Langit sabtu sore yang teduh dan rumah megah bernuansa eropa klasik bercat putih yang disanggah dengan pilar-pilar yang tinggi. Terlihat di pagar balkoni duduk seorang wanita muda mengenakan kaos gombrong berwarna biru dongker dan celana training hitam bergaris putih di sisi kanan dan kiri sedangkan rambut panjangnya digelung asal dengan jepitan jedai, ia sedang membaca sebuah novel bersampul biru tua dengan judul 'jprut..'. Dia adalah Sonia, seorang gadis miskin yang beruntung dinikahi pria kaya yang langsung mengubah hidupnya 180 derajat. Yang semula dia direndahkan sekarang dia dipandang terhormat.
Matanya terus menatap halaman buku yang dipegangnya. Sudah hampir tiga puluh menitan halaman itu tidak pernah berganti. Bahkan Ia sendiri belum merubah posisinya. Melamun, Pikirannya berfokus pada hal lain.
Memikirkan tentang kejadian yang belum lama ini terjadi.
***
Kedua tangannya menenteng kantong plastik hitam penuh sampah. Lagi-lagi gerobak angkut sampah melewati rumahnya melupakan untuk mengangkut sampah miliknya, membuatnya harus mengejar dan membawa sendiri sampah itu.
"Pak Salim, Tunggu dulu! Jangan gitu dong masa sampah saya lupa diangkut terus. Lagian juga gerobaknya belum penuh tuh." ucapnya yang bersusah payah mengejar gerobak angkut sampah.
Pak Salim berhenti menarik gerobaknya dan membalas perkataan Sonia. "Makanya neng, kalau iuran tuh dibayar jangan ditunggak terus. Emangnya saya gak butuh makan juga neng."
"Yah elah pak. Begitu doang kok gini. Lagian juga saya kalau bayar pasti dobel kok, kan sekalian." Balasnya tidak terima dikritik.
"Ya iya neng kalau bayar emang dobel. Tapikan itu bukan hitungan buat yang besoknya masuknya hitungan yang kemaren. Kalau neng kayak gitu terus bayarnya mending neng buang aja sendiri sampahnya ke TPS." Pak Salim nampak tidak suka dengan balasan Sonia yang seperti merendahkan dirinya.
"Bapak komplain masalah iuran saya yang telat. Tapi saya komplai masalah kerja bapak yang gak beres bapak waktu itu cuma jawab 'itu diluar tanggungjawab saya, kan itu motor kamu ya kamu jaga lah masing-masing...' begitu. Bapak inget gak bapak juga ngerangkap jadi hansip. Terus bapak inget gak siapa yang maling motor saya waktu itu? Anak bapak, Jamal. Lah emangnya tugasnya yang menjaga keamanan dan mencegah masuknya maling tuh siapa? Hansip pak!" Sonia mengeluarkan semua kekesalannya, dia tahu lawan bicaranya lebih tua darinya tapi dia tidak suka jika keadilan dipermainkan, tua atau muda akan dia bantah jika tidak ada yang adil. "Lu aja ngebantuin anak lu kabur pas mau digrebek. Adil mananya memihak yang salah." Ucapnya sekali lagi sembari melempar sampah yang dipegangnya masuk ke gerobak.
"Moga aja RT nya dipecat. Biar langsung ganti RT, ganti kepengurusan. Biar Lu juga dipecat. Jadi pemerintah maunya merintahin doang tanggung jawab ogah. Duit doyan kerja gak mau. Sistem apaan tuh? Taik!" Ucapnya sekali lagi dan berpaling pulang meninggalkan Pak Salim dengan gerobak sampahnya.
Hatinya kesal, ditindas seperti sampah oleh orang yang lebih sampah darinya. Dia memang belum bekerja, belum punya penghasilan dan dia hanya seorang mahasiswa yang kuliah di kampus berstatus negeri di jurusan hukum dengan biaya bantuan rakyat kurang mampu dari pemerintah. Meski dia tidak sepintar anak-anak keturunan pengacara, tapi dia berpegang teguh dengan keadilan yang harus seimbang bukan yang berat sebelah. Take what you give, Give what you take. Timbal balik maksudnya.
Dalam perjalanan pulangnya, ia mampir sebentar ke warung untuk membeli minuman es teh plastikan yang harganya seribuan. Sembari memesan matanya memerhatikan dan memilah memilih snacks yang dipajang di depan warung, tertarik untuk membeli satu.
