Aaargh! Ju-ne menjambak-jambak rambut lurusnya yang hitam dan lebat. Bagaimana ini? Gara-gara sibuk dengan proyek barunya, dia sampai lupa persediaan makanan buat Jung habis. Mana Indomaret satu-satunya toko di sini kehabisan stock lagi.
Oke, menelepon Jay sekali ini saja sepertinya tidak membuatnya terlihat ingin berdamai. Cukup tanya sebentar, lalu matikan panggilan. Ya, tidak apa-apa. Ju-ne mengambil napas, bersiap dengan suara dingin-cuek-nggak-peduli. Genjatan senjata darurat, dimulai dari sekarang!
Dialing Jay....
Sebelum tersambung, berkali-kali Ju-ne mondari-mandir karena grogi. Rambutnya lagi-lagi menjadi korban remasan tangan. Gila, ini akan menjadi percakapannya pertama setelah minggat. Sebenarnya dia gengsi untuk menyapa atau membuka percakapan duluan semacam ini. Apalagi dari hasil kepo di medsos, Jay sepertinya sudah bahagia. Dia asyik dengan pasien-pasiennya, dan seperti sudah lupa punya adek seimut dirinya.
Sial! Kok lama diangkat? Apa nggak usah nelepon saja ya?
Ju-ne mulai resah.
Eh, Diangkat juga.
“Woi, Ju! Ngapain nelepon gue? Kehabisan duit lo? Ditangkap polisi? Atau nyesel minggat?”
Nah, begini nih yang bikin malas nelepon si Jay. Ngomel terus. Lidah dia memang selemas spaghetti direbus seabad. Tapi, Ju-ne harus sabar. Apalagi ini demi anjing kesayangannya, Jung.
“Serius, Jay! Ini masalah lebih urgent daripada lo bahas masa depan gue. Lagian, gue sudah bahagia kok jadi engineer—”
“Apa sih yang penting buat lo sampai nelepon gue begini. Kangen, ya?” potong Jay dengan nada mengejek.
SIAL!
“Makanan kucing bagus nggak buat anjing? Makanan anjing habis di sini,” tanya Ju-ne tanpa meladeni basa-basinya Jay yang bikin mual.
“Lo kalau bikin onar atau eksperimen itu mbok ya mikir.”
“Jung sekarat karena kelaparan.”
“Tinggal di pelosok sih. Lo, oke?”
“Anjing gue sekarat!”
“Gue tanya kabar lo, Dodol!”
Ngapain Jay pakai sok perhatian cemas kayak begini segala.
“Heh? Gue cuma butuh jawaban lo. Makanan kucing boleh nggak buat anjing?”
“Ju—”
“Jawab doang susahnya apa, Kampret!” potong Ju-ne kesal.
“Boleh, Cebong!” balas Jay emosi. “Tapi ingat, makanan kucing itu over nutrition buat anjing. Jadi jangan ngasih banyak-banyak. Dan jangan diterus-terusin, karena makanan kucing baunya lebih tajam. Bisa-bisa anjing lo ketagihan dan ogah lagi makan makanan anjing. Yang bahaya itu, makanan anjing buat kucing. Ada zat aditif yang tidak bahaya bagi anjing tapi beracun bagi kucing.”
“Thanks.”
“Heh, tunggu!”
Klik
Setelah menutup telepon si Jay, Ju-ne buru-buru menyambar makanan kucing di rak Indomaret. Demi menyelamatkan nyawa Jung, tanpa banyak mengulur waktu dia pun langsung meluncur ke kasir yang ramah tadi. Semoga Jung bisa diselamatkan.
Sial! Sebelum keluar dari Indomaret, Jay nelepon lagi. Jangan-jangan kiamat tepat hari ini, terasa ganjil mendapat panggilan telepon dari dia. Rasanya canggung dan tidak nyaman melihat nama JAY gentayangan di layar ponsel. Salah Ju-ne juga sih. Kenapa setelah sekian lama sok diam dan tidak peduli sama dia, tadi malah menelepon dan berkomunikasi lagi. Ah, Anjing! Ya, semua ini gara-gara anjing.
“Apa?” tanya Ju-ne ketus setelah lama mendiamkan panggilannya.
“Heh, makanan kucing tadi bisa kok diganti sama selai kacang, yoghurt, kentang, atau apel.”
“Itu makanan lo.”
