“Jagat putra angkat mendiang kakek-nenek Nona.”

“Oh ...” Raya berdecak sebal. "Jadi dia benar-benar bagian dari keluarga Jaganegara. Om saya, begitu?”

“Ya, tapi dia bukan om-om, Nona.” Freddy Alamsyah terkekeh geli. “Kakek-nenek Nona mengadopsinya saat usianya dua belas dan saat itu Nona baru saja masuk SMA favorit. Jadi, ya ... bisa dibilang Jagat adalah om yang lebih muda dari Nona.”

“Saya tidak butuh detail informasi tentang Jagat. Saya hanya ingin tahu apa jaminannya dia bisa dipercaya menjalankan wasiat Kakek? Bisa saja kan dia sedang mengincar harta Kakek. Apalagi semua ketentuan itu sangat menguntungkan pihaknya.”

“Tidak, Nona. Saya ragu dia mengincar harta karena Jagat memiliki kekayaan sendiri yang nilainya cukup besar. Selain itu, berkat dialah Jaganegara Group jadi lebih maju dan bernilai tinggi seperti sekarang,” jelas Freddy Alamsyah dengan nada ceria yang tidak memudar. Pengacara akhir lima puluhan itu sama sekali tidak terganggu dengan sikap Raya yang kurang sopan, mata tuanya malah berkilat jenaka setiap kali membalas tatapan tajam dari Raya. 

“Saya juga bisa membuat Jaganegara Group lebih maju dan lebih bernilai kalau sejak awal ibu saya tidak memilih kabur dengan seorang penjudi,” tukas Raya sebal.

“Tapi kalau Ibu Karissa tidak kabur dengan seorang penjudi, dia tidak akan memiliki Nona―"

“Saya tahu,” potong Raya ketus. “Lanjutkan!”

“Sebagai informasi, kakek Nona membuat surat wasiat terpisah. Jadi, surat wasiat ini hanya untuk Nona dan Ibu Karissa. Jagat sama sekali tidak tahu-menahu tentang isi surat ini.”

“Oh ya?” Raya menaikkan sebelah alisnya dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, sementara kedua mata gelapnya berkilat penasaran. “Boleh saya tahu isi surat yang diterima si Jagat-Jagat itu?”

“Maaf, tidak bisa,” tolak Freddy Alamsyah tegas, “Lagi pula, sampai sekarang Jagat belum meminta saya membuka surat warisannya.”

Raya mencebikkan bibirnya seraya mundur dan menyandarkan punggung di sandaran kursi, lalu bersedekap. “Sombong sekali dia. Apa dia pikir dirinya satu-satunya pewaris sehingga tidak merasa perlu membaca surat wasiat?”

“Bukan begitu, Nona. Dia belum membukanya karena masih berduka atas meninggalnya kakek Nona.”

“Cengeng! Dia kan matinya sudah sebulan yang lalu!” gerutu Raya.

“Terkadang orang lain yang tidak memiliki ikatan darah justru lebih peduli daripada keluarga yang masih sedarah.”

“Jangan salahkan saya! Salahkan ibu saya yang tak pernah mengizinkan saya bertemu mereka. Lagi pula, saya tidak suka pura-pura berduka hanya untuk mendapatkan warisan yang memang sudah menjadi hak saya,” timpal Raya ketus.

“Maaf, Nona benar. Tidak seharusnya saya bicara seperti―"

“Bisa kita kembali ke surat wasiat?”

“Baiklah. Melihat respons Nona sebelumnya, saya tidak yakin poin yang terakhir ini menarik untuk Nona.”

“Bacakan saja, Pak! Saya tidak punya banyak waktu. Ada persidangan yang harus saya hadiri satu jam lagi.”

“Oke.” Freddy Alamsyah menghela napas panjang. “Poin terakhir. Semua surat warisan yang saya buat akan batal jika dalam waktu delapan belas bulan terhitung mulai dari hari kematian saya, hadir seorang anak sah―baik dari pihak Raya maupun dari pihak Jagat―maka seluruh harta kekayaan saya mutlak menjadi milik anak tersebut. Tanpa terkecuali.”

“Persyaratan apa lagi itu?” Raya sontak berdiri tegak dengan telunjuk yang teracung ke arah Freddy Alamsyah. “Anda yakin ini pesan kakek saya? Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Anda!”

“Tenanglah, Nona.” Freddy Alamsyah memberi isyarat supaya Raya kembali duduk. “Karena kita sama-sama pengacara, saya berpendapat kalau Nona sudah tahu prosedur membuat testamen atau surat wasiat tertutup. Kakek Nona menyerahkan testamen ini dalam keadaan tertutup dan disegel kepada notaris di hadapan empat orang saksi,” terang Freddy Alamsyah bijak dan santai. Beberapa pengacara yang Raya yakini adalah saksi yang dimaksud serempak menganggukkan kepalanya memberi persetujuan.

“Kalau begitu saya merasa ini tidak adil. Kenapa sampai kehidupan pribadi saya harus bergantung pada keputusan si Jagat-jagat itu? Orang yang bahkan belum pernah saya temui?”