"Kapan kawin kamu, Nya?" Tanya yang jaga warung sembari membuatkan es teh pesanan Sonia.
"Tunggu aja. Ntar juga kawin mbak," ia menjawab sembari menyobek snacks pilihannya rasa coklat. "Lagian juga gue belum lulus, belum mikirin kawin."
"Kalau udah lulus nanti langsung kawin?" Tanyanya lagi.
"Ya, kalau itu mah. Tunggu aja, entar juga kawin." Jawab Sonia lagi acuh.
"Kalau begitu gak kawin-kawin dong kamu, Nya. Keburu tua kamu, gak laku-laku." Komentarnya sembari memberi es pesanan Sonia dan Sonia membayar semua belanjaannya.
"Gak papa kali gak kawin, yang penting sukses." Sonia membalas komentar penjual es itu. "Btw, makasih ya." Sambung Sonia dan pergi meninggalkan warungnya.
Serangan apa ini, hari ini Sonia makin dibuat bete. Dua kali berturut-turut dia diserang dengan komentar tentang dirinya. Kenapa orang lain begitu inginnya ikut campur dengan dirinya. Urus saja diri sendiri, apa dengan menikah bisa mengurangi beban hidup, pernikah itu artinya bersiap untuk menambah beban hidup. Beban hidupnya saja orang lain yang nanggung, kok bisa berpikir untuk menambah beban. Bodoh.
Dari kejauhan, dia tampak mengenali sesuatu yang ada di ujung jalan. Seseorang yang tampak akrab diingatkannya, orang itu sedang diikuti segerombolan anak-anak kecil yang menyorakinya. Seakan ia mengerti apa yang terjadi, ia menghela napas berat mengetahui hal itu. Apa harus ia biarkan saja atau mengusir gerombolan anak-anak usil itu. Bagaimana ia bisa tenang jika salah satu keluarganya diusili seperti itu.
Ia melangkah marah sembari meneriaki anak-anak itu. Dengan tampangnya saja anak-anak itu sudah berlarian kabur.
"Mbak, pulang yuk!" ajaknya pada sosok yang tadi menjadi pusat gerombolan keusilan anak-anak. Zenia, kakak perempuan Sonia yang mengidap gangguan autisme, umurnya memang tua tapi sifatnya masih kanak-kanak.
Ia menangkup wajah Zenia dan disana terdapat jejak air mata diatas lapisan bedak yang tebal. Ia menghapus air mata yang jatuh. Ia membisikan ajakan untuk pulang dan imbalan seperti membujuk anak kecil. Tentu saja Zenia menuruti dan mau digandeng pulang.
Sepetak rumah yang menjadi tempat tinggal mereka berteduh dari panasnya matahari dan guyuran hujan sudah cukup bagi keluarga kecil mereka yang beranggotakan ayah dan keempat anaknya. Beberapa bulan yang lalu masih ada ibu diantara mereka namun sekarang sudah tidak ada. Ia bersyukur ibunya tidak harus lagi menderita lebih lama dalam kemiskinan dan kondisi cacat akibat penyakit diabetes basah.
"Kenapa lagi tuh anak? Diapain?" Tanya Adela, adik perempuannya, ketika melihat kedua kakaknya kembali dengan sepiring nasi ditangannya yang menandakan ia ingin makan.
"Biasa. Diledekin 'orang gila' sama anak kecil tadi di ujung jalan. Mau makan?" Balas Sonia memberitahu apa yang terjadi. "Kayaknya masih ada sisa tongkol kemarin. Makan pake itu aja."
"Iya, gue tahu. Udah liat tadi. Itu lagi gue panasin," balas Adela berjalan memasuki dapur untuk mematikan kompor.
"Tidur gih. Bobo siang." Sonia menyuruh Zenia. Sonia mengambil tikar dan menggelarnya. Kemudian meletakan beberapa bantal di atasnya. Belum Sonia duduk, Zenia sudah mengambil tempat untuk tidur. Sonia duduk di sebelah Zenia tidur, mengambil remote untuk menyalakan TV. Ia mencari channel yang bisa dia tonton walau layar TV itu sudah berwarna merah, selama TV itu masih bisa menampilkan sesuatu ia akan terus menggunakannya sampai TV itu benar-benar menyerah dan mati total.