“Dibilangin! Anjing suka banget sama makanan itu. Aman lagi. Sudah lo nggak usah aneh-aneh. Kasih makan aja yang gue saranain itu.”
“Gue mau balik. Mau nyamil Whiskas! Puas?!”
Klik
* * *
Gara-gara momen Ju-ne nelepon Jay di Indomaret, hubungan dingin mereka sedikit membaik dan terselamatkan. Jay semakin sering menelepon, dia juga mulai mengajak Ju-ne bermain game online lagi, dan tidak lupa untuk merekomendasikan film bagus yang harus Ju-ne tonton bersama Jung saat weekend. Namun ada satu hal kebiasaan baru Jay yang paling menyebalkan. Bayangkan, dia terus-terusan menanyakan kondiri kesehatan jiwa Ju-ne?
Serius! Ke-se-ha-tan ji-wa!
Setelah ucapan good night dan emot anjing, dia akan menambahkan dengan kalimat tanya itu. Menyebalkan bukan? Tentu saja, Ju-ne tidak akan pernah membalasnya. Sampai malam kejengkelan Ju-ne sudah diambang batas. Tanpa pikir panjang Ju-ne jawab saja pertanyaan kabar kesehatan jiwa Ju-ne dengan pesan : Gue ketagihan makan Whiskas sekarang, Jay!
“Jangan aneh-aneh, Ju! Gue jenguk lo, besok!”
Esoknya, ternyata Jay serius mengajak bertemu. Janjinya malam tadi ditepati. Dia jauh-jauh datang dari Jakarta ke Karawang hanya karena khawatir Ju-ne nyamil Whiskas. Hei, dia masih waras! Entah, mungkin Jay hanya membuat-buat alasan saja.
Namun, Ju-ne tidak bisa menolak. Toh sebenarnya Ju-ne juga bahagia dia datang. Ini adalah kabar terbaik yang Ju-ne ceritakan kepada Jung. Namun, kenapa si anjing terlihat tidak antusias seperti biasanya saat mendengar cerita-cerita Ju-ne? Dia justru manatapnya sedih.
“Hei, Jay itu baik. Gue sayang sama dia. Gue janji, setelah kami baikan, gue nggak akan lupa sama lo, Jung.”
Jay benar-benar datang ke kosan. Namun, Jung menyalak-nyalak seperti tak menerima kehadirannya. Demi keselamatan dan menghindari keributan, Ju-ne dan Jay pun memutuskan bertemu di depan Indomaret saja.
Sebelum nongkrong di deretan kursi di depan Indomaret, mereka berdua berlarian seperti bocah masuk untuk berlomba-lomba menyeduh kopi favorit. Oke, kenapa harus berlomba? Karena termos di Indomaret hanya satu, dan Ju-ne masih gengsi untuk kalah dan menunggu Jay membuat kopi duluan. Menggelikan. Di umur kepala dua seperti ini kami masih saja kekanakan kalau bertemu. Jiwa bocah mereka langsung buncah ketika bersama seperti ini.
“Gue minta maaf Ju,” ucap Jay setelah membiarkan Ju-ne menyeduh kopi duluan dan mengalah untuk pertama kali dalam setiap lomba masuk Indomaret.
“Ternyata, lo bisa tobat juga?” balas Ju-ne tersenyum. Bukan mengejek, tapi senyum tulus.
Mereka berjalan bersama-sama ke kasir, membayar, dan memilih kursi paling ujung. Jay menyesap kopinya dengan menutup mata. Napasnya terdengar dalam, seolah ada beban berat yang ingin segera dia katakan.
“Lo tahu kenapa gue ngotot lo kuliah di Jakarta?” tanyanya serius.
Ju-ne hanya bisa menggeleng. Tahu ini akan menjadi obrolan serius, Ju-ne sampai menunda menyesap kopi yang mengepul di meja.
“Karena dalam diri gue sebenarnya takut banget. Gue takut banget kehilangan lo. Lo itu partner gue dari kecil. Prioritas gue dibanding cewek-cewek gue. Lo juga alasan cewek gue pada minta putus.”
“Sialan,” desis Ju-ne tersenyum juga sedih.
“Tapi, lo tetap kukuh mau pergi. Padahal lo tahu sendiri kan, gue susah, gue, ah, gue sulit bergaul atau apalah.”