“Memang itu tujuannya, Nona. Jagat bukanlah orang asing. Dia satu-satunya keluarga Nona yang tersisa selain Ibu Karissa. Hanya dia orang yang bisa Nona andalkan saat ini. Percayalah.”

“Saya tidak suka mengandalkan orang lain.” Raya memijat pelipisnya yang terasa pening setiap kali memikirkan kehidupannya yang malang. 

Akhir-akhir ini penyakit gula ibunya semakin sering kambuh sehingga biaya perawatannya menelan hampir separuh penghasilannya tiap bulan. Raya tidak bisa lagi membayar utang judi ayahnya seperti biasa. Alhasil, bunga utangnya semakin menggila. 

Belum lagi tagihan biaya sewa apartemen mewah, cicilan mobil limited, dan cicilan barang-barang branded―untuk menunjang penampilannya―semakin membuatnya putus asa. Raya pasti berkhayal kalau berharap bisa melunasi semua utangnya dan utang sang ayah hanya dengan mengandalkan gajinya sebagai pengacara.

"... dengan begitu, Nona tidak perlu khawatir lagi soal utang ayah Nona.” 

Suara Freddy Alamsyah tiba-tiba menembus benak Raya yang tengah sibuk menghitung.

"... semuanya akan terbayar lunas hanya dengan nol koma satu persen dari nilai keseluruhan harta kakek Nona. Tentu saja kalau Nona bersedia memenuhi ketentuannya.”

“APA?! Nol koma satu persen?” Raya terbelalak.

“Ya. Kakek Nona selalu memperhatikan Nona. Beliau sedih ketika tahu Nona mati-matian bekerja untuk melunasi utang ayah Nona. Beliau ingin membantu, tapi Bu Karissa selalu melarang―"

“Kalau begitu, bisakah Anda berikan saja bagian saya sekarang? Saya tidak menginginkan banyak. Saya tidak butuh sekian puluh persen saham atau setengah dari keseluruhan harta kakek saya. Cukup nol koma satu itu tadi untuk melunasi semua utang saya dan utang ayah saya.”

“Maaf, tapi ketentuan itu adalah permintaan kakek Nona. Jika Nona tidak bersedia melakukannya, maka tidak ada sepeser pun warisan untuk Nona.”

Raya menggebrak meja. “Apa maksud Anda?”

“Jika ingin beban Nona berkurang, maka Nona memiliki beberapa pilihan. Pertama, biarkan Bu Karissa pulang ke rumah besar Jaganegara. Dengan begitu Nona tidak perlu khawatir lagi soal biaya perawatannya. 

“Kedua, kalau Nona butuh uang yang cukup banyak, cobalah mengakrabkan diri dengan Jagat dan minta uang bulanan padanya. 

“Ketiga, kalau Nona ingin setengah dari seluruh harta kekayaan kakek Nona, mulai sekarang carilah calon suami dan bicarakan dengan Jagat untuk meminta restunya.”

“Menikah?” sergah Raya. “Wow! Saya tidak akan menikah demi mendapatkan warisan. Menikah hanyalah untuk orang yang tidak bisa mencari kebahagiaannya sendiri. Saya tidak ingin menjadi seperti ibuku yang tolol karena menggantungkan kebahagiaannya pada pria yang salah.”

“Saya hanya memberi jalan keluar terbaik atas situasi Nona.”

“Kalau begitu berarti pilihannya tinggal satu,” cetus Raya, lebih kepada dirinya sendiri.

“Apa itu?” Freddy Alamsyah memandangnya curiga. 

Raya tidak ingin membagi pikirannya. Jadi, ia hanya membalas tatapan pengacara itu dengan tatapan datar. Intinya, Raya tidak ingin repot-repot mencari pria kalau ujung-ujungnya tetap harus meminta persetujuan Jagat. Namun, jika Raya tiba-tiba hamil, maka Jagat tak punya pilihan selain menyerahkan seluruh harta kakek kepadanya. 

Yang penting asal punya anak, kan? 

“Boleh saya tanya satu hal?” tanya Raya kemudian.

“Silakan, Nona.” Freddy Alamsyah menatapnya sabar.

“Apa Jagat tahu tentang saya? Tentang pekerjaan saya, penyakit ibu saya, atau mungkin utang ayah saya?”

“Saya pikir dia tidak tahu apa-apa tentang Nona selain kalau Nona adalah cucu ayah angkatnya. Dia tipe orang yang tidak pernah tertarik dengan urusan orang lain.”

Raya mengangguk singkat. “Kalau begitu, jika nanti Anda bertemu dengannya, bisakah Anda tidak mengatakan apa-apa tentang saya dan masalah keluarga saya? Itu pun kalau dia bertanya.”

“Tentu saja.”

“Bagus, terima kasih.” 

Saat keluar dari kantor Freddy Alamsyah siang itu, Raya masih tak habis pikir kenapa pemberian warisannya harus bergantung pada keputusan pria asing bernama Jagat. Namun, di saat kondisi keuangan Raya carut-marut seperti sekarang,  Raya tidak memiliki pilihan lain selain berharap Jagat memberikan bagian warisannya tanpa mempersulitnya. Masalahnya, Raya belum tahu bagaimana cara meminta bagian warisannya tanpa membuat dirinya tampak menyedihkan.