Adiknya kembali dan duduk di sampingnya dengan sepiring nasi dan lauk sepotong ikan tongkol.
"Mbak, kapan ya kita jadi orang kaya?" Adela memulai percakapan setelah ia menyuapi dirinya beberapa suap.
"Ntar, kalau gue kawin ma orang kaya. Atau gak tunggu gue Lulus terus keterima jadi jaksa. Atau tunggu sampe lu bisa nyari duit sendiri. Sabar aja. Masih syukur kita masih ada nasi bisa buat dimakan."
Setelah Sonianya menjawab hanya tinggal suara tv yang terdengar. Channel berhenti menampilkan sinetron harian.
"Nih sinetron beginian nih alurnya udah ketebak. Keluarganya bangkrut terus kelilit hutang, biar hutangnya lunas anaknya musti dinikahi ama reternir tapi anaknya gak mau terus kabur, eh ketemu cowok anak orang kaya yang cuma dimanfaatin ama pacarnya yang selingkuh ama orang lain, tuh cewek mau bantuin tuh cowok buat bales dendam ke pacarnya. Terus si cowok jadi suka ama tuh cewek, pas disamperin ke rumahnya, si cewek ternyata lagi mau dinikahi sama reternir karna hutang. Karna saking cintanya si cowok ama tuh cewek, ia rela ngebayarin hutang keluarga tuh cewek asal tuh cewek nikahnya sama si cowok dan si cewek mau. Udah deh selese." Sonia menebak alur sinetron yang ditayangkan di TV.
"Buset dah, lu kayaknya udah apal semua alur sinetron," timpal adiknya yang mendengarkan presentasi kakaknya perihal alur sinetron yang sedang ditayangkan.
"Gimana yah, semua sinetron rata-rata alurnya sama rata-rata alurnya sama dan ngulang-ngulang bedanya paling orangnya aja," sahut Sonia.
"Udahlah setel Mahabaratha aja." saran adiknya.
"Channel-nya gak ke detect di tv ini, pesek," Sonia menjelaskan. "Kalau ada mah udah gue pilih yng itu dari tadi."
"Gembel banget dah. Orang-orang tv-nya udah pada tipis kita doang yang masih tv tabung, mana gitu merah lagi layarnya. Channel-nya sering ilang-ilangan. Miskin banget dah. Nasib."
"Yang sabar ya, jangan banyak ngeluh. Sekarang mah nikmati aja apa yang ada."
Mereka tak lagi bicara, tv juga sudah berganti menayangkan iklan. Adela bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengembalikan piring ke tempat piring kotor. Kemudian berjalan masuk kamar. Tinggal Sonia sendiri yang masih duduk di depan tv. Karena ia lelah, ia membaringkan badannya merenggangkan otot-ototnya seakan-akan dia lelah melakukan sesuatu padahal ia tadi hanya mengejar gerobak angkut sampah.
Menatap langit-langit yang jauh disana. Ia juga ingin mengeluh, tapi mengeluh pada siapa jika semua orang mengeluh kepadanya, satu-satunya hanya pada Tuhan. Tapi apakah Tuhan mau mendengarkan keluhannya. Karna ia tahu mengeluh juga tidak ada gunanya karna tidak akan ada yang berubah. Ia lelah secara mental dan terlelap.
Tok!Tok!Tok!
Suara diketuk cepat. Seperti orang itu tidak sabar minta dibukakan pintu. Sonia terbangun karena ketukan itu yang tidak berhenti. Terus mengulang. Sonia menyikap tirai jendela sedikit untuk mengintip siapa pelaku ketukan tidak sabar itu. Yang dilihatnya dua orang asing yang tidak ia kenali siapa. Tampang mereka seperti orang baik. Tapi pakaian mereka seperti ciri khas debt colector. Sonia mengingat tagihan hutang apa yang tidak dibayarnya. Tidak ada. Dia ingat selalu membayar tagihan paylater ya tepat waktu bahkan sebelum tanggal jatuh tempo saja dia sudah bayar. Aneh.
Apa ia harus membukakan pintu untuk mereka. Atau mematikan lampu dan diam saja sampai mereka pergi. Tapi masalahnya suara ketukan itu tidak pernah berhenti berbunyi. Belajarlah dari pocong yang berhenti mengetuk ketika sudah tiga kali. Apa tangan kalian tidak lelah mengetuk sekeras dan secepat itu.