“Itu juga alasan lo milih jadi dokter hewan kan, Jay? Karena lo lebih bisa bergaul baik dengan mereka.”
“Bisa jadi,” jawab Jay lemah.
“Itu juga alasan gue jadi engineer. Karena gue lebih hebat bergaul dengan mesin ketimbang makhluk bernama manusia.”
“Sori ya, Ju. Harusnya gue ikut bahagia kalau lo bahagia. Harusnya nggak ada hak buat gue, maksa lo stay di Jakarta, kuliah di kedokteran seperti gue, dan menghalangi lo memilih jalan hidup lo. Sekarang, gue bahagia kok kalau lo juga bahagia.”
Ju-ne lihat Jay tersenyum, tapi matanya juga merah basah. Ju-ne tidak tahu harus membalas apa. Berkata-kata apa. Kenangan-kenangan kesedihan di wajah mereka ketika berpisah berputar lagi. Wajah Jay yang sangat marah. Air mata yang masing-masing mereka tahan. Tak ada kata perpisahan. Tak ada pelukan. Tak ada kehangatan. Mereka berpisah dengan dingin es yang menutup hati. Andai Ju-ne tahu alasan Jay melarangnya minggat ke Semarang dan kerja di Karawang ini. Mungkin dia tidak akan ngamuk dan membencinya.
“Tapi, Jay. Di medsos lo, semua tampak bahagia dan baik-baik saja.” Ada nada cemburu dari kata-kata Ju-ne. Entah, Ju-ne juga tidak tahu kenapa bisa begitu.
“Apa yang lo lihat itu terapi buat diri gue sendiri. Gue sekarang sudah menjadi pasien salah satu psikolog di Jakarta, Ju. Kehilangan dan jauh dari lo bikin gue tumbang. Gue belum siap menghubungi lo. Gue nggak bisa. Gue ambruk dan kalah sebelum berperang buat membenci lo. Makanya gue fokus dengan apa-apa yang bisa membuat gue happy, buat gue bisa sedikit lupa sama lo. Dan pagi itu.... Ya, pagi itu seperti anugerah ketika lo nelepon gue nanyain makanan kucing bisa dimakan anjing atau nggak.” Jay tersenyum.
“Oh, itu alasan lo khawatir gue makan Whiskas dan jadi sinting?”
“Ah, gue tahu lo juga nggak baik-baik saja kan?”
“Sok tahu,” elak Ju-ne cepat.
“Sekarang gue tanya, lo ada teman di tempat kerja? Kosan lo ada orang selain lo dan Jung? Lo sudah bisa membuka diri?”
Baiklah, Ju-ne kalah. Ju-ne hanya menggeleng. Karena memang apa yang dituduhkan Jay benar. Mereka sama-sama sulit memulai sebuah hubungan, mereka sama-sama tersesat dalam kesepian. Mereka sama-sama perlu seorang teman. Mereka—ah, sial. Kenapa Ju-ne bisa secengeng ini. Cepat-cepat Ju-ne hapus air mata sialan ini.
“Usul gue, mulailah membuka diri, Ju. Bukan berarti lo menjadi orang lain. Tetap jadi diri kita sendiri—dengan sedikit lebih membuka diri. Mungkin bisa dimulai dari pindah kosan bareng teman-teman kerja lo. Bukannya lo bilang kalian satu tim?”
“Sudah ada tawaran dari teman-teman engineer sih.”
“Gue bantu lo pindahan, gimana?”
“Thank you,” jawab Ju-ne tersenyum lebar. Namun, Ju-ne kok curiga dengan gaya sok bijaknya dia barusan.
“Kenapa lo lihat-lihat?” bentak Jay dipandang seperti itu.
“Beneran ini semua usul lo?” tanya Ju-ne memastikan. Soalnya, si Jay tidak pernah terlihat sekeren ini sebelumnya.
“Sialan lo, Njing.”
Ju-ne tertawa keras.
* * *
Jay datang ke kosan Ju-ne dengan semingrah. Namun, betapa kagetnya Ju-ne ketika Jung menyalak dan hendak menyerangnya. Ju-ne panik, lalu berteriak memarahi Jung. Sia-sia. Dia terus menerus menatap Jay dengan ganas. Tatapan sayu yang selalu Ju-ne lihat, menguap bersama amarahnya.
“Diam Jung! Dia Jay, kakak gue!” teriak Ju-ne kalap.