Adela bersembunyi dibalik tembok dengan raut wajah menanyakan siapa dan kenapa tidak dibukakan pintunya. Sonia menggeleng tidak tahu, dia sendiri takut menghadapi orang yang tidak dikenalnya. Sonia menyuruh adiknya untuk kembali masuk kamar. Sedangkan ia bersiap menghadapi orang-orang itu.
Membuka pintu, memberi sedikit cela agar Sonia bisa bertemu dengan mereka tanpa membiarkan mereka mengetahui isi dalam rumah Sonia. "Siapa ya?"
Kedua orang asing itu memerhatikan Sonia dari atas sampai bawah dan kembali lagi keatas. Mengindentifikasi ya sebagai anak gadis.
"Ini bener rumahnya pak kumis?" Salah satunya membalas pertanyaan anak gadis di depan mereka.
"Iya. Emang kenapa ya?" Lagi tanya Sonia. Dia mulai merasa tidak nyaman beradu dialog dengan mereka karena salah satunya terus melihatnya dengan tampang yang menjijikan dan tidak sopan.
"Kamu siapanya pak kumis?" Orang asing itu masih menanyai Sonia.
"Ada apa ya?" Balas tanya Sonia, tampaknya orang-orang asing ini sangat jahat.
Helaan napas dari orang itu terdengar hingga ke telinga Sonia menandakan lelah dengan pertanyaannya yang selalu dibalas pertanyaan. "Gini. Bapaknya ada?"
"Gak ada. Baru keluar tadi siang, ngojek." Jawab Sonia ringkas.
Orang asing itu tampak kesal. Kemudian bertanya lagi. "Kapan dia pulang?"
"Gak tahu sih kapan. Tapi biasanya baru pulang kalau udah tengah malem." Sonia masih menjawab seringkas mungkin. Ia ingin segera menutup pintu untuk kedua orang asing itu.
Kedua orang asing itu berdiskusi dengan bahasa yang sama sekali tidak Sonia mengerti, terdengar seperti Mandarin tapi bukan. Apakah itu Kanton atau Hokkien.
Keduanya selesai berdiskusi dengan bahasa mereka sendiri. Salah satunya kembali lagi bertanya. "Yang namanya Zenia mana?"
Mendengar nama kakaknya, pikirannya mulai dipenuhi pikiran buruk. Mungkinkah kakaknya dijadikan jaminan untuk berhutang.
"Ada apa dulu?" Sonia harus tau tujuan apa mereka datang kemari mencari bapaknya dan menanyakan kakaknya.
"Jadi gini. Bapak lu ngutang Ama bos gue, lima puluh juta, bunganya udah dua kali lipat hutangnya. Jaminannya dia nawarin anak ceweknya yang namanya Zenia. Sampe sekarang dia belom bayar hutangnya jadi kita kemari mau bawa Zenia. Bakal kita pulangin kalau bapaklu udah bayar seluruh hutangnya plus bunganya. Mana Zenia?" Jelas si penagih hutang tersebut.
Apa yang dipikirkannya ternyata benar. Tapi hutang sebanyak itu digunakan untuk apa sama bapaknya. Bahkan tidak ada perbaikan rumah tangga dari hutang itu. Bisa jadi saja semua uang itu dipakai habis berjudi dan tidak menang sama sekali. Bodoh sekali bapaknya jika sampai berhutang hanya untuk berjudi. Sudah tahu anak-anaknya makan nasi dengan garam dan dia masih membesarkan egonya untuk berjudi.
Mereka tidak akan pergi jika tidak membawa sesuatu. Ia tidak bisa menyerahkan kakaknya apalagi menjual rumah satu-satunya hanya untuk membayar hutang bapaknya. Terlebih lagi Zenia bukan seperti orang normal lainnya, karena keterbelakangan mentalnya membuatnya menjadi beban keluarga ini. kedepannya bapaknya tidak akan mau menebus Zenia, malah ia akan bersyukur karena terlepasnya satu beban dipundaknya. Tapi itu akan menjadikannya tidak memiliki rasa kemanusiaan karena menjadikan Zenia sebagai pelunasan hutang. Dengan helaan napas, apapun yang dipilihnya akan ada resikonya.
"Hei! Bengong aja, mana Zenia?" Tanya penagih hutang itu menghentikan jarinya mengganggu pikiran Sonia.
"Saya sendiri. Saya Zenia."