Semua perkataan Ju-ne tak dihiraukan Jung. Dia terus mengejar Jay yang baru saja datang. Sebelum Jay terluka, Ju-ne berlari mengejar Jung, menghadanginya agar tak melakukan perbuatan bodoh itu. Dia menatap Ju-ne garang. Ju-ne berada diantara Jung dan Jay.
“Jay, lo lari sebisa mungkin dari sini. Buka pintu gerbang dan cepat pergi. Gue bisa angkut barang Ju-ne sendiri. Gue hitung mundur. SATU... DUA... TIGA!!!”
Jay mengikuti apa yang Ju-ne perintahkan. Pelan-pelan, tangannya meraih kancing geser gerbang. Hati-hati, lalu dia menggesernya. Setelah yakin terbuka, secepat kilat dia menghambur keluar dan berlari menjauhi kosan.
“Berhasil, Ju!” teriaknya sambil berlari karena dia yakin Jung masih akan mengejarnya dan tak akan melepaskannya.
Prediksi itu benar.
Melihat Jay keluar, Jung langsung hendak berlari untuk mengejarnya. Dia berhasil keluar gerbang. Dia berlari dengan mata berbinar. Dia seolah bebas. Lepas dari belenggu yang mungkin selama ini menyiksanya. Namun, tiba-tiba suara ngilu gesekan rem mobil menjerit lantang. Lolongan lemah terdengar sekali. Lalu mobil berhenti. Begitu juga kebahagiaan Jung berlari.
“Jung!” panggil Ju-ne melihat salah satu ban mobil itu tepat menginjak leher Jung. Dengan mata kepalanya sendiri, Ju-ne melihat Jung tak berdaya. Napasnya memburu, lehernya tercepit ban dan aspal, jantung yang tampak sangat cepat berdetak. Dia kejang-kejang.
“Ambil papan, Ju!” perintah Jay panik. “Pasti ada patah tulang. Tulang lehernya sepertinya patah. Ini tanda tidak baik. Cepat!” teriak Jay melihat Ju-ne yang seperti membeku melihat napas Jung yang tinggal satu-satu.
Setelah berhasil memapah Jung, Jay mengukur suhu tubuhnya. Wajah Jay panik. Keringat menyembul di dahinya.
“Suhu tubuh Jung meninggi. Ini serangan demam. Siapkan air kran!” perintah Jay cekatan.
Ju-ne pun mengambil air dari kran tempat cucian. Setelah setengah ember terisi air segar Ju-ne, Ju-ne angkat dan meletakkannya di samping Jay. Dia lalu membasuh pelan-pelan tubuh Jung, tangannya sangat lembut membasuh tubuh Jung. Lalu dia mengompresnya dengan kain yang dibasahi air.
“Gue cari dulu nomor dokter hewan dekat sini,” kata Ju-ne panik.
Namun, Jay menggeleng.
“Kenapa?”
Jay menatap mata Ju-ne dengan wajah pilu. Ju-ne tahu arti wajah itu. Ah, itu adalah raut muka yang sama ketika kedua orang tua mereka meninggalkan mereka untuk selamanya. Wajah ketika Jay menjadi satu-satunya keluarga Ju-ne karena kecelakaan nahas sepuluh tahun lalu. Ju-ne persis tahu itu.
Ju-ne cepat membuang muka. Dia menatap mata Jung yang sendu. Namun, ketika lekat mata mereka bertumbukan, Ju-ne bisa melihat kebahagiaan tersimpan di sana. Ya, mata Jung tampak lega. Dia seperti ingin pamit untuk pulang ke rumah sejatinya.
Ju-ne mengangguk pelan. Kemudian tubuh gempal itu mendadak kaku. Dadanya masih bergetar, tapi kian pelan.
Pelan.
Pelan.
Dan—
Akhirnya memudar.
“Dia sudah tenang sekarang, Ju,” bisik Jay sambil memeluk Ju-ne. “Jung sudah bersama Mama dan Papa di surga.”
Ju-ne membeku. Air matanya tak berhenti. Jung-lah sahabatnya selama ini. Satu-satunya keluarga di perantauan yang jauh. Mungkin, Jung sudah tahu akan mati, dan membuat Ju-ne menelepon Jay. Mengembalikan Jay.
Gue tahu, lo nggak ingin gue kesepian Jung....